Cerpen: Titanic 2020 karya addang13
Manusia itu makhluk sombong. Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan akan selalu seperti itu.
Aku hanya bisa menghela nafas saat pasukan Kerajaan Amerika memulai proyeknya. Bagaimanapun, aku turut ambil bagian dalam proyek itu sebagai Electrical System Specialist. Akal sehat memaksaku menerima proyek itu. Maksudku, siapapun yang masih punya hati nurani tidak akan setuju akan proyek ini, terutama jka kamu termasuk golongan orang kalah. Golongan yang bukan merupakan bagian dari Kerajaan Amerika.
Demi proyek itu, sebuah Line Cruiser terbesar sepanjang sejarah panjang manusia pun dibuat. Dan aku adalah salah satu orang yang terlibat dalam penciptaannya. Kendaraan antarplanet berbentuk seperti kereta api itu dibuat dengan mengunakan semua bahan yang tersedia di Bumi. Bumi disedot habis-habisan untuk proyek yang mereka beri nama ‘Project Heaven’. Setiap sumber daya yang masih ada di Bumi di bawa serta ke dalam Line Cruiser itu, dari garam sampai miligram terakhir plutonium. Inilah kendaraan yang menurut pembuatnya bahkan Tuhan pun takkan bisa menghancurkannya. Celakanya, aku adalah salah satu penciptanya.
Ya, aku memang termasuk manusia sombong. Aku tidak menyangkal hal itu. Tapi paling tidak aku masih punya hati nurani.
Ketika proyek dimulai, aku dan hati nuraniku mau tidak mau merasa sedikit risih. Bagaimana tidak, ratusan ribu bahkan jutaan orang memohon agar bisa dibawa serta dalam benda terkutuk ini. Sementara para pasukan pengamanan dengan perisai transparan dan pentungan mereka dengan setia menutup pintu masuk. Seperti yang kubilang tadi, jika kalian tidak berguna bagi Kerajaan Amerika, maka kalian adalah golongan orang kalah. Dan golongan orang kalah akan ditinggalkan di planet yang telah mereka kuras habis ini. Dengan cara seperti itu mereka menyebut ini ‘Project Heaven’? Bagi sebagian orang mungkin lebih cocok disebut ‘Project Hell’!
Tiga jam sebelum pemberangkatan, mereka yang tidak diizinkan naik mulai panik. Mereka nekat menerobos pasukan pengaman. Dan yang menyambut mereka bukanlah pintu gerbang, melainkan peluru-peluru tajam yang langsung mengoyak mereka. Sekali lagi hati nuraniku teriris. Aku hanya bisa menatap mereka tanpa daya dari gerbong dua Line Cruiser.
Ah…
Siapa yang aku bohongi. Aku bukannya tanpa daya, aku hanya tidak ingin melakukan sesuatu. Aku tidak ingin di depak dari tempat yang nyaman ini. Aku dan istriku Tria yang entah kenapa masih belum muncul juga. Padahal dia sudah berkali-kali kuingatkan untuk datang tepat waktu.
Ah…
Mungkin saat ini dia sedang merapikan rambut hitam panjangnya. Atau memberi lapisan gincu di bibirnya yang meski tanpa itu sudah berwarna merah delima. Atau mungkin dia sedang memoleskan bedak tipis di pipinya yang nanti akan merah merona saat kupuji betapa cantiknya dia hari ini.
Gelombang manusia di bawah sana terus mengamuk meminta untuk di bawa serta. Dan pasukan pengaman yang ironisnya sama sekali tidak memiliki perasaan tidak mungkin memberi mereka izin. Beberapa ratus orang telah menjadi korban peluru-peluru pasukan penjaga, pasukan yang mestinya melindungi mereka.
Aku tak kuasa melihat pemandangan mengerikan di bawah sana. Aku baru saja memalingkan wajahku ketika kurasakan sesuatu bergetar di dalam saku. Mungkin ini Tria.
“Sayang…” Suara lebut yang selama beberapa tahun ini terus menemani siang dan malamku terdengar dari speaker handphone hitamku. “Aku terjebak masalah di sini.”
Begitu mendengar kata masalah, aku langsung berdiri. Pantas saja dia datang sedikit terlambat.
Tanpa mendengar penjelasannya lebih lama, aku berlari ke elevator. Keuntunganku sebagai salah seorang kepala teknisi di sini adalah aku punya akses tidak terbatas dalam Line Cruiser ini. Bahkan Presiden pun tidak bisa menghentikanku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di tempat masalah. Di pintu gerbang.
Entah siapa orang bodoh yang melarang istriku untuk naik ke dalam Line Cruiser yang aku buat. Setelah sedikit memberi ceramah dan caci maki, akhirnya aku dan Tria bisa duduk dengan nyaman kembali di Gerbong 6 Line Cruiser. Tria bersandar manja di bahuku sambil memejamkan mata. Ku elus lembut rambut istriku tercinta. Mungkin aku terdengar munafik, tapi dialah satu-satunya alasan aku ikut dalam proyek ini. Walau apa yang terjadi aku ingin dia hidup. Dalam bahasa kasar, meski seluruh dunia musnah asalkan dia tetap hidup bagiku tidak masalah.
Line Cruiser yang Gerrard -rekan kerjaku dan sekaligus orang yang mengusulkan proyek ini kepada pihak Kerajaan Amerika- beri nama Titanic, berdiri tegak menunjuk langit. Langit, tempat pelarian manusia ketika mereka telah puas merusak apa yang ada di bumi. Mengenai pemberian nama yang sedikit sarkastik menurutku, Gerrard hanya tertawa kecil sambil berkata;
“Dia adalah kapal yang bahkan Tuhan tidak bisa tenggelamkan. Karenanya dia butuh nama yang besar. Dan menurutku nama ini adalah nama yang cocok.”
Tiga jam telah berlalu dan akhirnya tibalah waktu untuk pemberangkatan. Aku kembali merenungkan pelaksanaan proyek ini. Proyek yang menurutku mengerikan. Yang mengerikan bukan hanya kenyataan bahwa kami dengan mudah meninggalkan ratusan jutaan orang di bawah sana dalam keadaan tanpa sumber daya. Melainkan bahwa untuk bisa membuat Line Cruiser ini bergerak mendekati kecepatan cahaya maka kami akan menggunakan satelit di orbit bumi sebagai salah satu bahan pendorong. Caranya? Tentu saja dengan meledakkan satelit itu. Meski berkali-kali aku mengajukan cara lain, tapi Massriyadi sebagai Weapon and Energy Source Specialist akhirnya memenangkan opini bahwa meledakkan satelit adalah yang terbaik. Meledakkan satelit itu tentu saja akan ada dampaknya, dan dampaknyalah yang paling tidak aku suka. Satelit itu akan hancur berkeping-keping menjadi debris dan terus bercokol di sekeliling bumi. Memotong hubungan antara Bumi dan angkasa luar. Asal tahu saja, sebuah paku saja bisa menyebabkan lubang besar di badan pesawat luar angkasamu.
Ketika kuutarakan alasan itu kepada majelis pertimbangan, awalnya mereka cukup setuju dengan apa yang aku kemukakan. Mereka juga tidak berniat memutus hubungan dengan planet ‘tercinta’ ini. Tapi lagi-lagi kepentingan menang atas hati nurani. Dan di sinilah uang memainkan perannya. Aku hanya bisa meninggalkan ruang rapat majelis dengan dongkol sambil menyeret ransel berisi file-file yang menunjukkan dampak tidak menyenangkan dari rencana itu.
Getaran halus tempatku duduk serta geliat manja Tri di bahuku akhirnya menarikku dari lamunan. Akhirnya Line Cruiser, Titanic, ini berangkat. Dan artinya Project Heaven telah dimulai. Kami meninggalkan atmosfer dengan mudah, menyisakan kepulan asap putih yang dari Pulau Sulawesi akan terlihat seperti garis putih tipis yang membelah cakrawala. Guncangan-guncangan kecil sedikit terasa saat kami melewati tiap lapisan atmosfer, namun tahap pertama bisa dibilang mulus, tentunya berkat kepiawaian Nawir sebagai Navigation and Control System Specialist. Dialah yang mengendalikan Line Cruiser ini dari bumi hingga tiba di sebuah planet baru, tiga bulan dari sekarang.
Lampu merah di langit-langit gerbong kemudian menyala. Menandakan kalau tahap kedua telah dimulai. Tahap yang selama beberapa tahun ini kuperjuangkan agar tidak dimasukkan ke dalam rencana. Yang kurasakan hanyalah gaya gravitasi yang memaksaku bersandar di kursi. Hanya sensasi sejenak itu yang menandai terputusnya hubungan antara Bumi dan angkasa luar. Yang berarti tidak akan pernah ada orang dari bumi yang akan keluar angkasa lagi.
Beberapa saat kemudian lampu merah berganti menjadi hijau. Artinya kami telah lepas dari gravitasi bumi dan alat gravitasi buatan telah dinyalakan. Harus kuakui kalau alat ciptaan Ahmad Wira ini adalah alat terbaik dalam perjalanan ini. Sebuah cincin terus berotasi mengelilingi badan gerbong yang menciptakan gravitasi buatan. Aku tidak begitu mengerti teknisnya tapi dia adalah seorang jenius. Sayang dia tidak bisa menikmati hasil penemuannya. Serangan jantung lebih dulu memanggilnya. Semoga arwahnya tenang di alam sana.
Hamparan bintang yang tanpa henti di atas permadani gelap galaksi bima sakti terlihat begitu indah dan memukau. Membuatku teringat pada saat pertama kali bertemu dengan Tria di Orbital Station Lunar lima tahun yang lalu. Tria sepertinya berpikiran sama sepertiku, bibir manisnya tersenyum tipis sambil menatap hamparan bintang tanpa ujung bersamaku. Andai semua ini tanpa akhir, mungkin inilah surga.
Lampu alarm seolah menarik semua surga yang baru aku nikmati beberapa menit itu ke dalam black hole. Walky Talky di bahuku pun berbunyi, tugas memanggil.
Ku kecup mesra bibir Tria lalu bergegas aku berlari ke elevator.
“Apa yang terjadi?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirku saat tiba di ruang kendali di Gerbong 1 mestinya sudah bisa aku jawab sendiri. Karena hal yang aku tanyakan ada dalam salah satu file yang kutarik penuh dongkol dari ruang rapat majelis beberapa waktu lalu.
“Coronal Mass Ejection!” Andry yang tengah sibuk mengetikkan perintah ke console di hadapannya menjawab tanpa berbalik padaku. “Kita akan kehilangan sistem komunikasi dan kelistrikan dua jam dari sekarang!”
“Yah. Dan pada saat yang sama orang-orang di bumi sedang menikmati aurora.” Gerrard menatapku dengan sedikit sebal.
Kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja, kubalas tatapannya dengan senjata andalanku, tatapan merendahkan! Dan itu berhasil, dia tertunduk agak lama. Mungkin sedikit menyesal tidak mengikuti saranku dulu. Tapi ada hal yang membuatku sedikit lebih khawatir…
Dua jam dari sekarang Line Cruiser ini akan tiba di sabuk asteroid, dan tanpa sumber tenaga serta alat komunikasi, masuk ke sana sama saja dengan bunuh diri. Gerrard tentunya tahu hal itu, terlebih lagi Nawir. Nawir sendiri telah menyiapkan rute baru yang sedikit memutar agar tidak sampai ke sabuk asteroid dalam dua jam. Ini jugalah salah satu kekurangan dalam Line Cruiser terhebat buatan manusia, dia tidak memiliki rem.
Seisi ruangan terpaku pada satu titik, Gerrard. Dialah pemimpin proyek ini, dan dialah yang menentukan semua keputusan. Bagaimanapun aku hanyalah kepala teknisi sekaligus wakilnya.
“Baiklah, bawa kita ke tempat yang aman.” Pada akhirnya Gerrard menurunkan perintahnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Entah apa yang dia sedang pikirkan, dia terlihat sedikit terpukul tapi oleh apa dan karena apa aku sendiri juga tidak mengerti. Yang kutahu sekarang adalah menjalankan tugasku sebagai Electrical System Specialist.
Aku mendapat tugas yang mudah kali ini, memastikan sistem kelistrikan tidak terganggu oleh CME nanti.
Aku berjalan cepat menuju tempat Tria duduk lalu memberikan sebuah komunikator padanya. “Gunakan ini jika terjadi apa-apa.”
Bukannya aku paranoid, aku hanya berjaga-jaga. Sebuah sikap yang pasti akan kalian lakukan jika berada dalam posisiku.
“Janganlah terlalu memaksakan diri.” Mata Tria memancarkan rasa khawatir. Dia bukan orang yang bisa kubohongi dengan berkata tidak ada apa-apa yang terjadi. Dia lebih pintar dariku dan kenyataannya, dia lebih ahli dariku tentang CME.
Awalnya aku sendiri sama sekali tidak memprediksikan hal ini. Bahkan orang paling paranoid pun tidak akan menduga hal ini akan terjadi. CME level X23 mengarah langsung ke kami. Bukan sekali-duakali, melainkan tiga belas kali! Perisai elektromagnetik Line Cruiser luluh lantak dihantam badai proton. Sistem komunikasi lumpuh total begitu pula dengan sistem kelistrikan. Titanic diselimuti gelapnya antariksa.
Orang-orang dalam gerbong mulai panik. Begitu pula para kru. Beberapa mulai berlari memasuki kapal penyelamat dan hal itu jugalah yang sedang aku lakukan bersama Tria. Kutarik lengan mulus Tria berlari melewati koridor khusus teknisi. Menuju kapal penyelamat. Dan lagi-lagi Tuhan memberi penghalang. CME barusan juga mengganggu sistem dari kapal penyelamat.
Tidak mau menyerah, kuperintahkan Tria untuk mengenakan pakaian luar angkasa dan masuk ke dalam kapal penyelamat. Bagaimanapun, dia harus hidup!
Kukeluarkan semua kemampuanku sebagai teknisi, kuperiksa satu persatu komponen dalam pesawat kecil itu. Dan akhirnya kutemukan sumber masalahnya. CME menghanguskan central processor unit pesawat. Dan aku beruntung karena aku selalu membawa sebuah benda seperti itu dalam saku. Memang banyak orang yang sering mengataiku aneh karena membawa benda seperti itu, tapi lihatlah siapa yang tertawa sekarang! Sementara kalian kebingungan mencari pesawat penyelamat, aku akan memperbaiki pesawat ini.
Aku tidak punya waktu banyak. Alarm kembali berdering menjengkelkan, menunjukkan bahwa kami baru saja masuk kedalam sabuk asteroid. Dan hal terburuk kembali terjadi. Hantaman keras dari asteroid berdiameter tiga kilometer mengoyak gerbong 5. Ratusan orang terlontar ke ruang hampa dan bisa kupastikan tidak ada yang akan selamat!
“Kita harus pergi dari sini!” Dengan sedikit tergesa-gesa kunyalakan sistem kendali pesawat.
“Asteroid?” Tria yang sedari tadi berdoa dengan tenang bisa menebak apa yang sedang terjadi. Nalarnya memang tajam.
“Ya…” Aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Dia sudah bisa menebak semuanya. “Dan sebentar lagi Gerrard akan melepaskan gerbong lima dan enam. Dan tentu saja, meledakkannya.”
“Meledakkannya!!?” Tria sepertinya sedikit terkejut. Dia tentu tidak menduga kalau kami menggunakan banyak ledakan agar bisa sampai di sini. “Untuk apa?”
Aku menghela nafas panjang. Untuk apa? Pertanyaan singkat yag seolah mengejek semua hal yang telah manusia lakukan.
Benar juga…
Sebenarnya semua ini untuk apa?
Ah…
Mereka mungkin tidak punya tujuan, tapi aku jelas punya. Aku harus membuat Tria bertahan hidup! Dia tidak boleh mati, tidak di sini!
Aku berbalik, menatap perut Tria yang berisi buah hati kami. Mereka tidak boleh mati di sini!
“Mereka mungkin akan mencoba untuk kembali ke bumi. Paling tidak itu jika Gerrard mengikuti manual.” Pandanganku kulemparkan ke luar jendela. Menatap sebuah bola biru bernama Bumi. “Tapi bagi mereka, kembali ke Bumi adalah pilihan buruk.”
Ku tarik tuas kemudi kapal penyelamat meninggalkan Gerbong 6.
Meninggalkan ratusan orang di dalam sana.
Dan beberapa saat kemudian, Gerbong 5 yang sudah hancur lebur memisah dengan Gerbong 4, lalu meledak bersama dengan Gerbong 6. Ratusan orang yang belum keluar dari Gerbong 6 sudah jelas nasibnya. Dan entah mengapa aku sama sekali tidak merasa kasihan. Berbeda saat aku melihat orang di Bumi yang tertembus peluru pasukan penjaga. Apa hati nuraniku sudah mati?
Dan akhirnya, dinding terakhir membentang di hadapanku. Aku sudah tidak mungkin kembali lagi ke Titanic, hal terakhir yang kulihat dari line cruiser itu adalah sebuah asteroid lain yang menghantam Gerbong 1. Tanpa perisai elektromagnetiknya, mereka adalah kantong kertas yang melayang di luar angkasa. Dugaan terbaik, Gerbong 4 sempat memisahkan diri dan selamat. Tapi untuk memisahkan Gerbong 4 secara manual tanpa perintah dari Gerrard di Gerbong 1 perlu kode dari Setiawan. Sayangnya, komunikasi terakhir darinya menunjukkan kalau dia berada di Gerbong 5 saat asteroid menabrak. Kemungkinan, Titanic telah hancur berkeping-keping.
Tanpa jalan untuk kembali, aku dihadapkan oleh dua pilihan. Tetap mengorbit Bumi seperti ini sampai cadangan makanan serta oksigen kami habis. Atau dengan nekat menerobos debris di depan sana. Dua-duanya berakhir menyakitkan. Dan jelas aku tidak ingin ini berakhir menyakitkan. Tidak untuk Tria!
“Tria…” Aku melepaskan kendali kapal penyelamat lalu melayang ke dekat istriku tercinta.
Tria sedikit heran melihat tingkah anehku. Terus terang saja, aku juga tidak mengerti aku sedang melakukan apa. Hal terakhir yang kuingat adalah aku mengecup mesra bibir merah delimanya lalu kembali ke tuas kendali. Aku melemparkan senyum terbaikku padanya lalu menekan tombol merah yang akan membuat kapal penyelamat ini menjadi dua bagian. Sempat kulihat Tria memukul-mukul kaca jendela yang memisahkan kami. Tapi keputusanku sudah bulat. Mereka harus hidup!
Kapal penyelamat terpisah menjadi dua bagian dan hanya dihubungkan oleh sebuah kawat. Tanpa banyak bicara lagi, aku membawa kapalku dengan kecepatan penuh, membiarkan kapalku yang berada paling depat menghantam debris-debris di luar atmosfer. Lampu peringatan bahaya dan alarm berbunyi tanpa henti-hentinya. Tapi aku tidak peduli, terus kutambah kecepatanku. Entah aku berhalusinasi atau apalah, bisa kudengar tangisan Tria dari belakang sana. Aneh, setahuku semua alat komunikasi sudah lumpuh. Meski bukan tangis yang ingin kudengar melainkan tawa, tapi asalkan ini suaranya bagiku tidak masalah. Meski ini hanya halusinasi asalkan ini adalah suaranya bagiku tidak masalah. Yang jelas dia harus hidup!
Pandanganku mulai berkunang-kunang oleh panas yang menyelimuti tubuhku…
Telingaku tidak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali suara tangisan Tria yang mungkin hanya halusinasi…
Tubuhku sudah meninggalkan rasa sakit yang ditimbulkan potongn besi yang menembus perutku…
Perlahan-lahan dinding pesawat penyelamatku memerah oleh panas. Aku berhasil menembus lapisan debris yang memutuskan hubungan manusia dengan antariksa. Aku berhasil!
Sedikit-demi sedikit pesawat yang kutumpangi mulai hancur…
Tugasku berakhir di sini…
“Rea… Rea… Rea…”
Suara lembut Tria mengalun lembut di kedua gendang telingaku. Memaksaku membuka mata dan menemukan wajah anggunnya diterpa cahaya lampu.
“Lagi-lagi kamu tiduran di sini. Kalau ketahuan penjaga bisa gawat lho.” Tria yang mengenakan blouse biru dengan rok merah muda selutut melayang ringan ke tempatku berbaring. Menara pengawas Orbital Station Lunar.
“Memangnya penjaga bisa menangkapku?” Aku tertawa sedikit sombong.
“Lagipula, kamu tidak mungkin memberi tahu penjaga, bukan?”
“Tahu dari mana kamu?” Tria menatapku dengan senyum manis tapi bernada mengancam.
“Karena aku ingin kamu menjadi istriku.” Aku memasang senyum terbaik yang pernah kumiliki sambil memasang cincin di jari manisnya.
Wajahnya yang tersipu malu masih terbayang hingga kini. Begitu pula suaranya yang terus memanggilku lembut hingga lima tahun berikutnya. Dan yang terdengar paling nyaring kini adalah tangisnya yang entah bagaimana terus terngiang di telingaku. Kenapa kamu menangis Tria? Aku tidang ingin mendengar tangisanmu. Yang ingin kudengar adalah tawamu. Yang ingin kudengar adalah candamu bersama dengan anak kita yang akan lahir beberapa bulan lagi. Yang ingin kudengar adalah kata yang selalu kau bisikkan di telingaku di setiap malam yang kita lewati bersama. Yang ingin kudengar adalah kata yang dulu kau ucapkan saat kau menerima lamaranku.
“AKU CINTA PADAMU”
Dan tubuhku pun melebur dalam atmosfer. Meninggalkan jejak cahaya keperakan di cakrawala langit malam. Malam itu tiga buah goresan cahaya nampak di sisi utara rasi bintang libra. Tapi hanya satu yang sampai di bawah sana.
Manusia itu makhluk sombong. Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan akan selalu seperti itu.
Tapi aku bangga menjadi seorang manusia. Karena aku diperkenalkan akan cinta.
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Titanic 2020