Ulasan Anime: Seishun Buta Yarou wa Bunny Girl Senpai no Yume wo Minai

2
aobuta
© 2018 HAJIME KAMOSHIDA/KADOKAWA CORPORATION AMW/AOBUTA Project

Salah satu anime yang turut menghiasi penghujung tahun 2018 lalu adalah Seishun Buta Yarou wa Bunny Girl Senpai no Yume wo Minai, atau dikenal juga dengan Seishun Buta Yaou atau Aobuta, ataupun judul versi bahasa Inggrisnya, Rascal Does Not Dream of Bunny Girl Senpai. Anime yang diangkat dari novel karya Hajime Kamoshida dan Keeji Mizoguchi rupanya turut digemari pemirsa, bahkan tercatat menduduki peringkat kedua anime terfavorit pembaca KAORI selama tahun 2018. Namun apa sesungguhnya yang istimewa dari anime ini? Berikut adalah ulasan dari KAORI Nusantara,

Dalam Seishun Buta Yarou wa Bunny Girl Senpai no Yume wo Minai dikisahkan tentang Sakuta Azusagawa yang bertemu dengan aktris bernama Mai Sakurajima. Di perpustakaan yang ramai, Mai dengan pakaian kelincinya berlalu lalang tanpa gangguan, maupun rasa risih dari orang sekitar. Merasa aneh, Sakuta akhirnya menyadari, hanya dia yang bisa melihat Mai saat itu. Fenomena ini disebut, Sindrom Pubertas. Sakuta pun memilih untuk memecahkan fenomena ini dan ternyata tidak hanya Mai seorang yang menghadapi Sindrom Pubertas ini.

Hajime Kamoshida (Sakurasou Pet no Kanojo, 2010) sebagai penulis novel asli dari seri Aobuta sendiri, berhasil membuat sebuah cerita yang cukup menarik di luar ekspektasi. Ketika pertama kali membaca sinopsis dan melihat poster seri ini, pikiran tentang seberapa klise kisah Sakuta sudah menyeruak masuk. Tapi seketika episode awal seri ini tayang dan melihat sendiri ceritanya, Aobuta terbukti lebih dari dugaan akan kisah klise tersebut.

Plot device yang dihadirkan Hajime Kamoshida untuk menghadirkan empati benar-benar berhasil. Inner conflict karakter berhasil ditabrakan dengan visible goals karakternya dan dimasukan ke dalam konsep Sindrom Pubertas. Sindrom Pubertas hadir sebagai sebuah manifestasi dari inner conflict yang dimiliki karakter di Aobutamembuat penonton sendiri akan lebih mudah untuk berempati kepada setiap karakter. Sindrom Pubertas dijelaskan sebagai sebuah kejadian supernatural atau metafisika yang hadir karena perilaku manusia secara psikologi maupun sosiologi. Rintangan setiap karakter pun menjadi lebih jelas, di mana pengidap Sindrom Pubertas harus menghadapi diri mereka sendiri untuk bisa sembuh.

© 2018 HAJIME KAMOSHIDA/KADOKAWA CORPORATION AMW/AOBUTA Project

Aobuta mungkin bisa dibandingkan dengan sejumlah seri lainnya seperti Haruhi Suzumiya atau mungkin Bakemonogatari, di mana ketiganya sama-sama memiliki plot device yang sama, tapi berbeda; satu atau lebih heroine menghadapi manifestasi dari inner conflict yang mereka miliki. Memiliki dasar yang sama, tapi dengan eksekusi yang tentu berbeda. Haruhi yang bosan dengan dunia dan secara tidak sadar menciptakan dunia sesuai keinginannya, Senjougahara yang memohon untuk menghilangkan beban masa kecilnya dan dikabulkan oleh keganjilan, tidak ketinggalan juga Mai Sakurajima yang tidak dapat dilihat orang-orang akibat dari ‘keinginannya’ lalu terkena Sindrom Pubertas.

Ada satu bagian lagi dalam cerita yang cukup menarik, tepatnya pada bagian point-of-no-return. Point-of-no-return adalah bagian dari struktur cerita, di mana situasi baru dan tidak direncanakan hadir. Sangat rapih, tensi cerita turun tepat saat ingin memasuki point-of-no-returnKarakternya sudah memulai langkah pasti bagaimana mereka ingin mengakhiri Sindrom Pubertas yang mereka idap, lalu seketika dipatahkan dan mencipatakan masalah yang lebih besar.

Karakter utama dari seri ini sendiri cukup menyenangkan. Sifat Sakuta yang acuh dan sering melemparkan blue-dry comedysaat bersama permaisuri lain, benar-benar membuat karakternya berbeda dan menyenangkan saat berinteraksi. Sakuta tidak takut untuk berkata apa pun, tidak ada tenggang rasa, dia akan jujur tentang persepsi dia meskipun akan menyakiti lawan bicaranya.

Cloverworks bertindak sebagai studio yang menangani Aobuta, dengan Souichi Masui sebagai sutradara dan Masahiro Yokotani yang menangani naskah ceritaAnimasi yang disajikan dengan cukup baik, tim produksi benar-benar tahu kapan mereka harus menekankan kualitas animasi mereka untuk menambah kadar afeksi pada karakter yang hadir. Penggunaan CGI atau 3D dalam seri ini pun dapat menyatu dengan baik dengan latar.

BGM yang ditangani oleh fox capture plan juga sangat apik dalam dalam menyampaikan emosi dan nuansa. Tak lupa lagu pembuka yang dibawakan oleh The Peggies berjudul Kimi no Sei juga cukup “nagih”.

Sayangnya dalam satu cour yang cukup padat, di mana Cloverworks harus bisa memasukan lima jilid novel ke dalam 13 episode, mengakibatkan anime ini memiliki pace dan tensi yang cukup kacau secara visual. Emosi karakter tidak benar-benar tersampaikan dengan semestinya, di mana sering kali adegan yang disajikan menjadi monoton karena hal tersebut. Untungnya hal ini cukup tertutupi dengan alunan BGM yang cukup apik.

© 2018 HAJIME KAMOSHIDA/KADOKAWA CORPORATION AMW/AOBUTA Project

Pada kesimpulannya, Seishun Buta Yarou wa Bunny Girl Senpai no Yume wo Minai adalah seri yang amat sangat baik secara struktur cerita, maupun konten yang siap menguras empati penikmatnya. Segala kekurangan yang ada pada seri ini tetap dapat dikesampingkan dengan karakterisasi yang menyenangkan untuk disimak, dan tak lupa dengan alunan musiknya yang apik dan “nagih”.

Seri ini cukup direkomendasikan bagi insan-insan yang sudah mengikuti Melancholy of Haruhi Suzumiya maupun Bakemonogatari. Tapi tetap harus dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah seri yang berbeda dan dari tangan yang berbeda pula. Aobuta sendiri juga sudah dikonfirmasi untuk hadir kembali dalam bentuk film layar lebar, yang akan dirilis di Jepang pada musim panas 2019 mendatang.

KAORI Newsline

2 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses