Indonesia adalah negeri dengan berbagai macam kekayaan yang beragam tak terkecuali di bidang sumber daya manusia di mana komik adalah salah satunya. Berbagai macam komik dengan genrenya telah dihasilkan para putra-putri bangsa dari berbagai penjuru lengkap dengan kontennya masing-masing yang beragam dengan tema-tema yang beragam pula. Tak terkecuali dengan Metha Studio, sebuah penerbit komik asal kota gudeg, Yogyakarta yang telah menerbitkan berbagai macam komik dari berbagai komikus berbakat.
Dari penuturan Bapak Akhmad Makhfat, salah seorang pendiri Metha Studio, Metha lahir karena kecintaannya akan komik lokal dan keinginan untuk menghidupkannya kembali. Usaha ini coba dilakukan, tidak hanya dengan menggandeng komikus-komikus senior, tapi juga melibatkan komikus-komikus muda yang selama ini belum mempunyai wadah untuk menampung karyanya. Bersama dengan Chairul Agus Saptono dan Sungging (putera komikus senior Wid NS), Pak Akhmad mendirikan Metha dengan mengalihkan anggaran yang semula buat memperkaya koleksi komiknya menjadi buat menerbitkan komik sendiri. Dengan modal yang lebih banyak diambil dari kocek pribadi, terlihat betul bahwa motivasi berdirinya Metha adalah cinta. Cinta pada komik (lokal), bukan semata-mata mencari keuntungan.
Berawal dari kegemaran Pak Akhmad dkk pada komik indonesia lawas, maka Metha pun mengawali ‘perjuangan’nya dengan mengangkat karakter superhero yang pernah sangat terkenal di masa kejayaan komik nasional yaitu Godam. Metha ingin sekali membangun jembatan yang menghubungkan celah besar antar generasi pencinta komik nasional dengan mencoba memperkenalkan karakter lama dengan interpretasi yang lebih segar dan pengembangan cerita sekaligus karakter yang baru. Maka lahirlah trilogi Godam Reborn dengan Sungging selaku putera kreator Godam asli, sebagai penulis dan artisnya (untuk bagian 1dan 2, bagian 3 gambar diolah oleh Hasmi dan Dwi Aspitono). Semakin absahlah usaha lintas generasi ini.
Godam Reborn
Godam Reborn tidak hanya memunculkan Godam yang lama, yang lebih bermain dengan mitos seperti Bapak Kebenaran dan petualangan menjelajah jauh ke ruang angkasa, tapi juga Godam baru yang lebih membumi, disesuaikan dengan kondisi sosiologi masyarakat sekarang dan melibatkan teknologi terbaru. Selain Godam Reborn, Metha bekerja sama dengan penerbit komik superhero asal Surabaya, Neo Paradigm, mencoba memperkenalkan lagi sekaligus mengulik ulang karakter superhero lain ciptaan Wid NS yaitu Aquanus. Aquanus yang dulunya dianggap sebagai karakter superhero marginal dan hanya pendamping bagi Godam dan Gundala, coba lebih diangkat karakternya dan dibeberkan asal-usul beserta dunianya yang dominan berkutat di samudera. Maka ada komik Godam Reborn, ada pula komik Aquanus yang ber-subjudul Benua Ke Tujuh.
Tidak hanya bermain di wilayah superhero saja, Metha dalam usahanya mengangkat komikus muda yang ingin karyanya diterbitkan, membuat konsep komik antologi. Jadi di dalam satu komik berkumpullah beberapa komikus, dari yang sudah melanglang buana di industri komik nasional puluhan tahun sampai yang sebelumnya baru punya portofolio (belum karya utuh), membuat ceritanya masing-masing dalam panduan satu tema. Konsep komik antologi yang disodorkan Metha memberikan ruang bagi komikus yang baru mulai untuk mempromosikan karyanya dan memberikan kesempatan pada komikus senior untuk kembali mengekspresikan kemampuannya. Kedua-duanya bisa saling mengangkat. Pembaca juga diuntungkan, karena dari satu komik mereka mendapatkan banyak cerita dan banyak rasa.
Cukup banyak antologi yang sudah diterbitkan Metha, dari mulai Petualangan Anak Pemberani 1&2, Keris, Bunda, Waktu dan Awan. Walau pernah dikritik oleh pengamat komik Henry Ismono bahwa editorial Metha terlalu longgar, tetapi pilihan tema yang diangkat dan latar belakang pendiri Metha yang merupakan akademisi, memberikan panduan yang jelas akan selera dan idealisme Metha sehingga kualitas cerita tetap terjaga.
Yang menarik juga dicermati adalah kiprah komikus senior yang digandeng Metha seperti Hasmi dan Gerdi WK. Mereka sepertinya menemukan lagi ruang bermain yang dulu mereka kuasai. Tidak melulu harus mengikuti tren komik yang berlaku sekarang, mereka diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka mau, apa yang mereka bisa. Terlihat mereka belum kehilangan sentuhannya. Hasmi masih lincah menggabungkan dunia modern dan mistis masa lampau di antologi Waktu dan Keris. Sementara Gerdi WK masih kuat goresan tintanya dan lihai menulis soal ironi dan tragedi di Roro Mendut dan Cinta Itu Buta. Penggambaran fisik tokoh wanitanya juga masih seyahuts saat menggambar Gina.
Bicara soal fisik, Metha Studio sangat memperhatikan fisik komik-komik terbitannya. Mulai dari kualitas kertas sampai ukuran bukunya. Ukuran komik Metha sengaja tidak mau dibuat sekecil komik-komik terjemahan jepang yang lagi ngetren sekarang. Sambil setengah bercanda, Pak Akhmad bilang itu dilakukan supaya kalau dipajang di rak buku masih kelihatan dan tidak mudah hilang. Dan untuk jumlah halamannya sendiri dibuat setidaknya 100 halaman (kecuali untuk satu dua judul). Dan memang ditinjau dari harga dan kualitas buku komiknya, terbitan Metha Studio terbilang murah. Tapi tidak murahan.
Untuk penjualannya sendiri, Metha menggunakan sistem online. Metha sebelumnya pernah memakai agen, tapi terpotong cukup banyak. Apalagi menitipkan di toko buku besar, potongannya akan lebih besar lagi. Bila menjual lewat toko buku besar maka Metha harus menaikkan harga 3 kali lipat dari harga jual asli. Dan mungkin buku yang terjual belum tentu sebanyak yang diharapkan. Dari situ Metha memutuskan untuk menjual langsung lewat online.
Sudah sekitar 22 judul komik yang diterbitkan Metha Studio. Awalnya tiap judul terbit 1500-2000 eksemplar. Tapi semakin ke sini hanya mencetak 300-400 ekemplar tiap judul. Agak sulit memang untuk menemukan pasar bagi komik sekelas Metha. Metha memang lahir dari orang-orang yang idealis. Dari Pak Akhmad Makhfat, ada beberapa poin atau prinsip yang dipegang oleh Metha Studio. Yang pertama, komik Metha tidak akan bicara atau tidak akan berpihak pada agama atau politik tertentu. Kemudian nilai-nilai kebersamaan dan cinta kasih yang universal akan selalu dikedepankan. Komik Metha juga tidak akan menampilkan adegan kekerasan yang berlebihan dan adegan seksualitas yang merusak. Bahkan gambar orang merokok pun hampir tidak ada. Metha ingin menjadi komik yang edukatif tapi tidak kehilangan sisi fun-nya.
Walau dari penuturan Pak Akhmad, Metha Studio baru memberikan kepuasan bathin belum memberikan keuntungan finansial, tapi sumbangsihnya bagi komik nasional sudah sedemikian besar. Nilai dan Teladan yang terkandung dalam setiap komiknya harusnya lebih bisa di apresiasi oleh pecinta komik indonesia. Mungkin karena Metha istiqomah dengan gaya yang tidak banyak disukai oleh pembaca muda saat ini, maka geliatnya masih kurang terlihat. Tapi tidak semua harus mengikuti arus utama. Semoga Metha tetap bisa bertahan dengan idealismenya. Ada beberapa judul yang layak kita tunggu yang masih dalam penggarapan, seperti Gurniti yang mengambil genre horor dan komik silat Prahara Jala Tunda. Ada juga beebrapa judul yang update-nya bisa dilihat di halaman facebook/sosial media Pak Akhmad Makhfat dan Chairul Agus Saptono.
Simak ulasan KAORI akan komik Roro Mendut karya Gerdi WK, salah satu komik terbitan Metha Studio pada tautan berikut ini.
KAORI Newsline | Courtesy of Flux21