Ada empat isu yang patut menjadi fokus PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) dalam pelayanan kereta rel listrik (KRL) Commuter Line yaitu sarana stasiun, pola integrasi dengan Transjakarta, permasalahan permukiman liar, serta permasalahan penjadwalan.
Saat ini, stasiun-stasiun KRL Commuter Line sudah memiliki prasarana yang lebih baik. Tampilan stasiun lebih modern dan memberikan kenyamanan pada calon penumpang, ada sistem mesin ticketing dan vending machine, serta maraknya waralaba convenience stores. Namun, masih ada isu seperti stasiun Tanah Abang yang terkesan sempit sehingga tidak layak sebagai stasiun transit, apalagi terminus. Ada pula isu ketidaknyamanan di area luar stasiun, seperti stasiun Kebayoran yang diselimuti lapak Pedagang Kaki Lima (PKL), aspal yang rusak di area parkir stasiun Sudimara, konflik antara ojek pangkalan dengan ojek online dan lain-lain.
Tidak sedikit stasiun Commuter Line yang berlokasi dekat dengan perumahan penduduk, seperti stasiun Pondok Ranji dengan Bintaro Jaya Sektor III, stasiun Cakung dengan Bintara Indah, stasiun Jurang Mangu dengan Bintaro Jaya Sektor VII dan perumahan-perumahan lainnya. Sebenarnya, semuanya dapat diuntungkan apabila stasiun yang ada memiliki area parkir khusus sepeda. Dengan diawali pembangunan area parkir khusus sepeda di stasiun komuter di Jabodetabek, saya berharap Jakarta Raya mulai meluaskan jalur khusus sepeda. Kita dapat berkaca kepada Tokyo dan Amsterdam yang sudah melakukannya lebih dahulu, maka KCJ secara tidak langsung dapat berperan lebih lanjut mengurai kemacetan dan berpartisipasi dalam penyehatan masyarakat.

Harapan kedua saya ada pada pola integrasi moda transportasi Transjakarta dengan KRL Commuter Line. KCJ sebaiknya tidak hanya fokus kepada akses area perkantoran saja seperti sekarang. Akses antarmoda yang sudah ada antara lain bus Transjakarta penghubung stasiun Tebet dengan kawasan Karet, stasiun Palmerah dengan kawasan Sudirman, dan bus pengumpan lainnya.

Selain itu, Jakarta juga memiliki banyak potensi wisata. Saya berharap beberapa kawasan wisata ibukota Jakarta juga terhubung dengan stasiun KRL Commuter Line. Contohnya dengan mengoperasikan bus Transjakarta antara stasiun Tanjung Barat dengan Ragunan, stasiun Ancol dengan Taman Impian Jaya Ancol, stasiun Cikini dengan Taman Ismail Marzuki dan lain-lain. Dengan itu, saya yakin masyarakat akan beralih ke angkutan umum. Apalagi pemerintah provinsi DKI Jakarta telah mewacanakan mengganti sejumlah bus regular Metro Mini dan Kopaja yang tidak layak beroperasi dengan armada Transjakarta. Segenap anggota keluarga jadi tidak perlu dihantui kecemasan menaiki armada bus yang penuh polusi, sopir dan kondektur yang tidak bersahabat, waktu yang terbuang karena ngetem, panasnya kendaraan karena ketiadaan pendingin udara, sempitnya kursi bagi mereka yang jangkung, apalagi aksi pemerasan oleh preman dengan modus mengamen ataupun pembacaan puisi yang dibumbui perkataan yang kasar.
Acara pameran besar ibukota juga dapat terbantu dengan adanya integrasi KRL Commuter Line dan bus Transjakarta. Kita dapat mencontoh Singapura yang memiliki stasiun Expo untuk pengunjung acara pameran. Jakarta juga dapat membuat skema Jakarta Convention Center (JCC) yang terhubung dengan stasiun Palmerah dan gelaran Kemayoran Expo yang terhubung dengan stasiun Rajawali menggunakan bus pengumpan Transjakarta. Bayangkan saja pada gelaran besar seperti pameran otomotif dan properti, JCC dan Kemayoran Expo selalu dibanjiri oleh pengunjung dengan beragam jenis mobil pribadi yang terparkir di lahan yang terbatas. Antrian keluar dan masuk pun menular hingga ke ruas jalan raya, baik di Jl. S. Parman maupun di Jl. Benyamin Sueb. Dengan mendorong golongan masyarakat kelas menengah ke atas untuk berpindah ke KRL Commuter Line dan bus Transjakarta, tentu akan mengurangi beban area parkir dan antrian mobil pribadi tersebut.
Lebih jauh, PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebaiknya bersinergi dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta agar di luar stasiun-stasiun besar memiliki terminal bus resmi. Berkaca dari stasiun Tanah Abang, angkutan umum dengan rute Tanah Abang dan Jatibaru semakin banyak dan mempersempit ruang gerak kendaraan pribadi yang melintasi samping stasiun dan juga menghalangi penumpang KRL Commuter Line untuk keluar-masuk stasiun sisi barat kotamadya Jakarta Pusat tersebut. Keberadaan angkutan umum tersebut menjadikan sisi luar stasiun Tanah Abang seperti terminal bus bayangan. Begitupun dengan stasiun Pasar Senen. Sebaiknya dibangun jembatan penyeberangan orang (JPO) atau terowongan penyeberangan orang (TPO) yang terhubung langsung dengan terminal bus Senen.
Isu lain yang sangat mendesak adalah perlunya akses keluar-masuk stasiun Manggarai yang terhubung dengan terminal bus Manggarai dan Pasaraya Manggarai. Selama ini penumpang harus berjalan kaki memutar melalui underpass Manggarai yang gelap, sempit, berpolusi udara, dan dibanjiri arus kendaraan bermotor.
Karena tidak berhentinya rangkaian KRL Commuter Line di stasiun Gambir, saya menekankan pola integrasi yang dapat dilakukan berupa pengoperasian armada bus Transjakarta antara stasiun Gambir dengan stasiun-stasiun KRL Commuter Line terdekat, baik itu di stasiun Gondangdia, Cikini maupun Juanda. Begitupun dengan stasiun Pasar Senen dan Tanah Abang sebaiknya juga dilayani oleh bus Transjakarta. Pengoperasian bus Transjakarta dengan rute stasiun Pasar Senen ke stasiun Kemayoran adalah untuk mengakomodir penumpang KRL Commuter Line rute Loop Line (lingkar) agar tidak perlu transit di stasiun Gang Sentiong hanya untuk berganti KRL menuju arah yang berlawanan. Ini belum ditambah antrian menuju TPO Stasiun Pasar Senen yang sempit dan proses Tap Out yang cukup lama di gerbang keluar. Sedangkan untuk rute Transjakarta dari stasiun Tanah Abang ke stasiun Gambir, diharapkan mampu untuk mengakomodir penumpang KRL Commuter Line rute ‘kulon’ atau Green Line (Serpong, Parung Panjang dan Maja) untuk menjangkau stasiun Gambir, yang selama ini sulit dijangkau karena dampak antrian di stasiun Manggarai untuk berganti rute KRL dan minimnya rute Loop Line yang lebih banyak menjadikan stasiun Duri sebagai terminus.
Untuk permasalahan pemukiman liar, saya berkaca dari Gubernur DKI Jakarta Ahok yang mampu merelokasi sejumlah warga permukiman di bantaran kali ke rusun yang telah disediakan. Mengapa tidak diaplikasikan untuk sejumlah permukiman liar di bantaran rel kereta api? Tengok di sekeliling stasiun Duri, tepatnya di sepanjang rel antara Tanah Abang – stasiun Duri dan lain-lain.
Permasalahan lain yang terus menghantui adalah keterlambatan perjalanan kereta api (KA) jarak jauh dan KRL Commuter Line. Daripada lama menunggu stasiun Manggarai untuk dibangun bertingkat, saya berharap agar beberapa perjalanan KA jarak jauh menjadikan stasiun Jakarta Kota kembali sebagai terminus. Ini semata karena kapasitas dipo Manggarai, Pasar Senen dan Tanah Abang yang kian terbatas, ditambah makin banyaknya rangkaian KA Kelas Ekonomi baru yang dimulai dari era KA Bogowonto hingga ditambahkannya Kelas Ekonomi pada kereta penumpang tipe K-9 yang dahulu bercitra rangkaian Kelas Eksekutif Argo saja. Saya yakin dipo Jakarta Kota masih sanggup untuk menampung tambahan perjalanan KA jarak jauh tersebut.
Fokus utama armada pengumpan supaya tidak terpaku kepada bus Transjakarta saja. Armada transportasi umum lainnya juga patut dioperasikan, dengan pengecualian armada angkot yang tidak efektif sebagai angkutan umum pengumpan antara stasiun KRL dengan kawasan perkantoran, wisata maupun stasiun KA besar yang notabene hanya untuk melayani KA jarak jauh saja.
oleh Wardana Qurtubi | Penulis adalah railfans, anggota IRPS, serta kontributor buku “Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867 – 2014”