
Sejak Sailor Moon menjadi populer di tahun 90-an, gambaran mahou shoujo yang akrab di benak orang-orang nampak didominasi oleh gadis-gadis yang berubah wujud untuk bertarung dengan penjahat atau monster. Lihat saja bagaimana Pretty Cure menjadi seri mahou shoujo andalan Toei dan TV Asahi di Minggu pagi selama 15 tahun terakhir, atau bagaimana anime Lyrical Nanoha senantiasa mengusung frase mahou shoujo sebagai bagian dari judulnya.

Tapi jika kita menengok kembali seri-seri mahou shoujo klasik seperti Mahoutsukai Sally, Himitsu no Akko-chan, atau Minky Momo, peran tokoh-tokoh mereka bukanlah seperti itu. Mereka hadir sebagai gadis yang mungkin datang dari negeri ajaib atau mungkin diberi kemampuan istimewa, dan menggunakan kekuatan ajaib yang dimilikinya untuk membantu dan menolong orang-orang untuk menghadapi masalah-masalah yang mereka alami atau berupaya memperoleh tujuan yang mereka inginkan. Produser anime Minky Momo dan Creamy Mami, Toshihiko Sato dan Yuji Nunokawa bahkan berpendapat bahwa kekuatan mahou shoujo justru digunakan untuk mendukung dan memberi semangat pada orang-orang untuk hidup di dunia dan mewujudkan impian dan keinginan-keinginan mereka (Galbraith, 2014).
Dengan acuan tersebut, ketika baru-baru ini saya membaca dua komik horor shoujo yang diterbitkan di Indonesia oleh m&c!, Black Alice karya Satomi Nakamura dan Chocolate Magic ~perfect collection~ dari Rino Mizuho, kesan yang saya dapatkan adalah keduanya menghadirkan unsur-unsur yang mirip dengan mahou shoujo klasik, tapi dengan angle yang lebih gelap dalam membawakan narasi tentang mewujudkan keinginan.

Dalam komik Black Alice, si gadis misterius yang menyebut dirinya Alice itu datang dari negeri ajaib untuk menawarkan (dengan cukup memaksa) barang-barang sihir yang dibawanya kepada remaja-remaja yang sedang galau untuk membantu mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Tapi menggunakan barang-barang itu menghanyutkan pemakainya dalam hasrat untuk memenuhi keinginan yang mendorong mereka berbuat hal-hal yang menyakiti orang lain atau diri sendiri, hingga mengakibatkan karma buruk menimpa mereka. Sementara dalam Chocolate Magic, Chocola Aikawa adalah seorang chocolatier misterius yang membuatkan kue-kue coklat ajaib yang bisa mengabulkan keinginan, tapi dengan bayaran sesuatu yang berharga bagi mereka.
Dengan unsur sihir yang dibawakan oleh tokoh-tokohnya, kedua komik ini menyoroti sisi gelap dari keinginan dan hasrat manusia, yang justru bisa mendorong mereka melakukan hal-hal buruk dan kotor, yang terasa dekat dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi remaja sehari-hari. Sebagaimana telah diutarakan oleh banyak pihak (misalnya Thorn, 2001; dan McCloud, 2008), komik shoujo sangat menekankan pada penggambaran perasaan dan hubungan antar karakter, karena itu tidak mengherankan jika komik horor shoujo seperti Black Alice dan Chocolate Magic ini menghadirkan horor bukan dari hantu atau sebangsanya, melainkan dengan menggambarkan sisi-sisi kelam dalam perasaan manusia yang merusak hubungan mereka dengan orang lain.

Di antara keduanya, Chocolate Magic masih memiliki sisi yang lebih cerah. Jika orang-orang yang dibantu Alice selalu tenggelam dalam ketamakan yang berujung pada nasib buruk. Tapi dalam Chocolate Magic, tokoh-tokoh yang bisa menunjukkan ketulusan dalam mengupayakan apa yang mereka inginkan bisa menghindarkan diri mereka dan orang yang mereka sayangi dari petaka yang menimpa mereka yang termakan ketamakan.
Perbedaan lainnya dari kedua komik ini ada pada tokoh gadis ajaib masing-masing. Alice di Black Alice lebih seperti kotak hitam karena apa dia sebenarnya atau apa tujuannya membantu orang-orang dengan barang-barang sihir jahatnya bukanlah hal yang diterangkan dengan jelas. Yang menjadi perhatian utama dalam cerita-ceritanya adalah bagaimana orang-orang yang bertemu Alice menggunakan barang-barang yang diberikan olehnya. Dan Alice hanya berkomentar terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan akibatnya, tanpa dia sendiri terpengaruh perasaannya oleh hal-hal itu. Bisa dibilang peran Alice di sini lebih seperti cermin, yang tak lebih dari hanya memantulkankan kegelapan-kegelapan dalam hati orang-orang dari keinginan-keinginan terpendam mereka.
Sementara Chocola memiliki penokohan yang digambarkan lebih mendalam. Melihat seperti apa tindakan orang-orang yang terlibat dengan coklat buatannya bisa mempengaruhi perasaannya dan pertimbangannya untuk memilih siapa yang dia bantu dan dengan cara apa. Dia bukan sekedar cermin dari sifat orang, tapi bisa ikut terlibat aktif dalam masalah mereka.

Selama puluhan tahun, genre mahou shoujo telah banyak berkembang menjadi berbagai macam rupa. Tapi biar bagaimanapun juga, shoujo adalah rumah tempat asal mahou shoujo, dan komik-komik shoujo tetap tidak kalah dalam menyajikan mahou shoujo dari berbagai sisi, termasuk sisi-sisi yang lebih gelap.
Baca Juga
Anime Mahou Shoujo Pilihan Staf KAORI
Referensi
- Galbraith, Patrick W. (2014), wawancara dengan Toshihiko Sato dan Yuji Nunokawa dalam The Moe Manifesto (Tuttle Publishing).
- McCloud, Scott (2008), Membuat Komik: Rahasia Bercerita dalam Komik, Manga dan Novel Grafis (terj. Alpha Febrianto) (Kepustakaan Populer Gramedia).
- Thorn, Rachel Matt (2001), “Shoujo Manga – Something for the Girls,” pertama kali diterbitkan dalam The Japan Quarterly, Vol. 48, No. 3.
Oleh Halimun Muhammad | penulis adalah penikmat komik dan seri mahou shoujo kesukaannya adalah Cardcaptor Sakura