Mardiyem alias Momoye. Salah seorang korban perbudakan seks Jepang (jugun ianfu) di masa pendudukan Jepang
Peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika telah dilangsungkan di Indonesia pada tanggal 19 April hingga 24 April 2015 yang lalu. Tidak ketinggalan hadir dalam perhelatan tersebut adalah perdana menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe. Dalam kunjungannya ke Indonesia ini, ada beberapa hal menarik yang dapat disorot. Pertama, dalam pidatonya di Jakarta Convention Center (JCC) pada tanggal 22 April, Abe menyebutkan bahwa Jepang menyesali apa yang terjadi pada Perang Dunia II, namun tidak secara spesifik menyebutkan permintaan maaf atas agresi dan pendudukan kolonial terhadap bangsa-bangsa di Asia dalam Perang tersebut.
Kedua, di hari yang sama Abe juga menyempatkan diri berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk menyekar bunga di makam mantan tentara Jepang yang ikut berperang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Belanda pasca berakhirnya Perang Dunia. Kegiatan ini perlu ditelaah lebih lanjut. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada jasa para prajurit tersebut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia; setelah Jepang menyerah kepada Sekutu menyusul dihancurkannya Hiroshima dan Nagasaki dengan bom nuklir, seharusnya tentara Jepang yang berada di wilayah Hindia-Belanda bertugas untuk tetap menjaga ketertiban dan kondisi status quo di sana sampai tentara Sekutu datang untuk melucuti senjata mereka dan membebaskan tahanan perang yang ditawan Jepang. Ketika ada prajurit Jepang yang meninggalkan pasukannya dan justru bergabung dengan gerakan perlawanan bangsa lain tehadap salah satu negara anggota Sekutu, dari perspektif Jepang dan Sekutu seharusnya ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kewajiban yang seharusnya mereka tegakkan. Namun PM Jepang yang sekarang justru memberi apresiasi kepada tindakan tersebut. Mengapa demikian?
Satu jawaban sederhana adalah karena Abe memiliki agenda politis untuk mempererat hubungan dengan Indonesia, dan keterlibatan para mantan tentara Jepang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia itu dimanfaatkan oleh sang PM untuk menjadi simbolisasi dari eratnya hubungan kedua negara. Namun, konsekuensi lainnya yang juga perlu diperhitungkan adalah bahwa melalui penghormatan ini, Abe berupaya membangun legitimasi pada suatu narasi sejarah bahwa agresi militer dan imperialisme yang dilakukan Jepang di Asia Timur merupakan sebuah necessary evil untuk melindungi bangsa-bangsa Asia dari imperialisme negara-negara Barat. Seolah-olah bahwa meskipun imperialisme Jepang tersebut menimbulkan penderitaan pada bangsa-bangsa Asia yang dijajahnya, namun pada akhirnya hal tersebut juga yang membantu bangsa-bangsa Asia tersebut untuk memperoleh kemerdekaannya dari penjajahan negara-negara Barat.
Propaganda 3A di zaman Perang Dunia II yang membangun narasi Jepang sebagai penyelamat Asia dari imperialisme negara-negara Barat
Narasi yang “memaklumkan” sejarah militerisme dan imperialisme Jepang pada zaman Perang Dunia tersebut perlu disikapi secara kritis. Menjelang peringatan 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II, sikap pemerintah Jepang (khususnya PM Abe selaku kepala pemerintahan) terhadap sejarah mereka tersebut sedang menjadi sorotan publik negara-negara Asia yang pernah mengalami penjajahan Jepang. Dan selama ini, Abe dianggap menunjukkan sikap yang “mengentengkan” penjajahan dan kejahatan perang Jepang pada zaman perang tersebut. Abe juga telah melakukan kunjungan ke Kuil Yasukuni yang menjadi tempat memperingati orang-orang yang wafat dalam pengabdian pada Kaisar dalam kondisi perang. Pimpinan militer Jepang di masa Perang Dunia yang dianggap sebagai penjahat perang juga diperingati di sana, sehingga kunjungan oleh pejabat negara (biarpun sebagai pribadi) dianggap sebagai gestur nasionalis yang memuliakan militerisme Jepang di zaman Perang Dunia. Abe juga mewacanakan agenda untuk mengamandemen Pasal 9 dari Konstitusi Jepang pasca Perang, yang membatasi penggunaan kekuatan militer oleh Jepang; suatu wacana yang menimbulkan kecurigaan dari negara-negara tetangga bahwa Jepang ingin lebih asertif dalam menggunakan kekuatan militer mereka.
Dalam konteks sikap pejabat terhadap sejarah militer Jepang pada Perang Dunia yang seperti itu, perkembangan yang terjadi di ranah budaya populer pun juga menjadi sorotan dari beberapa pihak. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah maraknya tema “moefikasi militer” atau “military moe” dalam produk-produk seperti Kantai Collection (KanColle) merupakan suatu bentuk propaganda militer yang berhubungan dengan agenda pemerintah Jepang. Dari yang dapat diamati sejauh ini, nampaknya KanColle memang suatu produk yang awalnya dipasarkan kepada orang-orang yang memang otaku militer, bukan dengan niat politis. Namun, tidak adanya niat politik tetap saja memiliki konsekuensi politiknya sendiri. Dengan hanya berfokus pada aspek afektif terhadap kapal-kapal perang Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) yang direpresentasikan dengan karakter perempuan jelita, tanpa menyinggung konteks politik-historis di mana kapal-kapal aslinya digunakan, hal tersebut dapat mengalihkan perhatian dari penilaian kritis terhadap tindakan-tindakan militer Jepang sendiri selama zaman Perang Dunia yang banyak menimbulkan penderitaan bagi bangsa-bangsa lain. Di sini saya bukannya ingin meminta agar orang-orang berhenti menggemari KanColle. Silakan saja kalau memang suka, tapi saya ingatkan agar kesukaan itu tidak kemudian menjadikan malas untuk mempelajari sejarah militer Jepang secara kritis.
Ini suatu hal yang perlu diperhatikan bagi kita semua sebagai penggemar budaya populer Jepang secara umum. Menyukai hal-hal dari Jepang boleh saja, namun jangan sampai hal tersebut membuat kita jadi tidak bisa berpikir dan menyikapi Jepang secara kritis juga. Ingat bahwa bersikap kritis bukan berarti kita harus membenci apa yang kita kritisi. Justru kebencian yang membabi-buta itu juga bisa dikatakan sebagai suatu sikap yang tidak kritis. Yang penting adalah kita dapat memberikan penilaian dan sikap terhadap baik dan buruknya Jepang secara proporsional dan rasional. Bahkan orang Jepang sendiri bisa mengkritisi militerisme dan imperialisme Jepang pada zaman Perang Dunia. Sutradara animasi kenamaan dari Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, secara tegas menolak wacana mengubah Pasal 9 Konstitusi Jepang, dan menyerukan agar Jepang meminta maaf atas kejahatannya terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya pada zaman perang, misalnya perbudakan seks terhadap perempuan-perempuan (jugun ianfu) di banyak wilayah termasuk Indonesia untuk mencukupi kebutuhan syahwat tentara Jepang. Keluarga dari awak kapal Yamato yang tewas saat battleship tersebut dikaramkan dalam Operasi Ten-Go, memanfaatkan acara peringatan 70 tahun karamnya kapal tersebut yang diselenggarakan di kota galangan kapal Kure untuk menyerukan pesan perdamaian dan mengkritisi romantisasi terhadap sejarah kapal perang tersebut.
Fujiko hanya punya satu kata untuk propaganda militer Jepang: “konyol!”
Akhirul kalam, “maafkan tapi jangan lupakan.” Jika memang ada permintaan maaf atas kejahatan di masa lalu itu, berikanlah maaf supaya kita bisa menjalin hubungan baru yang lebih bersahabat di masa kini untuk membangun masa depan bersama. Namun, tetap ingat bahwa kejahatan itu pernah terjadi, dan bahwa hal tersebut tidak seharusnya dilakukan atau diulang oleh siapa pun.
KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis | Sumber gambar: Buku Mereka Memanggilku Momoye. Discan oleh Santi J. N. & krisbheda.wordpress, Wikipedia, KanColle, Zettai Karen Children/Cute Children
Jangan lupakan 3 tahun kekejaman jepang
Namun lupakan saja kekejaman 30 tahun Suharto.
Karena jepang penjajah kafir, Suharto pribumi eslam .
Pribumi tak pernah salah, eslam tak pernah salah.
= Suharto selalu benar.
:3
Sepertinya OOT nich…
Ini penarikan kesimpulan yang terlalu jauh. Bagaimana anda bisa bisa menentukan kalau saya pendukung Soeharto atau bukan?
Beberapa bulan yang lalu, pemerintah kerajaan Belanda sudah melunasi kompensasi terhadap para keluarga korban (dalam hal ini, nenek mereka atau sebelum nenek mereka) yang menjadi korban pelampiasan (maaf) syahwat dari para tentara Hindia-Belanda.
Sekarang, tinggal menunggu, apakah kekaisaran Jepang juga mau memberikan kompensasi serupa pada para korban perang yang jadi ‘keganasan’ mereka di waktu lampau?
Kompensasi pampasan perang sudah terjadi sebagai salah satu bagian dari normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada April 1958. Meski apakah ini sudah dianggap sepadan atau tidak, rasanya masih bisa dibahas.
WWII sudah berakhir 70 Tahun yang lalu, Kompensasi pun sudah diberikan ke kita di era 70an lalu.
saya mencoba untuk mengingatkan bahwa agar jangan terlalu terbawa narasi-narasi Blaming Jepang yg dibawa China-Korea dan kaum pasifis jepang sendiri. Jepang sudah berkali-kali meminta maaf . China butuh kebencian terhadap jepang karena Isu Nasionalis Ini dijadikan Oleh Partai Komunis China Sebagai Instrumen Manipulasi Sosial . Sementara Kebencian Korea thd Jepang lebih pada rasa Iri.
Biarpun saya pribadi sangat tidak setuju Revisi/Whitewash buku sejarah tentang Kejahatan yg dilakukan Jepang semasa WWII oleh Abe, namun saya kurang setuju dengan pendapat penulis yang seolah olah menganggap bawa peningkatan kekuatan Militer jepang adalah sesuatu yang Berbahaya.
menurut saya Modernisasi JSDF adalah sesuatu yang mutlak. dan diperlukan. Sikap Agresif dalam sengketa laut China selatan, Senkaku dan Buildup Militer China kian hari makin mengkhawatirkan. sehingga ditakutkan jika Postur militer Jepang tidak dapat mengimbangi China, maka Kasus Krimea dan Donbass dapat terulang disini. Selain Rezim Korea utara semakin tidak stabil dan berulang kali mengancam untuk menggunakan Kekuatan Nuklirnya terhadap Korea Selatan dan Jepang. Hal inilah yang membuat reinterpretasi Article 9 sebagai sesuatu yang penting.
Bila Article 9 tidak di Reintrerpretasi, Jika terjadi serangan Misil/Nuklir ke Jepang, Korea selatan atau Amerika serikat oleh korea utara, Jepang akan kesulitan untuk membalasnya terkait penggunaan JSDF yg terhalang oleh Article 9. Re-Intrerpretasi Article 9 juga akhirnya membolehkan jepang melakukan Collective Self Defense (silahkan Gugel untuk lebih lengkap). Sebelumnya Jepang menjadi Satu dari sedikit Negara Anggota PBB yang melarang Collective Self Defense dan bahkan Collective Self Devense ini tercantum Dalam UN Charter.
Lagipula Menurut Defence White Paper JSDF jelas postur kekuatan dibangun bukan untuk invasi, seperti yang para pasifis pasifis takutkan. ini tercermin Pengurangan kekuatan JGSDF (seperti jumlah Tank dari 700 dikurangi hingga sisa 300) dan Fokus kekuatan Jepang Lebih pada Peningkatan Kekuatan JMSDF dan JASDF. Seperti pada penambahan Jumlah Destroyer, Kapal Selam dan Pembelian F-35. Jika Abe berniat untuk Invasi tentu akan memperbesar kekuatan JGSDFnya.
Selain itu terkait kancolle sebagai Bagian dari whitewash Sejarah Oleh Abe. walaupun terkesan sebagai Glorifikasi dari “Perang Asia Timur raya”, namun patut di ingat bahwasannya Dukungan Publik jepang terhadap JSDF Cukup rendah. Hal Ini tergambarkan dalam dorama Soratobu Kouhoushitsu dimana seringkali kantor PR JASDF mendapat Telepon berbau Hinaan dan Anti perang dari Warga Jepang. (Mbak Gakky dan F-15J adalah Perpaduan Terbaik <3)
sehingga Moefikasi Kancolle, Drama Jepang yg mengangkat Peran JSDF seperti Soratobu Kyohoushitsu adalah sesuatu hal yang menurut saya dapat dijustifikasi. Dukungan publik yang tinggi tentu memudahkan JSDF dalam melakukan kegiatannya. Baik dari segi pertahanan negara maupun operasi Humanitarian seperti pada gempa Tohoku 2011.
Akhir kata saya mengajak penulis untuk mencoba sumber bacaan (Walaupun berasal dari Media barat/Jepangternama) dan mencoba melihat permasalahan Peningkatan kekuatan Militer ini dalam kacamata geopolitik. bahwa Jepang perlu Menjadi Negara yang normal dengan Mengadopsi hak untuk Collective Self Defense dan membangun Kekuatan militernya untuk mengimbangi China dan Mencegah serangan nuklir atau pecahnya perang Korea kedua yang mungkin saja dilakukan Oleh Korea Utara
Terima kasih atas komentar yang diberikan. Selaku editor yang menangani tulisan ini, saya mengapresiasi sekali komentar berbobot seperti ini.
Masalah intepretasi Pasal 9 ini sebenarnya sudah dipikirkan ketika SCAP (Supreme Commander for the Allied Powers) mendesainnya, yaitu untuk mencegah bangkitnya militerisme Jepang (skripsi M Mossadeq Bahri). Potensi bangkitnya agenda-agenda neonasionalisme atau neomiliterisme ini sudah terjadi dan dilakukan baik secara organisasi (Nippon Kaigi) maupun secara personal. Kalau datang ke kuil Yasukuni itu, jelas sekali narasi neonasionalisme yang dijual di sana. Tidak heran mengapa RRT dan Korea Selatan mengecam keras kunjungan ke kuil Yasukuni karena kuil tersebut, sebagaimana beberapa organisasi keagamaan di Indonesia, memasukkan agenda politik dan memberikan ideologi di luar motivasi mengingat sejarahnya.
Pada sisi lain, saya sendiri merasa ada korelasi tidak langsung antara agenda militer Jepang dan Kancolle. Beberapa pemain Kancolle yang tersulut sumbunya kemarin misalnya, komentar seperti ini: “kok yang jasa kapal Ikazuchi tidak disinggung?” atau “ini kan cuma sekadar game, kok dicocokologi dengan politik?”. Kalau kita melihat baris-baris beserta tafsir dialog yang ada dari setiap kapal di Kancolle Wiki (yang dibaca oleh banyak pemain Kancolle), ada sebuah kondisi prasadar yang terbentuk bahwa kapal-kapal IJN itu digambarkan secara heroik, berjasa, dan pembaca/pemainnya dibawa untuk ikut empati dengan kondisi/nasib yang dialami kapal tersebut. Nanti di sini pembuktiannya bisa diteliti lebih lanjut secara semiotik.
Saya berasal dari latar pendidikan ilmu budaya sehingga tidak bisa berkomentar terlalu banyak, namun hemat saya agenda revisionis Abe ini dikaitkan dengan kepentingan kolektif menurut narasi Amerika Serikat. Persinggungan kepentingan ini sudah terjadi sejak Perang Korea (dan Jerman dengan Marshall Plan). Amerika Serikat yang tadinya menginginkan Jerman dan Jepang kehilangan kemampuan industri dan militernya, terpaksa membangun kembali Jerman (karena tekanan Uni Soviet) dan Jepang (karena tekanan Perang Korea.) Pada situasi sekarang, jelas sekali Amerika berkepentingan karena ada ancaman dari RRT dan Korea Utara.
Saya berkesimpulan dua hal dari tulisan di atas:
1. Agenda revisi Pasal 9 konstitusi harus disikapi dengan rasa kritis dan bukan sekadar semata isu hak Jepang untuk membela diri atau agenda setting RRT/Korea Selatan, dan
2. Ada dampak secara tidak langsung yang dialami pemain Kancolle, di mana mereka menerima sebuah narasi yang lain terhadap Jepang pada masa PD II yang menyedihkannya, narasi tersebut sejalan dengan narasi kaum neonasionalis Jepang saat ini.
Demikian saya sampaikan, mungkin penulis sendiri bisa menanggapi. Sebelumnya terima kasih telah menanggapi dengan penuh bobot.
Hormat saya,
Kevin W
Pemred KAORI Newsline
Terima kasih kembali atas Apresiasinya, saya juga senang tulisan saya sebelumnya ditanggapi dengan berbobot pula.
Saya setuju dengan dugaan bahwasannya kancolle, dan anime lainnya seperti Girls Und Panzer, dan Strike witches adalah bagian dari PR Campaign yang mencoba untuk menglorifikasi kekuatan militer pada umumnya atau JSDF khususnya. namun sendiri masih meragukan apakah gelombang anime, game dan dorama yang berbau kemiliteran ini adalah merupakan kesengajaan dari lobby oleh neo-nasionalis jepang, ataukah hanya berupa ketidaksengajaan akibat dari bergesernya selera masyarakat jepang dan Para produsen anime hanya mencoba mengikuti selera pasar. yang jelas dampak dari PR Campaign ini berhasil mengangkat citra JSDF dimata masyarakat jepang. sekitar 91.7% masyarakat Jepang berpandangan positif mengenai JSDF pada 2012, Ini merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah JSDF.
sementara untuk agenda revisionis Abe. walaupun ini memang salah dan tidak dapat dibenarkan, namun saya mencoba untuk mengajak penulis agar tidak selalu menyalahkan jepang menggambarkan bahwa seolah olah Jepang merupakan satu satunya negara yang melakukan Whitewash dan penyangkalan terjahat kejahatan yang dilakukan negara mereka. Banyak negara di dunia melakukan hal serupa, seperti china yang menyensor Genosida yang dilakukan oleh Mao Zedong di masa Revolusi Kultural dan Geat Leap Forward, baik dalam Buku pelajaran Sekolah maupun Literatur Akademis. Korban dari genosida ini mencapai 50 Juta orang meninggal (ada yang menyebut hingga 70 Juta) akibat kelaparan dan Kerja paksa, Jumlah yang sangat besar dan Jauh melebihi korban akibat masa pendudukan jepang 1932-1945. Daripada mempelajari dan meminta pertanggung jawaban atas Genosida ini, Pemerintah china lebih memilih untuk terus mengangkat isu Rape Of nanking yang dilakukan oleh Jepang.
Lalu Turki, yang Pemerintahnya baru baru ini menolak mengakui dan bertanggung jawab atas Genosida yang dilakukan terhadap Etnis Armenia pada tahun 1915. Genosida ini menewaskan 1.5 Juta. orang. Dan Indonesia sendiri melakukan Whitewash terhadap genosida terhadap “Simpatisan PKI” pasca G/30S PKI. genosida yang menewaskan 1-3 Juta Orang ini benar benar tidak dicantumkan dalam buku sejarah di sekolah Indonesia. dan Generasi muda sekarang pun Tidak tahu dan peduli dengan Kejahatan terbesar yang pernah dilakukan pemerintahan Indonesia terhadap warganya Ini. Lalu haruskah kita sangat takut kepada agenda revisionis abe sementara banyak negara di dunia termasuk Indonesia sendiri sedang dan melakukan hal yang sama?
sementara dampak dari persepsi wibu (sebut saja ini agar lebih mudah) indonesia terhadap agresi jepang menurut saya bukanlah sesuatu yang menakutkan. walaupun mereka mungkin dengan salah mulai menganggap jepang sebagai “Pembebas” dari Jajahan Belanda, namun kepercayaan tersebut tidak akan berdampak Negatif dalam kehidupan mereka sehari hari. Ini berbeda dengan misalnya, Subkultur Lolicon/shotacon (Dalam artian Kesukaan thd karakter yg merepresentasikan pria/wania dibawah umur), Dimana pemahaman yang kurang dan pengaruh konten lolicon/shotacon bisa jadi benar-benar membuat Seorang wibu menyukai anak-anak dibawah umur. (walau butuh pembuktian ilmiah namun penulis sudah sering melihat contoh dimana wibu menerima konsep waifu atau lolicon secara mentah-mentah tanpa disesuaikan dengan norma di Indonesia, dan menimbulkan dampak negatif yang menyebabkan mereka dianggap aneh atau diasingkan dari lingkungan sosial)
dan mengenai Reintepretasi dari Article 9, hak untuk melangsungkan Collective Self Defense ini sangat penting. Collective Self Defense bukan sekedar hak untuk membela diri. melainkan adalah hak untuk menyatakan perang terhadap negara yang menjadi ancaman bersama. seperti contoh Jika Perang Korea kembali pecah, maka jepang dapat menggunakan Klausul Collective Self Defense dan turut mengirim pasukan ke semenanjung Korea untuk mempertahankan diri. Hal ini tidak mungkin dilangsungkan pada Interpretasi Article 9 sebelumnya. Apabila Jepang tidak mengadopsi hak Collective Self Defense maka dapat sangat membahayakan keamanan jepang sendiri terkait dengan situasi Korea utara.
bayangkan dalam suatu skenario jika Perang korea kedua berkecamuk, dan Kapal Selam Pembawa Rudal balistik Nuklir Korea Utara Berada di Laut Internasional Selatan Teluk Tokyo. Jika jepang tidak mengadopsi Collective Self Defense tentu Harus menunggu Kapal Selam tersebut menembakkan Rudal balistiknya. sementara Jarak Kapal Selam tersebut yang Dekat dengan Teluk tokyo membuat tingkat keberhasilan pencegatan Rudal balistik Nuklir sangat kecil. Sementara Jika JSDF mendeteksi kapal selam tersebut tentu tidak dapat menyerangnya karena terhalang Klausul Article 9 dan Kapal selam tersebut berada di laut Internasional. Skenario ini walaupun terlihat jauh tetapi kemungkinan terjadinya semakin besar, mengingat baru baru ini Korea utara mengeksekusi Menteri pertahanannya dan Mengujicoba Rudal Balistik Nuklir dari kapal selam. Hal ini menurut Analis Barat menjadi bukti semakin rapuhnya kekuasaan Dinasti Kim di Korea utara. dan jika pada suatu saat Rezim Kim runtuh. bukan tidak mungkin ia akan mendeklarasikan perang terhadap korea selatan dan menggunakan Nuklirnya sebagai pengalihan isu domestik dan menjaga kelangsungan Rezimnya.
Saya tidak bermaksud untuk membela agenda revisionis Abe walaupun setuju terhadap reinterpretasi Article 9. Namun yang saya ingin tekankan adalah jangan terlalu menyalahkan jepang terkait kejahatan perang yang dilakukan terhadap Indonesia semasa Perang dunia Kedua, Banyak Isu lain seperti genosida terhadap terduga simpatisan PKI yang lebih pantas untuk diangkat dibandingkan dengan terus mengungkit kejahatan yang terjadi 70 tahun yang lalu. menurut saya, kita lebih baik mencontoh Rekonsiliasi Hubungan Antara Prancis dan Jerman. Prancis paska perang dunia Kedua tidak lagi menyalahkan Jerman sebagai agressor (Walaupun prancis diinvasi tiga kali oleh jerman 1870,1914 dan 1940), melainkan mencoba menjalin kerjasama yang erat dalam berbagai bidang untuk saling meningkatkan Perekonomian dan mencegah pecahnya perang Kembali. Kerjasama Antara Prancis dan Jerman Paska perang dunia kedua ini menjadi embrio dalam pembentukan Uni Eropa yang kita kenal saat ini. daripada Kita terus mengungkit kesalahan jepang, akan lebih baik wibu cukup menikmati “Invasi” budaya pop kultur jepang yang sedang terjadi disini.
Sebagai Penutup, mari menikmati Budaya Pop Kultur jepang dengan santai dan tidak terjebak dalam masa lalu. dan saya sendiri sebenarnya ingin bermain kancolle tapi daftarnya ribet, lebih baik menanti world of warship saja dan akan saya akan menenggelamkan waifu waifu kalian :))
yah dobel post :((