Pengantar: Komunitas Conan Fans Club mengadakan “Kompetisi Menulis Review Film Detektif Conan” untuk merayakan 11 tahun berdirinya komunitas ini. Dibuka dari tanggal 15-30 Juni 2022, para peserta yang mengikuti kompetisi ini diharuskan untuk menulis salah satu dari berbagai film-film Detektif Conan yang dirilis hingga kini. Dalam kompetisi ini, KAORI Nusantara turut berpartisipasi untuk menilai submisi tulisan yang telah dikirim oleh para peserta. Setelah disaring oleh tim dari komunitas CFC di penjurian tahap pertama pada 1-9 Juli, tim editor KAORI kemudian menilai dan mencari tiga peserta terbaik pada penjurian tahap kedua yang berhak mendapatkan hadiah spesial dari CFC dan ulasannya dimuat di situs KAORI pada Rabu (20/7). Selamat membaca!


Film Detective Conan: The Scarlet Bullet (Meitantei Konan: Hiiro no Dangan) merupakan judul ke-24 dari film Detective Conan yang rilis April 2021 kemarin. Movie yang rencananya dirilis 2020 ini sempat mengalami penundaan tayang akibat pandemi yang saat itu sedang ramai-ramainya, hingga baru bisa dirilis setahun kemudian. Secara garis besar, The Scarlet Bullet bercerita tentang upaya Conan dan koleganya dalam mengungkap dalang di balik aksi penculikan beberapa petinggi di perusahaan yang ternyata juga disertai rencana pembunuhan dengan cara menyabotase sistem kendali jarak jauh sebuah kereta cepat menjelang pembukaan gelaran akbar kompetisi olahraga World Sports Games (semacam Olimpiade). Dalam melakukan aksinya, pelaku terinspirasi dari kasus serupa yang pernah terjadi di Amerika Serikat 15 tahun silam. Modus operandi yang digunakan pelaku adalah dengan menculik 3 korban yang kesemuanya adalah petinggi di beberapa perusahaan ternama. Dua korban pertama selamat, korban ketiga dibunuh. Cara yang sama kemudian ditiru oleh pelaku yang berbeda 15 tahun kemudian, dengan menjadikan ayah Sonoko Suzuki dan seorang petinggi di FBI sebagai korbannya.

Baca Juga: Siap Khilaf? Inilah Jadwal Terbit Komik 20 Juli 2022

Singkatnya, film Detective Conan: The Scarlet Bullet adalah misi penuntasan dendam dari pelaku atas kejadian serupa yang pernah terjadi belasan tahun silam. Ada alasan tertentu kenapa pelaku memilih momen peresmian kereta cepat dan pembukaan gelaran akbar kompetisi olahraga sebagai latar kejadian. Ngomong-ngomong soal kereta cepat, saya menyukai cara Takeharu Sakurai, selaku penulis naskah, menjelaskan dengan detail konsep dan sistem pengoperasian kereta cepat yang di cerita dijuluki ‘Japanese Bullet‘ ini. Mulai dari kecepatan maksimal, jarak tempuh, rute sampai perubahan laju kereta secara otomatis saat melewati terowongan maupun saat keluar. Termasuk juga cara menghentikan paksa kereta jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat.

Semua terurai dengan serius namun tetap fun. Sayangnya keseriusan akan detail-detail itu tidak diterapkan pada sektor lain yang juga penting: character development. Sejumlah karakter-karakter yang dianggap penting dalam cerita justru tidak terlalu mendapat ekspos yang layak. Karakter pelaku, misalnya. Saya ingat betul di beberapa edisi atau episode serial Detective Conan yang pernah saya tonton, untuk karakter-karakter yang dicurigai sebagai pelaku Aoyama Gosho sejak awal cerita biasanya selalu memberikan treatment berupa teaser yang berisi informasi-informasi kecil (bisa latar belakang masa lalu si tokoh, hubungan dengan korban atau apapun) ke masing-masing karakter. Selain itu, karakter-karakter ini biasanya juga diberi porsi screen time yang lumayan banyak, sehingga membuat mereka semakin familiar di mata penonton. Terlihat familiar di mata penonton itu penting. Tujuannya agar pada saat identitas si pelaku terungkap, maka penonton akan merasakan emosi tertentu, entah sedih, marah, kecewa, bahagia atau apapun. Ada semacam bonding di situ. Dan saya sejujurnya tidak merasakan emosi itu saat identitas pelaku sabotase kereta cepat terungkap karena memang sejak awal kita tidak ‘dekat’ dengan karakter tersebut. Sejak awal tidak banyak informasi yang bisa kita gali dari si pelaku, selain namanya yang berisi petunjuk. Akibatnya, momen saat identitas si pelaku terungkap juga terasa datar-datar saja.

Detective Conan: The Scarlet Bullet, sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, masih menerapkan sejumlah pakem yang sama (ledakan, kerusakan fasilitas publik skala masif dan kekacauan masal) sebagai elemen wajib penunjang cerita. Dugaan saya, treatment berupa ledakan dan chaos di beberapa adegan memang sengaja dibuat hanya untuk menutupi kelemahan cerita saja. Plot yang terlalu lemah dan terlampau sederhana ditambah beberapa clue yang malah tidak terlihat seperti clue, membuat The Scarlet Bullet terasa biasa-biasa saja dan serba nanggung. Padahal kalau dilihat dari background cerita yang momennya bertepatan dengan gelaran akbar kompetisi olahraga seluruh dunia, seharusnya The Scarlet Bullet sangat potensial untuk dieksekusi dengan lebih maksimal lagi. Bagi saya, dibanding 23 movie sebelumnya, ini adalah kasus termudah yang pernah ditangani Conan dkk. Modus operandi yang sama, melibatkan orang yang sama, hanya pelaku dan eksekusinya saja yang berbeda.

© Gosho Aoyama / Shogakukan . YTV . TMS

Hal positif dari Detective Conan: The Scarlet Bullet barangkali adalah ‘kembalinya’ Ai Haibara. Haibara, yang di edisi-edisi sebelumnya hanya dijadikan pemanis dan diberi screen time seadanya, kali ini punya porsi lebih memadai, bahkan lebih banyak ketimbang tiga rekannya di grup Detektif Cilik (Ayumi, Mitsuhiko dan Genta) yang di sepanjang film bisa dibilang minim kontribusi. Penyegaran juga dilakukan dengan beberapa penambahan karakter yang tidak terlalu baru, namun lama tidak terlihat. Seperti kembalinya kuartet Shuichi Akai, Jodie Starling, Andre Camel dan James Black yang sempat muncul di film Detective Conan ke-18, Dimensional Sniper (2014). Kemudian kehadiran karakternya ditambah trio Subaru Okiya, Masumi Sera, dan ibunya Mary Sera yang juga mengalami penyusutan fisik sehingga sekilas jadi terlihat sangat mirip dengan Ai Haibara, dan beberapa karakter sampingan yang kerap tampil reguler di series maupun movie Detective Conan. Banyaknya karakter yang andil dalam cerita kemungkinan besar menjadi penyebab minimnya exposure terhadap karakter lain yang lebih penting: pelaku.

Terlepas dari banyaknya poin minus, Detective Conan: The Scarlet Bullet masih tetap bisa dinikmati. Banyak adegan-adegan seru yang sayang kalau sampai terlewat. Scene Shuichi Akai menembakkan peluru perak berwarna merah darah dari belakang kereta yang melaju menjadi salah satu adegan ikonik menurut saya. Sebagian penonton awalnya mungkin bertanya-tanya untuk apa Akai repot-repot menembakkan peluru peraknya dari jarak sejauh itu, toh keretanya juga tidak akan mungkin dapat dihentikan hanya dengan satu peluru. Lalu momen saat sang Shogi Master, Subaru Okiya mengarahkan duo FBI, Jodie dan Camel dalam adegan kejar-kejaran mobil dengan pelaku berdasarkan cara kerja permainan shogi juga menjadi salah satu scene terbaik di sini. Dan masih banyak lagi scene-scene seru di sepanjang movie yang tentu tidak bisa disebutkan semuanya guna menghindari spoiler. Hanya saja jika dibandingkan dengan edisi-edisi terdahulu, movie ini terasa agak sedikit mengalami penurunan kualitas cerita. Menarik ditunggu apakah film Detective Conan: The Bride of Halloween yang (sudah) tayang tahun ini masih tetap memakai treatment serupa (ledakan, ledakan dan ledakan) dan mengorbankan aspek cerita, atau justru tampil lebih sederhana tapi punya storyline yang kuat.

detective conan scarlet bullet
© Gosho Aoyama / Shogakukan . YTV . TMS

Oleh Rizky Nugraha | Salah satu pemenang “Kompetisi Menulis Review Film Detektif Conan” yang diselenggarakan oleh Conan Fans Club dan KAORI Nusantara

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses