Bulan Oktober kemarin, tim KAORI Nusantara berkesempatan untuk berbicara dengan tim Enspire Studio, studio animasi asal Indonesia yang berkolaborasi dengan Toei Animation dalam pengerjaan anime Girls Band Cry. Bagaimana sih pengalaman mereka saat mengerjakan anime yang khas dengan animasi 3D-nya itu? Yuk kita simak!
Pertama-tama, mungkin bisa tolong perkenalkan diri kalian dan Enspire Studio secara umum kepada para #Kaoreaders?.
Y: Nama saya Yolanda Sugiri, bisa dipanggil Yolanda. Saya bekerja selaku produser di Enspire Studio, dan untuk Enspire Studio kami sudah berjalan sejak tahun 2016 sebagai perusahaan. Sampai sekarang, Enspire Studio sendiri utamanya bekerja di bidang 3DCG animation. Selain itu kami juga sering mengerjakan efek untuk bagian post-production di beberapa projek, tapi memang utamanya kami mengerjakan animasi.
S: Halo, nama saya Dwi Sandhy Kuswaya, biasa dipanggil Sandhy. Saya bekerja di Enspire Studio sudah cukup lama, sejak tahun 2015. Saya sendiri sekarang bekerja sebagai animator di Enspire Studio, dan kebetulan kemarin ikut serta dalam pembuatan anime Girls Band Cry.
Bagaimana awalnya Enspire Studio terlibat dan berkolaborasi dengan Toei Animation untuk produksi anime Girls Band Cry?
Y: Untuk kolaborasi dengan Toei Animation kemarin sih karena CEO kami sendiri, Pak Christian Purnama, memang punya banyak relasi di Jepang. Karena relasi itu, kami memang pernah kontak dengan beberapa studio besar untuk project-project animasi maupun game.
Saya pribadi dulu pertama sadar kalau ada orang Indonesia yang ikut kontribusi di anime Girls Band Cry saat melihat credits di setiap episode. Dari yang saya perhatikan, staff-staff Enspire Studio yang terlibat di anime ini di-credit sebagai ‘animator’. Secara spesifik, boleh diceritakan kah apa saja yang tim Enspire Studio kerjakan untuk produksi anime ini?
Y: Kami jelaskan garis besarnya dulu ya; biasanya, untuk pipeline pengerjaan animasi di studio western maupun Korea biasanya dilakukan modelling untuk asset-asset 3D-nya, lalu baru dilakukan layout dari animasinya sendiri. Setelah semuanya selesai, baru masuk ke post-production untuk lighting, efek, dan lain-lain. Biasanya seperti itu proses produksinya dari proyek animasi western dan Korea. Untuk studio Jepang sendiri itu sebenarnya agak lebih ribet, karena mereka membagi pekerjaan dengan lebih detail. Untuk bagian animasi sendiri sudah ada hampir tiga tahap: layout yang belum digerakkan, lalu primary animation di mana gerakan utama seperti gerakan tubuh dan ekspresi karakter sudah dianimasikan. Kalau primary animation-nya sudah selesai, baru dilanjutkan ke tahap yang namanya secondary animation, yaitu proses menggerakkan apa yang ikut bergerak saat primary animation-nya bergerak—misalnya seperti rambut dan baju. Nah, yang kami kerjakan utamanya di secondary animation itu.
Apa saja tantangan dalam membuat animasi 3D? Khususnya untuk proyek seperti Girls Band Cry?
Y: Mungkin tantangannya ada di adaptasi ke pipeline–nya Jepang ya. Karena untuk tim kami sebenarnya lebih banyak mengerjakan proyek untuk produksi western dan produksi Korea Selatan. Karena pihak Toei Animation kalau mengecek hasil pekerjaan kami pasti memberi feedback–nya pakai istilah-istilah yang umum dipakai di Jepang, jadi biasanya saya harus menerjemahkan semua feedback biar bisa dimengerti oleh tim kami di Enspire Studio. Selain itu, dari Toei Animation mereka sangat teliti soal detail di animasinya; misalnya pernah ada kasus di mana model rambut dan badan karakternya agak tembus sedikit, dan menurut kami nggak terlalu kelihatan, tapi mereka melihat detail itu dan meminta revisi. Jadi tim kita harus benar-benar teliti soal detail saat mengerjakan Girls Band Cry.
S: Yang dibilang Mbak Yola bener banget. Waktu itu pernah ada shot di mana jauh sekali posisi karakternya dari kamera, dan kita tetap saja dapat revisi kalau model karakternya masih ada yang tembus sedikit… padahal itu jauh banget dari kamera. Tapi dari situ juga saya belajar kalau mereka benar-benar menjaga kualitas dari animasi yang mereka buat.
Enspire Studio juga mengerjakan beragam proyek di luar industri anime Jepang. Apa saja proyek yang pernah kalian kerjakan di luar industri anime Jepang? Lalu, apakah bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan saat terlibat dengan industri-industri tersebut dibandingkan dengan saat terlibat di suatu produksi anime Jepang?
Y: Selain di industri anime Jepang, bahkan sebelum saya bergabung ke Enspire Studio, kami juga terlibat untuk mengerjakan anime 3D Korea Selatan untuk anak-anak; misalnya kalau pernah dengar Dino Powers, itu kami mengerjakan beratus-ratus episode untuk seri tersebut. Mas Sandhy juga sudah sering mengerjakan proyek-proyek seperti itu, mungkin bisa diceritakan bagaimana bedanya?
S: Menurut saya pipelinenya cukup jomplang jauh sekali ya, walaupun tidak bisa disamaratakan juga kalau misalnya semua produksi di Korea Selatan seperti itu. Saat mengerjakan seri animasi seperti Dino Powers, mereka kebanyakan tidak mau ada terlalu banyak tahapan atau revisi pada saat pengerjaan suatu seri atau episode. Terkadang yang jadi tantangan di produksi anime Korea Selatan itu suka ada sutradara yang sangat hands-off; mereka sudah ada bayangan tentang apa yang mau dicapai dalam suatu shot, tetapi tidak terlalu bisa menggambarkan apa yang mereka inginkan. Jadi mereka biasanya meminta kami untuk coba bikin saja dulu animasinya. Tapi setelah kami menyelesaikan animasinya, ternyata belum sesuai dengan visi sutradara dan arahan dari mereka juga belum terlalu jelas.
Tapi tidak semua proyek dari Korea Selatan seperti itu. Kami pernah mendapatkan proyek dari Korea Selatan juga, nama serinya iN:APP. Proyek ini cukup menyenangkan bagi saya walau saya hanya berpartisipasi untuk 2 episode, karena kami lakukan dari nol; mulai dari modelling sampai ke rigging, lighting, dan composting. Sutradaranya sendiri juga hadir langsung di studio ini. Saya merasa cukup nyaman saat mengerjakan proyek ini, jadi tidak bisa dibilang kalau semua produksi anime Korea Selatan seperti Dino Powers tadi. Hanya, rata-rata dari pengalaman saya seperti itu.
Dari pengamatan saya pribadi, biasanya kalau produksi animasi 2D di Jepang dari sutradaranya sendiri sudah memiliki ‘visi’ untuk hasil akhir yang dicapai suatu scene. Jadi animatornya hanya tinggal eksekusi sesuai apa yang diminta oleh sutradara, lalu misal ada yang harus dikoreksi, dari sutradaranya sendiri ada feedback yang jelas.
S: Benar, saya setuju. Saya kebetulan pernah lihat file primary animation yang dibuat oleh tim internal Toei Animation di Jepang, dan saya cukup kaget melihat kalau file yang kita terima itu sudah revisi yang ke-17 atau 18 gitu. Karena biasanya dari pengalaman saya bekerja untuk klien-klien yang lain, revisinya ya kurang lebih sampai 5 revisi, tidak pernah lebih dari itu. Jadi bayangkan saja tim animator di sana rasanya seperti apa sampai ada 18 revisi (tertawa).
Y: Iya, karena tim kami kan untuk mengerjakan secondary animation harus nunggu primary animation dari tim yang ada di Jepang. Jadi saya dan yang lain di tim produksi yang mengkoordinasi hubungan Enspire Studio dengan Toei Animation suka bertanya “Ini kapan dateng ya shot-nya?” yang biasanya dibalas “Tunggu! Masih direvisi!!”. Lalu saat akhirnya shot yang ditunggu-tunggu dikirim ke kami, tiba-tiba sudah revisi ke-18. Kita semua jadi merasa bersalah (tertawa).
S: Terkadang kalau kita lihat di history file-nya juga, banyak sekali revisinya yang misalnya hanya sekedar paha karakter yang kelihatan terlalu besar atau terlalu kecil.
Y: Mungkin kalau fans anime sudah tau ya, tapi sutradara dari Girls Band Cry, Kazuo Sakai, juga sutradara dari Love Live!! Sunshine. Jadi dia itu sangat cerewet untuk bagian posisi dan postur dari badan cewek. Yang bikin sulit, walau model karakternya sudah ada dan sudah diatur pose nya, kadang karena tujuan akhir dari visual Girls Band Cry itu untuk terlihat seperti animasi 2D, pose yang kami buat seringkali meleset. Kami sekarang juga sedang mengerjakan proyek lain juga untuk studio Jepang tahun depan, dan kami cukup mati-matian di bagian situ.
Artikel wawancara KAORI bersama Enspire Studio berlanjut ke halaman selanjutnya.