Ulasan Buku: Perbincangan Tiga Pemabuk Mengenai Pemerintahan

0

tiga pemabuk

Jepang di Persimpangan Jalan Era Modern

Setelah pemerintahan baru terbentuk melalui Restorasi Meiji yang berlangsung pada tahun 1868-1869, para pemimpin Jepang yang baru berupaya membangun negara yang modern dan kuat agar tidak lagi diperlakukan sepihak oleh negara-negara Barat. Namun seperti apakah Jepang yang modern itu? Terdapat berbagai perdebatan yang berkembang di kalangan pemikir dan aktivis mengenai apa saja yang perlu diubah, bagaimana mengubahnya, dan bagaimana menangani dampak sosial yang terjadi akibat perubahan. Perdebatan yang berkembang mengenai arah perubahan Jepang bahkan sampai memicu tindak kekerasan juga di antara lawan-lawan politik.

Dalam kondisi sosial-politik yang hiruk pikuk seperti itu, seorang jurnalis yang dikenal sebagai Nakae Chōmin menerbitkan buku Perbincangan Tiga Pemabuk Mengenai Pemerintahan pada tahun 1887, dua tahun sebelum Konstitusi Meiji diumumkan oleh Kaisar. Buku ini menyajikan gambaran mengenai perdebatan-perdebatan yang berkembang mengenai pemerintahan di masa tersebut, dalam bentuk perbincangan antara tiga tokoh fiktif sambil menikmati minuman keras. Ketiga tokoh tersebut disebut sebagai Nankai Sensei (diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia sebagai Guru Nankai) sebagai tuan rumah, beserta Yōgaku Shinshi (diterjemahkan dalam edisi Indonesia sebagai Priyayi Pengetahuan Barat) dan Tōyō Gōketsu (diterjemahkan dalam edisi Indonesia sebagai Pahlawan Timur) sebagai tamu-tamunya. Chōmin sendiri merupakan aktivis berpaham liberal. Namun ia mengkritisi ekstrimisme, baik dari aktivis liberal maupun kalangan konservatif, yang karena keinginan masing-masing untuk menang sendiri malah mengabaikan kepentingan rakyat dan merugikan rakyat dengan permusuhannya.

Tokoh yang pertama menguraikan pemikirannya dalam perbincangan ini adalah sang Priyayi. Priyayi ini merupakan representasi dari pemikiran liberal. Dia mempercayai keniscayaan kemajuan zaman pasti akan menuju pemerintahan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan kebebasan dan kesetaraan hak untuk mencapai kemuliaan manusia yang hakiki dalam persaudaraan global. Proses tersebut telah terlebih dulu dilalui oleh negara-negara Eropa dan oleh Amerika Serikat. Dan sang priyayi yakin negara-negara Asia, khususnya Jepang, niscaya akan harus menempuh proses itu juga. Hambatan-hambatan terhadap kemajuan tersebut dianggapnya sebagai hal tidak alamiah yang akan tersingkir dengan cara yang penuh kekerasan jika bersikeras menghambat kemajuan (sebagaimana yang terjadi dalam Revolusi Prancis). Karena itu, sang Priyayi berharap politisi menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut secara damai melalui proses politik.

Sang Priyayi juga menganut paham yang menyerupai teori democratic peace dalam ilmu Hubungan Internasional, yang menyatakan bahwa negara demokratis tidak berperang dengan negara demokratis lainnya, serta menganjurkan pasifisme. Menurutnya, memiliki angkatan bersenjata yang besar dan agresif justru akan memprovokasi negara-negara lain untuk memusuhi dan menyerang. Karena itu sang Priyayi mengusulkan agar negara menghapuskan angkatan bersenjata, sehingga tidak dianggap menjadi ancaman berbahaya bagi negara-negara lain. Usulan penghapusan angkatan bersenjata ini dikritik oleh tokoh Pahlawan dan juga Guru Nankai karena jika negara lain yang menyerang duluan, tidak bisa melindungi diri.

Di sisi lain, sang Pahlawan yang menjabarkan pendapatnya setelah sang Priyayi, adalah seseorang yang meyakini keniscayaan adanya konflik di antara manusia pada umumnya, dan di antara bangsa-bangsa khususnya. Sang Pahlawan memahami adanya ketegangan dan persaingan di antara negara-negara Barat yang besar dan kuat. Untuk bertahan dan selamat di tengah perseteruan antara negara-negara besar dan kuat itu, maka Jepang harus memperkuat diri. Dan untuk mencukupi kebutuhan untuk memperkuat diri, sang Pahlawan berpendapat Jepang perlu merampas sumber daya dari dari salah satu negara tetangganya yang besar tapi lemah. Sang Pahlawan juga ingin menyingkirkan orang-orang yang menjadi kelemahan bagi perkembangan Jepang, yaitu orang-orang yang menolak modernisasi dan tidak dapat menemukan tempat baru dalam Jepang modern, dengan mengirimkan mereka berperang merebut wilayah negara lain itu.

Pendapat dari kedua tokoh pembicara kemudian ditanggapi oleh tokoh Guru Nankai. Sang Guru merasa pemikiran kedua pihak mengandung karakteristik ekstrimis. Ekstrimisme dari kedua pihak itu ditanggapi oleh karakter Guru Nankai sebagai reaksi perasaan minder terhadap kekuatan yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa, sehingga mendorong hasrat untuk segera melakukan tindakan drastis agar bisa segera sekuat bangsa-bangsa Eropa tersebut. Namun hasrat tersebut kemudian mengabaikan kondisi riil dari masyarakat Jepang sendiri. Perkembangan pemikiran masyarakat belum siap untuk beralih ke demokrasi sepenuhnya. Sementara perilaku agresif terhadap negara lain dikhawatirkan akan menjadi penderitaan bagi rakyat jelata, sehingga sang Guru lebih menyaranan agar Jepang bersahabat dan bersekutu dengan negara tetangga. Guru Nankai sendiri hanya menyarankan agar segera membentuk konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang jelas untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan nasional. Saran sederhana dari sang Guru itu ditanggapi oleh kedua tokoh lainnya sebagai pemikiran yang memang sudah menjadi common sense di masyarakat pada waktu itu.

Pada akhirnya, buku ini tidak memberikan jawaban pasti mengenai Jepang harus menjadi negara yang seperti apa. Perbincangan yang dihadirkan dalam buku ini hanya memberi gambaran mengenai seperti apa perdebatan yang sedang berkembang seiring dengan perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh Guru Nankai, Perubahan memang sesuatu yang niscaya, namun ke mana arah perubahan tersebut bukan sesuatu yang dapat dipastikan, sehingga tidak ada teori yang pasti benar. Teori-teori kaum liberal belum pasti dapat diterapkan kalau situasi perkembangan pemikiran masyarakat tidak bergerak ke arah yang memungkinkan berlangsungnya sistem liberal. Sementara kalangan konservatif perlu menyadari bahwa perubahan yang sedang berlangsung tidak memungkinkan lagi untuk bergantung kepada cara-cara lama. Memaksakan teori masing-masing dikhawatirkan hanya menimbulkan perpecahan dan permusuhan dalam masyarakat. Perbincangan yang dihadirkan dalam buku ini lebih mengajak orang-orang untuk memikirkan dan mendiskusikan masalah tersebut secara kritis; menelaah sisi yang benar dan yang salah dari argumen masing-masing pihak agar tata pemerintahan yang hendak diterapkan sesuai dengan kondisi yang ada dan bermanfaat bagi rakyat.

Buku Perbincangan Tiga Pemabuk Mengenai Pemerintahan adalah bacaan yang menarik bagi yang berminat dengan sejarah modernisasi Jepang khususnya, dan fenomena modernisasi pada umumnya. Menarik juga untuk merefleksikan analisis-analsis sosial-politik yang disajikan dalam buku ini dengan perkembangan yang dialami Jepang sesudahnya, baik di zaman sebelum Perang Dunia, maupun sesudahnya. Dapat dipahami bagaimana perdebatan mengenai “Jepang mau menjadi negara seperti apa” adalah pertanyaan yang sebenarnya tak pernah tuntas hingga sekarang. Buku Perbincangan Tiga Pemabuk Mengenai Pemerintahan pernah diterbitkan di Indonesia oleh penerbit PT Gramedia pada tahun 1989, dari versi terjemahan bahasa Inggris oleh Nobuko Tsukui yang disertai pendahuluan dari beliau.

KAORI Newsline |  Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses