Setiap sore di halte Dukuh Atas 1, tampak sejumlah bus Transjakarta berjejer. Penumpang yang menumpuk berjejer sesuai arah tujuannya masing-masing. Ada yang hendak menuju Blok M, ada yang hendak menuju Grogol, dan ada yang hendak menuju Bekasi, baik Bekasi Barat atau Timur. Bus datang bertubi-tubi, dan halte sesaat terlihat lengang, kemudian penuh lagi dengan penumpang lain yang terus tiba di halte tersebut. Setelah naik, bus terhenti saat memasuki halte Karet Sudirman. Rupanya ada antrean empat bus yang sedang menaik-turunkan penumpang di depannya. Di seberang jalan, bus patas AC Mayasari Bakti berjalan lambat, juga dalam kondisi dijejali penumpang.
Cerita tersebut adalah cerita keberhasilan Transjakarta dalam menyiapkan rute-rute baru, dari 39 rute pada 2015 menjadi 79 rute pada akhir 2016 dan akan terus bertambah pada tahun ini. Tetapi di balik kisah sukses tersebut ada bom waktu yang sedang ditanam. Sistem BRT yang digagas gubernur Sutiyoso 13 tahun lalu mulai menunjukkan titik jenuhnya. Antrian bus yang menggila di Cawang UKI, Harmoni, dan halte-halte transfer lain jadi pemandangan sehari-hari.
Hal serupa juga terjadi di KRL Jabodetabek di mana saat ini PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) terus melakukan rekayasa operasi untuk menangani jumlah penumpang yang kini menyentuh 900 ribu orang per hari. Tak terhitung kisah gondok penumpang yang terkena antrian setiap pagi dan sore di Manggarai, atau balada mereka yang harus setia berdiri belasan menit di Cipinang dan Jatinegara. Ini terjadi pada posisi 900 ribu, sementara Perpres 83/2011 yang mengamanatkan pembangunan KRL Jabodetabek menargetkan KRL harus mengangkut 1,2 juta penumpang per hari.
Memang Manggarai sedang dibangun dan Kemenhub sedang menyiapkan program revitalisasi persinyalan KRL yang sudah usang. Tapi apa iya setelah Manggarai selesai, kita mau melihat kiamat di jalur-jalur lain?
Tidak Semua Orang Bisa Dipaksa Naik KRL
Pergerakan penumpang di Jabodetabek (dan selanjutnya, Karawang dan Rangkasbitung) punya karakteristiknya sendiri. Hitung-hitungan selain ongkos KRL memegang peran penting dalam penentuan moda transportasi yang akan dipergunakan. Misalnya, bus-bus APTB tujuan Bogor, Bekasi, dan Cileungsi yang tetap penuh berjubel walau sebagian rute tersebut bisa dijangkau dengan KRL. Ini belum mempertimbangkan rute-rute lain yang tidak practical untuk disentuh dengan KRL.
Saat MRT akan dibangun, ada pihak yang mengkritik “kenapa dibangun sampai Lebak Bulus? Kenapa tidak memberdayakan saja akses ke stasiun KRL Jurangmangu?”. Jawabannya adalah karena konektivitas KRL tidak dapat menjangkau sejauh itu. Penumpang menginginkan perjalanannya dilakukan dengan cara yang mudah, efisien, dan kalau bisa tanpa perlu transit. Ini yang coba digagas dengan sistem APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway) dan kini diteruskan dengan Transjabodetabek. Dari Ciputat atau Bulak Kapal, penumpang bisa naik Transjabodetabek dan meneruskan perjalanan dengan Transjakarta biasa di halte dalam koridor.
Itu alasan mengapa kota-kota satelit di sekitar Tokyo, Jepang dilayani dengan berbagai macam operator KRL, dan dari luar kota, KRL-KRL milik operator swasta itu langsung masuk ke dalam jalur subway dan mampu mengantar penumpang dari rumah berjarak 50-70km langsung ke pusat kota. Setiba di stasiun hub besar seperti Shibuya atau Shinjuku, mereka bisa berganti ke moda atau rute lain di dalam kota.
Justru tantangannya adalah karena kapasitas sistem semacam Transjabodetabek (dan perlahan, 9 dari 12 koridor Transjakarta saat ini) ini tidak secepat, seefisien, dan selancar MRT atau LRT-lah maka pembangunan transportasi massal berbasis rel itu mutlak dilakukan. Pada sore hari, waktu tempuh rute-rute tersebut di atas 1,5 jam dan sulit menggaet orang yang sudah merasa lebih cepat dengan sepeda motor untuk kembali menggunakan transportasi umum.
Jangan Sampai Menyesal 20 Tahun Kemudian
Memang ada kisah-kisah kegagalan pembangunan KRL di sekitar Tokyo. Rute Toyo Rapid yang menghubungkan Nishi-Funabashi dan Toyo-Katsutadai misalnya, menjadi salah satu rute termahal di Tokyo selain LRT Yurikamome. Baik Yurikamome dan Toyo Rapid dibangun saat perekonomian Jepang mendekati bubble. Ketika resesi melanda awal 1990-an, ekonomi Jepang seketika jatuh dan seluruh proyeksi bisnisnya menjadi berantakan.
Tetapi di Tokyo, hanya dua rute tersebut yang “gagal” secara umum. Rute-rute lainnya dibangun dengan perhitungan demand jangka menengah sampai panjang. Itu mengapa pembangunan shortcut Ueno-Tokyo Line tetap dilakukan walau memakan biaya 4 triliun untuk rute sepanjang 2 km saja, karena pembangunannya efektif mengurangi kepadatan kereta api di Tokyo sekaligus memperbaiki konektivitas penglaju dari utara ke selatan Tokyo.
Masterplan pembangunan transportasi massal di Jabodetabek sudah ada sejak dekade 1980-an, kemudian akan dibangun pada 1990-an namun terkendala krisis. Lalu memasuki pertengahan 2000-an, pembangunan Manggarai terus ditunda dan pembangunan MRT terus tarik ulur sampai akhirnya sekarang dibangun. Saat LRT, MRT, dan Manggarai dibangun kini muncul komentar-komentar andai saja proyek ini selesai sejak dahulu.
Memang membangun proyek padat modal tidak bisa dilakukan secara gegabah. Perlu ada survei yang holistik mengenai pergerakan penumpang. Tetapi rasa-rasanya itu bukan alasan untuk tidak membangun LRT dan MRT, apalagi menimpakan seluruh beban tulang punggung angkutan komuter ke KRL Commuter.
Manggarai tetap harus dibangun. Jalur loop line tetap pula harus dibangun. Akses yang lebih baik bagi masyarakat Rangkasbitung pun baik. Tetapi mari melihat LRT dan MRT bukan sebagai pesaing, namun pelengkap dan nantinya akan mengurangi beban transportasi eksisting saat ini seperti KRL Commuter dan Transjakarta. Asalkan integrasi antarmoda-nya benar-benar disiapkan dengan matang. Masyarakat di Lebak Bulus, Cibubur, dan daerah-daerah lainnya yang tidak terjangkau KRL juga berhak mendapatkan angkutan yang cepat, langsung, dan nyaman.
Oleh Kevin W | Penulis telah menggunakan transportasi KRL sejak 2007 sejak zaman masih sering tidak membeli karcis, menggunakan abunemen KRL ekonomi AC, sampai membeli kartu multi trip di hari pertamanya dijual. Pengguna Transjakarta sejak bus Huanghai pertama beroperasi di koridor 5.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.