Wacana pergerakan industri komik dan industri kreatif Indonesia sudah sering didengar. Bukan wacana baru, bukan ide baru.
Kata orang, Indonesia ini negeri yang sangat besar potensinya. Begitu besar uang yang bisa digali seiring perekonomiannya yang terus membaik. Kalau Jepang dan Korea Selatan sudah “kering”, di Indonesia banyak sekali lahan basah untuk dieksplorasi.
Maka, celaka dua empat bila komik Indonesia tidak punya taji sama sekali di negeri sendiri. Penerbit-penerbit lebih suka menjual komik yang dibuat oleh komikus luar (meskipun mereka sudah cukup sering mengeluh bahwa margin komik-komik luar itu jauh lebih tipis dari buku non-komik.)
Pesaingnya bukan lagi Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea Selatan, maupun Cina. Industri kreatif Malaysia bahkan sudah mulai bergerak mengeksplorasi pasar Indonesia. Memasukkan konten anak-anak di saat industri media Indonesia saat ini lebih peduli membuat sinetron dan lawak, saat anak-anak menyanyi lagu orang dewasa, maka masuklah kartun Malaysia ke hati anak-anak Indonesia.
Di tengah kesempatan seperti ini, saya merasa, celaka dua empat (lagi) bila konglomerat animasi dan penerbit Jepang masuk secara langsung ke Indonesia. Tidak lagi “nyilih tangan” via penerbit lokal. Bencana besar bila Dengeki, ASCII Media Works masuk secara resmi, menerbitkan buku bergambar, majalah kartun langsung dari sumber aslinya. Ibarat mobil Esemka maupun mobil listrik nasional yang (hampir) mati duluan, keburu digilas LCGC pabrikan Jepang itu.
Sebagai orang yang hidup di era 2000-an, sulit bagi saya mengingat kembali kejayaan komik Indonesia karena memang saya tidak pernah hidup dekat dengan komik Indonesia. Dekade 2000-an yang besar dengan kartun dan komik asal Jepang, sudah satu generasi tersendiri dan cukup untuk memutus hubungan mereka dengan karya lokal yang pernah ada.
Maka, saat kemarin Sabtu saya bertemu dengan komikus seperti mas Andik dan mas Yudha dari re:ON Comics, bersama Dody saya sedikit membahas masalah karya komikus Indonesia yang masih kesulitan menggapai tempat di hati sendiri ini.
Menurut mas Yudha, ilustrasi maupun gaya gambar sama sekali bukan jadi masalah. Yang menjadi masalah, tuturnya, adalah bagaimana gambar yang imba sugiru itu digabungkan dengan dasar cerita yang kuat sehingga orang-orang tertarik membacanya. Begitu pula pendapat Dody, yang sejujurnya lebih menyukai gaya gambar “shoujo” maupun saya yang lebih suka gaya “bishoujo”.
Diskusi sempat dilanjutkan dengan bahasan menarik seputar “apa itu komik Indonesia”. Rupa-rupanya, yang dimaksud dengan “komik Indonesia” tidak sekadar komik yang dibuat oleh orang Indonesia, namun harus punya ciri khas keIndonesiaan di dalam komiknya.
Dari sini memang sempat ada perdebatan sengit. Apa itu berarti membawa kembali gaya komik Indonesia medio 80-90an ke hari ini? Atau memegang apa yang digemari pasar saat ini terlebih dahulu?
Sehingga untuk mulai kembali memberdayakan komik Indonesia, strategi yang paling penting menurut kami berempat adalah membangun pasarnya terlebih dahulu, memulai dari nol.
Membangun pasar berarti menciptakan produk yang pasti disukai oleh pasar terlebih dahulu. Tidak bisa dengan pendekatan memaksakan selera maupun gaya tertentu kepada pasar saat ini yang menikmati striming anime sambil menyeruput kopi di Starbucks dan mengantri minyak tanah demi masuk acara pameran maupun menonton konser SNSD.
Hal tersebut tercermin dari dua volume pertama komik re:ON. Setelah membacanya, saya tidak heran mengapa komik seperti ini begitu laris manis terjual pada acara besar minggu lalu. Banyak yang, suka tidak suka, “anime banget”, termasuk komikusnya yang beberapa memang dahulu gemar membuat doujinshi.
Kontroversi mengenai ini memang cukup santer di kalangan senior komikus Indonesia. Ada yang membenci namun tidak sedikit pula yang menerima. Menerima fakta bahwa tidak mungkin terjebak dengan bayangan masa lalu. Harus move on, mendefinisikan ulang komik Indonesia.
Tetapi mimpi-mimpi nostalgia 80-an itu sebaiknya ditahan dulu sebelum kembali dimunculkan. Jangan musyrik, melakukan lebih dari satu hal yang justru menyebabkan semua rencana itu gagal. Setelah basis pasar yang dibangun cukup kuat, barulah perlahan-lahan “heritage” komik Indonesia masa lampau itu diperkenalkan ke basis pasar yang sudah dibangun ini.
“Lebih baik fokus membangun pasarnya dahulu,” hemat Andik.
Kemampuan bergerak dinamis tidak hanya diperlukan oleh pencipta komik Indonesia maupun KAORI sebagai organisasi, tapi harus juga diikuti dengan keinginan para penggemar animasi dan komik di Indonesia untuk mulai mencintai karya buatan negeri sendiri.
Di sinilah hal yang remeh tapi krusial justru menjadi penting: dengan membeli, membaca, dan mencintai produk bangsa sendiri. Membeli komik Indonesia adalah langkah yang mudah-mudah saja dilakukan tetapi akan sangat besar dampaknya bila dilakukan semua orang. Tidak perlu berjuang mati-matian menembus penghargaan internasional karena kita sudah terlalu banyak menjadi langganan pemenang acara seperti itu.
Maka, saya bertekad. KAORI secara keseluruhan harus pula membawa semangat cinta komik dalam negeri ini ke dinamika penggemar anime yang terus berkembang saat ini. Secara pribadi, saya bertekad untuk menambah rasio komik Indonesia dan komik luar saya, minimal ada satu komik Indonesia dari dua, tiga komik luar yang saya beli.
Kalau karya buatan orang Indonesia setiap tahun selalu menang ajang penghargaan komik internasional, apalah sulitnya membuat karya yang menang dan dicintai di negeri sendiri.
Shin Muhammad
Administrator KAORI