Komentar penulis: Kipin pernah berpesan kepada saya untuk meripiw komik every seken ini dengan alibi saya gak ada bentrokan kepentingan dan gak ada kerjaan. Di sisi lain komik yang saya review ini nggak boleh lecek dan nekuk tengah… mendou :v
Komentar editor: Ha! Welp, at least half of your prediction came true Dod. Meski memproklamirkan diri bahwa komik ini adalah hal nomor dua yang dibenci setelah JKT48, diam-diam ternyata kakek Adi ini menulis ulasannya dengan penuh rasa cinta dan ketajaman analisis yang cukup mendalam, plus rupanya cukup objektif. Here comes the thirty eight thousand’s question, is it good? Biar pembaca yang menentukan.
Komik berjudul Tiap Detik volume pertama ini memiliki tema komedi romantis sebagai plot utamanya dengan pusat cerita mengenai hubungan Teo Rhama (karakter cowo di sampul depan) dengan teman-temannya wabilkhusus Riya Melati (si gadis berpita merah) dan Erina Anggrek (gadis pirang berkucir dua).
Cerita Tiap Detik dibuka dengan surat cinta Teo yang sebenarnya ditujukan kepada Riya tetapi secara tidak sengaja masuk ke dalam loker milik Erina sehingga menyebabkan Erina salah sangka bahwa surat cinta tersebut untuk dirinya. Erina, yang digambarkan sebagai cewek berwajah imut tetapi memiliki rumor berhati dingin, belum pernah menerima pernyataan cinta dari siapapun sehingga tanpa berpikir panjang menerima pernyataan cinta dari surat tersebut. Teo berusaha mencari cara bagaimana menyelesaikan kesalahpahaman yang ditimbulkan akibat surat cinta “salah alamat” tersebut.
Komik ini kurang lebih berisikan 12 bagian/chapter, di mana 11 bagian pertama berfokus pada konflik dan latar belakang antara Teo – Riya – Erina, sedangkan bagian ke-12 mulai berfokus pada gadis berambut perak pada sampul buku.
Gambar
Gambar menjadi batu sandungan utama dari komik ini. Kualitas gambar yang tidak konsisten menjangkiti dari awal hingga akhir komik ini. Gambar yang ditampilkan ada kalanya terlihat “sangat menarik” mampu menampilkan ke-moe-an karakter yang ada, tetapi sering kali proporsi badan para tokoh maupun objek terlihat berubah seiring berubahnya sudut pengambilan gambar.
Pada salah satu halaman terlihat penggunaan teknik copy-paste dan hanya mengganti ekspresi wajah pada salah satu karakter seperti umum digunakan pada ilustrasi dalam dialog novel visual. Teknik ini dapat digunakan untuk mempermudah dan mempercepat proses gambar tetapi akibat jarangnya saya menemukan komikus menggunakan teknik ini dalam komik, terlalu jelasnya copy-paste, dan gambar yang hanya terpisah dalam satu panel saja memberikan sedikit perasaan mengganjal dalam menikmati komik.
Kelemahan gambar pada karakter sepertinya masih dapat ditutupi oleh komikus dengan menceritakan bagaimana sifat dan latar belakang karakter tersebut tetapi hal ini tidak dapat dilakukan dengan objek atau benda mati. Objek paling ikonik dalam komik ini menurut saya adalah kursi roda. Kemunculan sang kursi roda sangat konsisten dari awal sampai akhir komik hampir selalu mendampingi Riya pergi kemanapun dia pergi. Pepatah tiada gading yang tak retak nampaknya menjadi sebuah hal yang absolut di dunia ini. Kesetiaan sang kursi roda dibayar oleh bentuk fisik yang kurang menarik. Hal yang memancing perhatian adalah roda dari sang kursi roda yang tidak terlihat “rata dan bundar”, bahkan pada salah satu panel yang menggambarkan sang kursi roda dalam masa silam, berhasil membuat perasaan menjadi campur aduk melihat kondisi sang kursi roda.
Berbeda dengan gambar karakter dan objek yang masih memerlukan banyak perbaikan, gambar latar/background berhasil digambarkan dengan cukup baik dan konsisten dari awal hingga akhir komik. Gedung sekolah, toko buku, pepohonan, rerumputan, dan gedung-gedung sudah saya anggap sesuai dengan standar komik-komik profesional lokal maupun impor yang terbit di Indonesia. Bahkan saya sangat kagum, terutama dengan gambar sekolah dan toko buku yang mana selain memiliki detail yang mirip, juga diberikan efek pencahayaan dengan penggambaran bayangan dari gedung-gedung tersebut secara indah.
Hal yang ramai menjadi perbincangan pembaca berkaitan dengan gambar latar adalah penggunaan gambar latar lapangan tenis, padahal Erina digambarkan sedang bermain bulutangkis. Hal ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan atau dibesar-besarkan karena pada kenyataannya penggunaan sebuah lapangan untuk berbagai macam kegiatan olahraga adalah hal yang umum seperti lapangan voli dan basket yang menjadi satu pada beberapa sekolah. Selain itu, bermain bulutangkis juga tidak terpaku pada bentuk lapangan tertentu, bermain di pinggir jalan, di lapangan bulutangkis, di halaman sekolah, ataupun di tengah lapangan sepakbola sah-sah saja asalkan bukan pertandingan resmi.
Kemampuan komikus dalam menyampaikan cerita melalui panel masih dapat diterima. Dari keseluruhan komik, hanya satu panel di mana terdapat kebingungan untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh komikus. Panel tersebut adalah ketika salah satu tokoh memandang ke sebuah tempat kosong (atau sebenarnya tidak?) setelah orang yang ditunggunya datang. Namun terkait dengan penceritaan, komikus sering menjelaskan kejadian-kejadian penting (yang terjadi) dalam kalimat deskriptif daripada memanfaatkan panel-panel gambar, yang justru menjadi pembeda komik dengan susastra tulisan seperti misalnya novel.
jadi kesimpulannya , komiknya jelek
dan saya mau nambahin. ada adegan dimana disitu ada tokoh ketua kelas, dimana salah satu temannya (1 sekolah, bahkan 1 kelas) memanggil dengan sebutan “ketua kelas” berkali-kali. at first i was: “helooo…. apa kamu ga tau nama teman sekelasmu? dan cuma manggil dia “ketua kelas” terus? apa iya di indonesia kaya gitu pergaulan sekolahnya? kalo jepang sih masih mungkin manggil “ketua kelas” atau “iinchou”…
gw gak tau sih kalau di tempat kalian, kalau di kami sih, manggil ketua kelas dengan sebutan “ketua kelas” bukan hal yang baru…..
“woi, ketua kelas mana blablabla, ketua kelas gimana lbalbalb… :v
tapi biasanya make ketua kelas buat yang ada hubungannya sama kegiatan sekolah aja kebanyakannya…. jarang diluar itu, walau ada juga….
yaa.. emang kalo gitu masih bisa ditolerir.. tapi dalam komik ini panggilan “ketua kelas” dilakukan di kafe… ya, kafe.. dan meraka ga lagi ngobrol soal kegiatan sekolah..
dulu sempet mau beli komik ini, tp gajadi karena ngeliat dari sampul depannya yang kebanyakan cewe + style character nya yang rada childish (ex: ada twintail nya dan rada loli). jujur ga begitu suka sama kebanyakan character cewek (harem), apalagi bentuk character nya yg childish. kalo semisal style character nya kaya “me vs big slacker baby” mungkin bakal gue beli tuh.