DOTA adalah salah satu game yang memiliki pengaruh besar dalam terbentuknya skena e-sport baik di kancah global maupun di Indonesia. Meskipun saat ini e-sport di Indonesia didominasi oleh game mobile seperti Mobile Legends, PUBG Mobile ataupun Free Fire, namun salah satu pondasi yang menopang industri e-sport akhirnya bisa berjaya di Indonesia adalah DOTA. Jauh sebelum smartphone bisa menjadi “senjata” untuk para gamers meraih prestasi, DOTA 2 menjadi game yang hampir selalu ada dan selalu dimainkan di warnet. Kini di tengah era e-sport yang sudah didominasi oleh game mobile, DOTA 2 kembali menunjukkan taringnya dengan merilis adaptasi baru ke media animasi.

Jujur saja pengumuman akan adanya adaptasi serial animasi dari game DOTA 2 cukup mengejutkan. Sejak pertama kali diumumkan bahwa serial ini akan tayang di Netflix saya sangat penasaran akan seperti apa anime ini nantinya. Rasa penasaran saya tumbuh dari pengamatan saya akan DOTA 2 selama beberapa tahun ini yang bisa dibilang cukup stagnan dalam hal pengembangan IP. Bisa dibilang mungkin seri anime ini adalah pertama kalinya DOTA 2 melakukan pengembangan IP menuju media lain.

Serial anime yang berjudul DOTA: Dragon’s Blood ini tampil dengan gaya yang memadukan animasi Western dengan gaya anime. Anime ini diproduksi oleh Studio Mir, sebuah studio animasi asal Korea Selatan yang berpengalaman dalam produksi serial Avatar: The Legends of Korra. Penulis cerita serial Avatar: The Legends of Aang dan The Legends of Korra, Bryan Konietzko juga turut serta menulis cerita seri anime ini dengan dibantu oleh penulis X-Men: First Class, Ashley Edward Miller.

Sinopsis

DOTA
© Netflix, Inc

Seri ini menceritakan tentang Davion, seorang Ksatria Naga yang bertemu dengan seekor Eldwurm yang tak bisa dikalahkan oleh para Ksatria Naga lainnya. Pertemuan tersebut membawa tragedi bagi Davion yang hampir mengancam nyawanya. Keesokan harinya tiba-tiba ia diselamatkan oleh putri Mirana di tengah hutan. Davion tidak tahu bagaimana ia bisa berada di tengah hutan tersebut, hingga akhirnya ia sadar bahwa ternyata setelah bertemu dengan sang Eldwurm, Davion memiliki kekuatan untuk bisa berubah menjadi Naga dan kekuatan tersebut membuatnya hilang kesadaran. Bersama dengan Mirana, Davion terlibat dalam sebuah petualangan untuk mencari tahu kenapa Eldwurm memberikan kekuatan kepadanya. Dalam petualangannya tersebut ia terlibat dengan konflik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, sebuah konflik yang tidak hanya melibatkan manusia dan monster saja tetapi juga para Dewa.

Cerita Origin yang Dikemas Menarik

© Netflix, Inc

Dalam Book 1 yang sudah dirilis hingga tamat di Netflix sepanjang 8 episode, bisa dikatakan bahwa fokus utama cerita dalam seri ini adalah tentang cerita origin beberapa hero yang ada di DOTA. Memiliki judul Dragon’s Blood, para pemain DOTA 2 tentu langsung bisa menebak bahwa cerita utama di seri ini adalah tentang kisah origin karakter Davion sang Ksatria Naga. Cerita origin Davion memang bisa dibilang menjadi fokus utama dalam cerita di Book 1 ini, namun sebenarnya seri ini juga menghadirkan cerita origin karakter lain selain Davion.

Tidak hanya tentang Davion saja, seri ini juga membawakan cerita tentang origin karakter Mirana, Invoker, dan karakter yang baru muncul di seri ini bernama Fymryn. Cerita tentang asal mula Davion menjadi pembuka di 2-3 episode pertama, kemudian di pertengahan penonton akan dibawakan dengan cerita konflik para Elf yang menjadi bagian origin dari karakter Mirana dan Fymryn, dan sedikit cerita mengenai Invoker dan para Dewa di dunia DOTA ditampilkan menjelang episode terakhir.  Menariknya meskipun membawakan cerita origin dari karakter yang berbeda, namun semua cerita origin tersebut masih bisa dipadukan dalam satu keutuhan alur cerita. Karena itu bisa dibilang bahwa dalam seri ini Davion bukanlah satu-satunya karakter utama, masing-masing karakter memiliki porsi penceritaan yang sama kuat.

Alur yang Cukup Mudah Dimengerti oleh Orang yang Belum Pernah Bermain DOTA 2

DOTA
© Netflix, Inc

Biasanya sebuah media yang diadaptasi dari game, baik itu novel, film, dan anime cenderung hanya ditujukan bagi orang yang sudah akrab dengan game itu saja, sehingga muatan narasinya akan sulit diterima oleh orang umum. Namun untuk kasus DOTA: Dragon’s Blood ini, ada hal berbeda yang terjadi di mana cerita yang disampaikan justru sangat bisa diikuti meski oleh orang yang sama sekali belum pernah bermain DOTA 2. Fokus cerita yang lebih menitik beratkan kepada cerita origin masing-masing karakter menjadi salah satu faktor kenapa alur cerita dalam seri ini bisa diikuti oleh orang umum.

Alih-alih menjadi fanservice fodder semata, seri ini benar-benar mampu mengajak penonton untuk lebih dalam mengenal dunia DOTA dengan cerita origin masing-masing karakternya. Pembawaan narasi baik dalam cerita para karakter hingga konflik besar yang dibawakan di seri ini benar-benar disampaikan dengan cukup jelas. Penonton awam bisa dengan mudah mengikuti cerita di seri ini, begitu juga para veteran pemain DOTA 2 bisa dengan mudah menemukan berbagai easter egg dan referensi khas dari game favoritnya seperti skill apa yang digunakan oleh para karakter dalam adegan aksi di anime ini.

Perpaduan animasi gaya barat dan Jepang

© Netflix, Inc

Meskipun memiliki branding sebagai Netflix Original Anime Series, namun DOTA: Dragon’s Blood bukanlah animasi buatan Jepang, melainkan animasi produksi Studio Mir asal Korea Selatan dengan gaya visual khas anime Jepang. Bisa dibilang bahwa perpaduan antara animasi gaya barat dan Jepang sangat terlihat menonjol dalam seri ini. Diproduksi oleh studio yang juga membuat Avatar: The Legends of Korra, desain karakter dari seri ini memang terlihat memiliki style yang masih terasa sangat “Korra”. Desain karakter ini bisa dibilang memang berada di titik tengah antara gaya desain karakter animasi barat dengan gaya Jepang.

Tidak hanya DOTA: Dragon’s Blood, sebenarnya Netflix memang memiliki banyak tayangan dengan branding Netflix Original Anime Series yang tidak dibuat oleh studio anime Jepang, tetapi dibuat oleh studio animasi di luar Jepang dan dikemas sedemikian rupa agar terlihat nampak seperti ala Jepang. Namun bisa diakui bahwa DOTA: Dragon’s Blood terlihat lebih sangat “anime” dibanding yang lain. Beberapa “anime original Netflix” seperti Castlevania dan Blood & Zeus terlihat hanya memiliki desain karakter yang bergaya anime namun animasinya masih sangat terasa bahwa itu bukanlah animasi gaya anime Jepang, bisa dikatakan judul-judul tersebut adalah animasi barat dengan gaya desain karakter anime Jepang. Alih-alih menonton animasi barat degan desain karakter anime, menonton DOTA: Dragon’s Blood rasanya benar-benar seperti menonton perpaduan animasi gaya barat dan gaya Jepang yang mampu melebur dengan serasi.

Kesimpulan

© Netflix, Inc

Akhirnya setelah beberapa kali percobaan, Netflix berhasil menghadirkan tayangan animasi yang mampu memadukan gaya animasi barat dan Jepang dengan baik dalam DOTA: Dragon’s Blood. Dalam 8 episode, Book 1 (season pertama) dari seri animasi ini mampu membawakan cerita origin tidak hanya Davion, tetapi juga Mirana, Invoker, dan Fymryn dengan sangat baik. Cerita dan konten yang disajikan sangat terasa bahwa anime ini tidak hanya ditujukan untuk pemain DOTA 2 saja, tetapi juga untuk penonton umum yang bahkan belum pernah sama sekali bermain DOTA. Sebagai sebuah cerita origin, Book 1 dari DOTA: Dragon’s Blood benar-benar tampil sebagai pembuka dari ekspansi narasi sebuah game e-sport fenomenal ke dalam media animasi.

KAORI Nusantara | Oleh Rafly N

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses