Pada tanggal 9 Maret 1942, penjajah Belanda secara resmi menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati setelah kehancuran armada sekutu di Laut Jawa membuat Belanda tak kuasa lagi mempertahankan posisinya di Jawa. Maka dimulailah pendudukan Jepang di Indonesia yang dibungkus dengan harapan pembebasan bangsa Asia dari penjajahan Barat, namun nyatanya tak kalah eksploitatif. Di tahun 2017 ini telah genap 75 tahun sejak peristiwa Kalijati. Dalam momen peringatan ini marilah kita mengenang salah satu peninggalan paling kejam dari imperialisme Jepang: jugun ianfu. Sejarah ianfu ini juga sempat diangkat dalam sebuah pameran seni instalasi bertajuk Kitab Visual Ianfu di Jakarta pada Agustus 2016 silam untuk memperingati Hari Ianfu Sedunia, yang kemudian sempat saya kunjungi.

Saya sendiri mulai mengetahui mengenai jugun ianfu saat tengah menempuh pendidikan Ilmu Hubungan Internasional, dalam kelas mengenai dinamika politik internasional di kawasan Asia Timur. Ianfu, yang merupakan eufemisme untuk pelacur, adalah perempuan muda yang secara sistematis dikumpulkan dan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan seksual serdadu kekaisaran Jepang. Praktek tersebut juga dilakukan di Indonesia sebagai salah satu negeri yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II.

Sebagaimana saya pelajari dalam kelas yang saya sebutkan sebelumnya, pelaksanaan operasi militer di luar negeri sesungguhnya tidak hanya membutuhkan logistik yang nampak lumrah seperti amunisi dan makanan, tetapi juga seks. Tapi ada juga momen spesifik yang menjadi pemicu bagi militer Jepang di Perang Dunia II untuk memilih perbudakan seks secara sistematis bagi pemenuhan keperluan itu. Sebagaimana dirangkum oleh peneliti sejarah ianfu EkaHindra dalam pengantar pameran Kitab Visual Ianfu, sistem tersebut mulai diterapkan setelah terjadinya pemerkosaan massal oleh serdadu Jepang dalam peperangan menaklukkan daratan Cina di tahun 1930-an, yang mengakibatkan para serdadu kemudian mengalami penyakit menular seksual.
Berdasarkan rekomendasi dokter militer, Tentara Jepang memutuskan untuk menyediakan perempuan “bersih” (maksudnya telah diperiksa tidak mengidap penyakit menular seksual) agar para serdadu dapat memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa resiko terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan bertempur mereka. Berbagai teknik pemaksaan digunakan untuk menarik perempuan-perempuan muda ke dalam sistem ini.

Bagian paling tragis bagi jugun ianfu adalah mereka tidak hanya menderita dari kekerasan seksual yang dilakukan tentara Jepang. Dalam penelitiannya mengenai ianfu Korea, Pyong (2003) menemukan bahwa ianfu juga terus menderita setelah perang berakhir akibat rasa malu yang mereka tanggung. Khawatir akan stigma dari masyarakat jika diketahui pernah menjadi ianfu, mereka bungkam mengenai masa lalu mereka itu dan mengasingkan diri dari pergaulan sosial. Maka pertemuan antara kolonialisme dan hirarki gender, baik di negeri penjajah maupun di negeri yang dijajahnya, sama-sama perlu dianalisis untuk memahami secara utuh penderitaan ianfu saat dan setelah berlangsungnya sistem tersebut.
Dalam konteks Indonesia, salah satu tujuan Kitab Visual Ianfu, sebagaimana diutarakan, adalah membangun kesadaran mengenai persimpangan antara kolonialisme dan gender yang menjadi penyebab penderitaan ianfu, agar “di masa depan anak cucu ianfu tidak menunjuk ke makamnya sebagai makam pelacur Jepang.” Apakah nilai-nilai masyarakat di Indonesia sendiri tanpa disadari juga telah mengakibatkan stigma dan pembungkaman pengalaman pedih ianfu Indonesia? Ini adalah suatu hal yang perlu ditelaah dan dipahami.

Memperhatikan persimpangan antara militer, gender dan seks juga senantiasa penting karena hal tersebut tidak hanya dapat ditemukan dalam sistem ianfu; dan tidak juga hanya terbatas pada masa Perang Dunia yang telah lampau. Hubungan antara militer, gender dan seks tetap menjadi isu kritis, misalnya, pada keberadaan pangkalan militer AS di negara-negara lain seperti Filipina, Korea Selatan, atau Jepang. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh personel pangkalan militer tersebut terhadap perempuan penduduk setempat telah banyak menimbulkan kontroversi, dan diskusi yang lebih detail mengenai isu ini dapat ditemukan dalam berbagai bacaan, seperti Bananas, Beaches, and Bases: Making Feminist Sense of International Politics karya Cynthia Enloe.

Baik dalam momen hari Ianfu Sedunia di tanggal 14 Agustus, ataupun dalam momen peringatan dimulainya pendudukan Jepang di Indonesia, mengingat dan mempelajari pengalaman jugun ianfu menjadi penting untuk memahami secara kritis persimpangan antara militer, gender, dan seks; sebagai pelajaran untuk mencegah kekejian dan derita di masa kini dan seterusnya.

Bacaan lebih lanjut:
- EkaHindra, “Praktek Sistem Ianfu Periode 1931-1945” dalam Kitab Visual Ianfu art exhibition (2016).
- Enloe, Cynthia, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Politics, updated edition (University of California Press, 2008).
- Pyong Gap Min, “Korean ‘Comfort Women’: The Intersection of Colonial Power, Gender, and Class,” dalam Gender and Society, Vol. 17, No. 6 (December 2003), hlm. 938-957.
Teks dan foto oleh Halimun Muhammad | Penulis telah menyelesaikan studi S1 Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan opini dan kebijakan KAORI Nusantara.