Istilah gatekeeping belakangan muncul di lini masa media sosial saya. Sebagai seseorang yang mempelajari ilmu media, saya malah dibuat kebingungan karena pengertian gatekeeping yang saya pahami adalah konsep yang dipekenalkan oleh Kurt Lewin—yang nanti akan saya bahas. Oleh sebab itulah, saya lantas mengobrol dengan teman saya yang lebih meyakini “konsep yang berbeda” dari kata yang sama ini. Barulah, saya lantas memahami bahwa konsep tersebut lebih mirip dengan bagaimana apresiasi seni dilakukan. Hanya saja hal tersebut tetap memicu perdebatan bila kita menyamakan proses ini dengan yang terjadi pada high art. Mengutip MacWilliams (2008), anime dan manga lebih condong sebagai mass art atau seni yang secara peruntukkannya mengejar sebanyak-banyaknya audiens. Terlebih lagi dalam high art, hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk menjadi gatekeeper. Karena itulah, saya berdiskusi dengannya soal mengapa terjadi gatekeeping yang dilakukan beberapa warganet biasa untuk menjaga sebuah seni yang digunakan untuk menarik banyaknya massa. Lantas, bagaimana hubungannya dengan konsep gatekeeping informasi yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin? Kurang lebih, tulisan saya kali ini akan berkutat soal itu.

Kurt Lewin 

Gatekeeping: Menjaga Budaya atau Menjaga Eksklusivitas?

Hal ini kemudian juga menjadi perdebatan kami. Merujuk pada Janssen & Verboord (2015) dan An & Cerasi (2017), gatekeepers dalam seni tinggi, seperti karya yang biasa dipajang di museum atau eksebisi, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja seperti kurator museum atau kolektor seni kawakan. Mereka menyaring karya mana saja yang dapat ditampilkan dalam sebuah eksebisi atau museum sehingga audiens yang datang pun tersaring dengan sendirinya. Pertimbangan yang digunakan pun lebih rumit karena mengedepankan mutu serta kualitas dari sebuah ajang atau tempat. Pada saat yang bersamaan, mereka jugalah yang membentuk selera dari orang yang datang—selain kritikus. Hanya saja, kasus yang agak berbeda terjadi pada seni massa seperti film, anime, maupun manga sebab patokan mereka adalah kuantitas konsumen dan pendapatan.

Baca Juga: Akhir Drama Kamen Rider Black, Tetsuo Kurata Minta Maaf

Perkembangan internet lantas mengubah sistem yang hierarkis ini. Dengan keterbukaan dan keleluasaan mengakses media, orang jadi lebih mudah untuk mengeksplorasi serta mengekspresikan selera baik membuat dan mendistribusikan maupun yang jadi bahasan kita, mengapresiasi (Janssen & Verboord, 2015). Selain itu dalam kultur apresiasi di internet, kita lebih mudah untuk percaya kata warganet lain yang serujuk dengan kita dibanding para gatekeeper tradisional. Hal tersebut dikenal sebagai fenomena post-truth, sebuah fenomena pada saat kebenaran sebuah informasi/pesan lebih dipercayai berdasarkan emosi seseorang dibandingkan kebenaran objektif, sekalipun faktanya mungkin secara objektif salah, palsu, seperti hoaks, hate speech, ataupun bullying).

Uniknya, kultur hierarkis malah dimodifikasi dengan memberikan gelar “sepuh” pada seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dalam sebuah fandom/komunitas tanpa memandang gelar lainnya, ataupun apakah dia memang kapabel untuk mengutarakan pendapat. Agaknya, hubungan antara “sepuh” dan “lainnya” layaknya kyai dengan santri. Sekali sepuh ber-sendhika dhawuh, para santrinya akan mengikuti.

Keterbukaan apresiasi di internet juga membuat semua orang merasa memiliki kewajiban gatekeeping terhadap budaya populer yang mereka ikuti. Teman saya berpendapat hal ini perlu dilakukan untuk menyaring orang baru dalam sebuah komunitas sehingga tidak membawa “pengaruh buruk” dan “merusak” budaya dengan “membawa” pemahaman yang berbeda dari yang sudah disetujui sebelumnya. Oleh sebab itu, komunitas cenderung melakukan “peran dirjen imigrasi” untuk mengantisipasi—yang tentu setelah disetujui oleh para admin atau sepuh.

Kasus pertama, beberapa orang awam akan diperbolehkan untuk masuk, namun terlebih dahulu harus menerima “perploncoan” dengan mocking hingga mereka memahami “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Sesi plonco inilah yang paling efektif untuk mendoktrin para anggota baru dengan budaya yang sudah disepakati sebelumnya. Mungkin, salah satu contohnya bisa kita temui dari bagaimana kita mengolok-olok hasil tangkapan layar percakapan dengan “anak ingusan” yang bilang bahwa anime Attack on Titan diproduksi oleh salah satu produsen gim ponsel.

Kemudian, perlakuan kedua—yang saya lihat sebagai—salah satu bentuk elitisme dari komunitas anime dan manga yang telah bertahan sejak lama. Mereka yang merasa sudah lebih senior dan telah memahami “aturan” akan merasa berhak untuk menendang balik para orang baru ini agar tak “ikut campur” dengan komunitas mereka. Dalam hemat saya, contoh kedua ini tak lebih dari bagaimana sebuah komunitas menjaga eksklusivitasnya sehingga orang yang tidak memenuhi syarat tak akan dan tak seharusnya dibukakan gerbang untuk masuk budaya mereka.

Contoh saja perang tak berkesudahan dengan “social justice warrior” (SJW). Narasi yang berkembang adalah “kita” perlu menendang balik para “SJW” sebab mereka berpotensi merusak budaya, kesenangan, dan eskapisme “kita” dengan “isu feminisme”. Padahal secara objektif saja, masalah objektifikasi karakter perempuan dalam anime dan manga bergenre seinen sejatinya adalah hal yang penting dibahas. Hanya saja memang, cara mereka mengutarakan pendapat kuranglah elegan sehingga mudah memicu pertengkaran dengan para “orang dalam”. Meski terkadang, reaksi untuk mempertahankan eksklusivitas mereka agak kebablasan sehingga orang yang sekadar berkomentar “maaf, saya tidak tertarik” pun menjadi korban tendang dan harus jauh-jauh dari budaya mereka.

“Korban” lain dari kasus kedua ini ialah mereka yang mengaku otaku (or weebs, whatever you call it) namun hanya menonton judul-judul mainstream saja—biasanya genre shounen dan action yang mudah untuk “dicerna pemula”. Orang-orang ini biasanya dicap tidak berhak untuk menyandang “gelar” tersebut. Mereka perlu menghabiskan beberapa judul anime atau manga terlebih dahulu agar dapat diterima.

Artikel ini berlanjut ke halaman kedua.

3 KOMENTAR

  1. “Said pot to the cattle”, something that I always see over and over again in this very scene….

    I didn’t talk about the article ofc

  2. Mantap sekali. seru membaca artikel seperti ini. Harusnya gatekeeper untuk banyak informasi haris memiliki kualifikasi lebih. Kalau untuk level personal ya bebas. Setiap orang memiliki nilai dan budaya masing-masing

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses