Ehem, melanjutkan menulis ulasan yang sebenarnya belum saya tulis banyak, kali ini saya mengulas salah satu novel visual “Chuuni” terkenal yaitu Dies Irae. Novel visual ini dirilis oleh studio light. Pertama kali rilis pada 21 Desember 2007 dengan nama “Dies Irae Also sprach Zarathustra“, kemudian pada 25 Desember 2009 dirilis kembali dengan nama “Dies Irae ~Acta est Fabula~“. Acta est Fabula sendiri merupakan versi upgrade dari sebelumnya. Pada versi awal hanya memiliki dua rute, kemudian ditambahkan dua rute heroine yang akhirnya menjadi empat rute dan sedikit perbaikan pada rute lain. Selain itu terdapat juga cerita sampingan yang berfokus pada karakter Wilhelm Ehrenburg dengan judul Dies Irae ~Interview with Kaziklu Bey~ yang dirilis pada 25 Maret 2016 untuk semua umur.
Pada 28 Juni 2012, versi umum dengan rating 17 tahun ke atas dirilis untuk port PSP dengan judul “Dies Irae ~Amantes amentes~“. Versi ini merupakan versi lengkap dengan tambahan beberapa cerita sampingan. Kemudian di tahun yang sama pada 31 Agustus, light merilis versi PC dari Amantes amentes. Enam tahun setelahnya pada 18 Oktober 2018, light merilis kembali untuk port Nintendo Switch dengan tambahan prolog untuk mobage Dies Irae yang direncanakan sebelumnya dengan nama Dies Irae Pantheon. Namun sayang karena kendala ibu perusahaan light bangkrut, proyek gim ini ditunda sampai waktu yang tak ditetapkan. Dan pada 2 Juni 2017, versi bahasa Inggris dari novel visual ini dirilis secara global melalui Steam oleh vies Co. Ltd.
Dies Irae ini dikerjakan oleh beberapa orang. Takashi Masada sebagai penulis skenario, G Yuusuke sebagai ilustrator dan pendesain karakter, Keishi Yonao yang mengomposisi musik dalam novel visual ini. Sedangkan untuk lagu pembuka sampai lagu penutup dinyanyikan oleh Yui Sakakibara. Dies Irae ini merupakan karya kedua yang dirilis setelah Paradies Lost pada 2004 yang lalu. Masada sendiri membuat sebuah seri yang memiliki hubungan disebut dengan “Shinza Bansho”. Seri ini dimulai dari Paradise Lost, Dies Irae, Kajiri Kamui Kagura, dan berlanjut kepada mobage Dies Irae Pantheon.

Dies Irae ini berlatar pada dua waktu yaitu pada tahun 1945 dan tahun 2006. Bercerita tentang sang pemimpin bersama anak buahnya yang ingin mengubah nasib setelah Berlin jatuh. Mereka melakukan ritual untuk mengubah nasib itu. Sayangnya, setelah itu tidak diketahui efek dari ritual tersebut. 61 tahun kemudian di tahun 2006, seorang pemuda bernama Ren Fujii, seorang anak SMA biasa yang hidup bersama dua teman masa kecilnya yaitu Kasumi dan Shirou. Ren yang selalu bermimpi tentang sejumlah orang yang dikenal dengan nama Longinus Dreizhen Orden dan guillotine yang digunakkan untuk membantai korban atau penjahat, menjadi tanda bahwa Ren menghadapi sesuatu yang besar.

Dies Irae memiliki waktu bermain yang cukup panjang, dan terbagi menjadi 13 bab. Di antara bab 7 sampai bab 13 merupakan rute heroine, maka tersedia beberapa pilihan yang harus diikuti untuk mengikuti alur cerita dari Dies Irae ini. Dalam permainannya, Dies Irae harus mengikuti route order. Ada pun urutannya adalah Kasumi, merupakan osananajimi dari Ren yang cerewet namun baik hati; Kei, merupakan anggota dari Longinus Dreizehn Orden dan sekaligus murid pindahan yang tsundere; Marie, yang merupakan ‘senjata’ Ren untuk melawan anggota dari Longinus Dreizehn Orden serta seorang gadis yang polos; dan terakhir adalah Rea, seorang senpai dari Ren yang memiliki hubungan dengan Longinus Dreizehn Orden.



Dalam cerita karakter sendiri, sebenarnya cukup menyedihkan. Baik dari Ren sendiri yang sebenarnya hanya dimanfaatkan sampai kisah Kei yang menyedihkan. Terutama kisah kakak Kei, Kai dengan salah satu anggota lain yang bernama Beatrice. Kisah kakak Kei dengan Beatrice bisa dilihat pada side story setelah menyelesaikan satu rute, yaitu Verfaulen segen. Melihat dari sisi ‘chuuni’, rasanya Dies Irae ini menyajikan cerita macam seri Fate. Terutama dalam bagian melawan sampai mati. Namun yang khas dalam cerita ini adalah jampi-jampi untuk berperang. Tentu kalau melihat mahou shoujo pasti ada saja kata alias jampi-jampi untuk mengeluarkan senjata handalannya, dan hal ini sama dengan Dies Irae. Yang mana jampi-jampi ini terus sampai Kajiri Kamui Kagura dan seri yang memiliki hubungan dengan Dies Irae ini (baca: Shinza Banshou).
Ada adegan yang di mana saya memiliki ekpresi “sudah habisi saja”, rasa membara dalam pertarungnya itu memiliki level tersendiri, namun tak seseru saya menikmati Muramasa. Tetapi musik yang disajikan dalam novel visual ini membuat para pemain dapat memiliki rasa ingin menghabiskan novel visual ini sampai selesai. Namun kendala, bahasa yang disajikan cukup rumit (terutama dalam bahasa Jepang) tetapi berkat versi bahasa Inggris pemain dapat memahami isi lebih luas.
Dengan hadirnya seri Shinza Banshou atau sebuah kumpulan novel visual yang masih memiliki waktu dan alur yang berhubungan dalam novel visual yang dikarang oleh Masada (tidak termasuk Senshinkan), membuat pemain dapat menikmati berbagai cerita dan perkembangan karakter. Selain banyak variasi chuuni yang membara ini, performa para seiyu dalam Dies Irae (atau sebut saja seiyu dalam seri Shinza Banshou ini) sangatlah apik. Meskipun ada beberapa seiyu papan atas yang hadir mengisi suara para karakter, masih ada juga beberapa seiyu yang perlu dinotis banyak orang karena performanya. Karena seiyu juga lah, saya bersemangat untuk memainkan tiap rute.
Sebuah novel visual chuuni nan membara ini sebenarnya ada banyak hal yang dapat dipetik terutama dalam kepercayaan, hubungan, dan diri sendiri. Saya sendiri bisa menulis panjang lebar mengenai hal yang dapat dicontoh dalam novel visual ini (minus keroyokan), namun mungkin para kaoreaderslah yang harus memainkan novel visual apik membuat kokoro membara seperti api (DUARRRR).
Jadi, siapkah para kaoreaders memainkan novel visual ini? Mari kita terjun bersama dalam seri Shinza Banshou ini. 😏
Oha, Dies Irae juga telah diadaptasi menjadi anime lho! Yuk simak panduan animenya dari KAORI berikut ini:
P.S. Maafkan saya kalau saya bias ke satu heroine 🙂
KAORI Nusantara | Oleh Widya Indrawan