Pengantar

Klub Baca Manga KAORI kembali berlanjut di bulan September 2021. Kegiatan ini diadakan sebagai suatu kesempatan bagi peserta untuk menambah ragam bacaan manga, dengan agar mencoba membaca seri-seri di luar majalah atau kelompok demografi yang biasanya dibaca.

Kegiatan ini dilakukan dengan format sederhana, yaitu setiap bulan dipilih satu majalah manga sebagai sumber bacaan, dan peserta cukup membaca setidaknya satu judul manga yang pernah dimuat di majalah tersebut (disarankan memang manga yang tidak sedang dibaca atau belum pernah dibaca sebelumnya). Pilihan majalahnya setiap bulan akan diselang-seling antara majalah shoujo/josei dan majalah shonen/seinen. Kemudian di hari Minggu terakhir setiap bulan akan diadakan obrolan di Discord KAORI Nusantara untuk membahas komik-komik yang telah dibaca di bulan tersebut. Kegiatan ini tidak hanya terbuka bagi staf KAORI, tapi juga bagi #Kaoreaders yang berminat.

Edisi September 2021: Weekly Shonen Magazineklub baca manga kaori

Pilihan majalah untuk sumber bacaan di bulan September adalah salah satu majalah komik shonen yang paling ternama, yaitu Weekly Shonen Magazine terbitan Kodansha. Majalah yang pertama kali terbit di tahun 1959 ini memiliki reputasi sebagai majalah shonen yang banyak memuat komik komedi romantis (love comedy/rabukome), dan kepala redaksi majalahnya saat ini, Hirotoshi Kurita, dikabarkan memang menggemari genre harem. Sementara kepala redaksi majalah Shonen Champion, Shingo Takekawa, mendeskripsikan majalah ini ibarat “abang tetangga yang mengajarkan hal-hal agak nakal, yang bisa memancing omelan orang tua kalau ketahuan.” Di Indonesia, penerbit Elex Media Komputindo pernah menerbitkan edisi lokal dari majalah ini dengan nama Shonen Magz.

Dalam obrolan yang telah dilakukan pada tanggal 26 September, ada empat komik Weekly Shonen Magazine yang dibahas: Megami no Cafe Terrace karya Kouji Seo (2021-sekarang), Danshi Koukousei o Yashinaitai Oneesan no Hanashi karya Hideki (2018-sekarang), Smile at the Runway karya Kotoba Inoya (2017-2021), dan Fire Force karya Atsushi Ohkubo (2015-sekarang). Selain itu ada juga tambahan diskusi mengenai popularitas Tokyo Revengers karya Ken Wakui (2017-sekarang) bersama peserta istimewa dari Filipina, Jay Agonoy yang mengasuh blog dan podcast keepsakes. Berikut adalah rangkuman isi komik-komik tersebut beserta beberapa komentar menarik dari peserta diskusi.

Megami no Cafe Terrace

weekly shonen magazine
©Kouji Seo/Kodansha

Kasukabe Hayato adalah seorang mahasiswa yang tinggal di Tokyo. Pada suatu hari, dia mendapat kabar bahwa neneknya meninggal, sehingga dia kembali ke rumah masa kecilnya, yang juga sekaligus cafe usaha neneknya. Sesampainya di sana, dia kaget menemukan ada lima gadis asing yang tinggal di rumah neneknya. Hayato awalnya meradang, tetapi kemudian luluh juga karena mereka berlima merupakan orang-orang terakhir yang menemani neneknya ketika meninggal. Hayato membiarkan mereka tetap tinggal di rumah neneknya, dengan syarat mereka membantu Hayato untuk menghidupkan cafe peninggalan neneknya.

Editor The Indonesian Anime Times, Dany, mengapresiasi karakter utama komik ini yang tidak plin-plan sebagaimana seringkali menjadi sifat karakter utama komik harem lainnya. Di sisi lain, karena komiknya masih belum lama dimulai, dia menilai tensi persaingan antar karakternya masih belum begitu terasa. Meski ada indikasi bahwa Hayato akan menikah dengan salah satu dari kelima gadis itu dan punya satu anak di masa depan, Dany masih tetap waspada akan kemungkinan munculnya “twist” ala Seo pada perkembangan nantinya.

Danshi Koukousei o Yashinaitai Oneesan no Hanashi

weekly shonen magazine
©Hideki/Kodansha

Suatu hari, anak SMA bernama Minoru Soramoto ditelantarkan oleh orang tuanya karena mereka berhutang. Saat Minoru hendak dijemput oleh pedagang organ, dia ditolong oleh perempuan tetangga sebelah yang membayarkan hutang orang tuanya dan kemudian mengajaknya tinggal bersama di apartemennya.

Sekilas komik ini menggambarkan situasi yang berkebalikan dari komik Shachiku to Shoujo yang pernah dibahas dalam diskusi sebelumnya, yaitu di sini justru ada anak cowok yang tinggal bersama perempuan yang lebih tua. Tetapi sebagaimana bisa dilihat dari pembukaan ceritanya yang seperti awal cerita Hayate the Combat Butler, konten ceritanya bersifat komedi dan bukan drama yang berat. Sebagai komik yang berawal dari Twitter sebelum menjadi serial majalah, ia juga mempertahankan format yang hanya empat halaman per bab, sehingga banyak berfokus pada momen-momen konyol kecil sehari-hari. Editor The Indonesian Anime Times, Halimun, mengaku suka dengan penggambaran tokoh utamanya sebagai cowok SMA yang biasa-biasa saja, di satu sisi bersikap menurut common sense sebagai karakter tsukkomi terhadap obsesi aneh si mbak tetangga terhadap dirinya, tapi bukan berarti dia nggak punya sisi mesum sebagai remaja puber. Itu keseimbangan yang penting dijaga karena kalau karakternya terlalu pure, dia malah bakal sulit untuk believable, tapi kalau terlalu mesum bakal sulit untuk likeable. Si mbak tetangga sendiri dalam kadar tertentu menunjukkan stereotip ibu-ibu yang berlebihan memuja anaknya, tapi yang bikin tambah canggung adalah dia memang bukan orang tuanya.

Smile at the Runway

©Kotoba Inoya/Kodansha

Komik ini bercerita tentang Chiyuki, seorang gadis yang ingin menjadi model terkenal meski tinggi badannya tidak mencukupi, dan Ikuto, yang ingin menjadi desainer meski berasal dari keluarga miskin. Pertemuan antara keduanya menjadi awal bagi mereka untuk saling mendukung impian masing-masing.

#Kaoreader yang menjadi peserta diskusi, Ahmad, memilih judul ini karena mengangkat tema yang tidak biasa ditemukan dalam komik shonen. Meski temanya tentang modeling, tapi seri ini mampu menyajikannya dengan gaya yang sesuai bagi komik shounen. Tidak hanya menggambarkan dengan baik perjuangan karakter utamanya dalam menghadapi apa saja untuk mengejar impian mereka, penjelasan mengenai dunia modeling dalam komik ini juga mudah dipahami. Namun di sisi lain, sayangnya ada beberapa karakter pendukung yang kurang dieksplorasi.

Fire Force

©Atsushi Ohkubo/Kodansha

Bercerita tentang petualangan Shinra dan teman-teman di Pasukan Pemadam Khusus 8 dalam mengungkap misteri dibalik fenomena manusia terbakar dan perjalanannya menyelamatkan dunia.

Bagi kontributor The Indonesian Anime Times, Vina, Fire Force mengingatkan dengan Fahrenheit 451 karya Ray Bradburry, karena konsep pemadam kebakarannya yang dibanding memadamkan lebih ke membakar. Di Fahrenheit 451, pemadam kebakaran justru membakar buku sedangkan di Fire Force, mereka melawan api dengan api. Meskipun genre yang satu distopia dan yang satu lagi post-apocalyptic, tapi bagaimana kesadaran and alam bawah sadar dunia itu dibentuk dan diawasi melalui pihak antagonis sebenarnya cukup mirip. Keduanya menyebar teror ke alam bawah sadar (bahwa pengetahuan dan kebenaran adalah sesuatu yang mesti ditakuti, bahwa semua manusia pada akhirnya akan mati terbakar), dan mengawasi bagaimana orang-orang bertindak dan bersikap.

Hal menarik lainnya dari komik ini bagi Vina adalah dengan konsep kekuatan mengendalikan api, tiap-tiap kekuatan tokohnya banyak dijelaskan dengan konsep sains terutama matematika dan fisika. Di sisi lain, semakin mendekati arc terakhir, semakin banyak juga perkembangan-perkembangan yang terasa absurd. Meski begitu, Halimun berkomentar bahwa hal ini sebenarnya tidaklah mengejutkan bagi komik karya Atsushi Ohkubo, mengingat sebelumnya Soul Eater juga tidak jarang menampilkan situasi-situasi maupun perkembangan cerita yang nyeleneh dan bombastis.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, acara diskusi kali ini kebetulan dihadiri oleh pengasuh blog dan podcast keepsakes. asal Filipina, Jay Agonoy. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membahas perbandingan kepopuleran seri Tokyo Revengers di Indonesia dan Filipina, berhubung komiknya dimuat di Weekly Shonen Magazine. Di Indonesia sendiri, anime ini telah memperoleh jutaan views pada tiap episodenya di kanal YouTube Muse Indonesia, dan komiknya akan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo menanggapi tingginya permintaan atas judul tersebut.

Di Filipina sendiri Jay mengamati maraknya meme Tokyo Revengers beredar di antara pengguna Internet di sana, hingga bahkan ada grup FB yang menerapkan ban terhadap topik tersebut, karena kontennya dianggap cringe. Ia menilai seri tersebut bisa diminati di kawasan Asia Tenggara karena geng sekolahan juga merupakan kenyataan sosial di negara-negara tersebut. Dany menanggapi bahwa di Indonesia sendiri ada stereotip bahwa penggemar Tokyo Revengers banyak yang bocil. Tetapi ia dan Vina juga menyebutkan bahwa orang yang mereka kenal yang menggemari seri tersebut justru adalah teman-teman mereka yang seumuran dengan mereka, yang sudah dewasa atau bahkan sudah bekerja.

Berdasarkan kondisi tersebut, Halimun mengingatkan perlunya berhati-hati terhadap bias yang membatasi pengamatan pada satu kelompok demografi tertentu, padahal mungkin Tokyo Revengers bisa sukses karena bisa digemari oleh kelompok-kelompok demografi utama, baik laki-laki dan perempuan, yang muda dan juga yang sudah dewasa, seperti “film empat kuadran” dalam industri perfilman Hollywood. Sebagai penutup, Jay melihat langkah Muse Asia untuk membuat kanal-kanal khusus bagi tiap negara di kawasan Asia Tenggara juga bermanfaat untuk membantu melakukan perbandingan data numerik penonton antar negara.

Sebagaimana telah dibahas, majalah Weekly Shonen Magazine memiliki reputasi sebagai majalah komik komedi romantis atau rabukome. Mengenai hal ini, Halimun menyoroti bahwa genre rabukome dalam komik shonen memiliki sejarah yang cukup panjang sejak boom komik rabukome shonen di era akhir 70-an hingga 80-an. Era itu ditandai dengan kesuksesan komik-komik rabukome karya Rumiko Takahashi (Urusei Yatsura, Maison Ikkoku), karya Mitusuru Adachi seperti (Touch, Miyuki) yang mengisi majalah-majalah shonen Shogakukan seperti Weekly Shonen Sunday, dan di Weekly Shonen Magazine sendiri ada seri-seri seperti Tonda Couple (1978-1981) karya Kimio Yanagisawa dan The Kabocha Wine (1981-1984) karya Mitsuru Miura. Bahkan Weekly Shonen Jump juga memiliki komik rabukome yang tenar pada era tersebut, Kimagure Orange Road (1984-1987) karya Izumi Matsumoto, selain komik-komik aksi, petualangan, dan olah raga yang ikonik seperti Fist of the North Star, Dragon Ball, Saint Seiya, dan Captain Tsubasa.

Bagi Halimun, boom komik rabukome shonen era 80-an ini juga bisa menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Akan menarik untuk melihat bagaimana pengaruh boom tersebut pada keberadaan genre rabukome dalam majalah-majalah komik shonen sesudahnya, termasuk apakah ada kaitannya dengan reputasi Weekly Shonen Magazine sebagai majalah dengan dominasi komik-komik rabukome, dan juga bagaimana perkembangan elemen-elemen dan pola-pola penceritaan rabukome shonen dari awalnya hingga sekarang.

Di sisi lain, tentu saja Weekly Shonen Magazine isinya tidak hanya komik rabukome, karena majalah-majalah komik shonen memang diatur agar berisi komik dengan berbagai genre dengan mempertimbangkan perbedaan selera di antara anak-anak lelaki. Untuk Weekly Shonen Magazine sendiri hal tersebut dapat dilihat dari beberapa komik yang telah disebut di atas seperti Fire Force dan Tokyo Revengers.

Topik Bulan Oktober: Margaret

Di bulan Oktober, Klub Baca Manga KAORI akan kembali membahas majalah shoujo dengan Margaret terbitan Shueisha. Terbit sejak 1963, majalah ini telah memuat berbagai seri shoujo legendaris seperti Rose of Versailles, Jendela Orpheus, Aim for the Ace!, Hana Yori Dango, dan lain-lainnya. Obrolan mengenai komik-komik dalam majalah ini akan dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2021 mendatang. Jika ingin mengikuti diskusinya, silakan bergabung ke Discord KAORI Nusantara di link berikut: https://discord.gg/9WGNKht

KAORI Newsline

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.