Update: Sweta Kartika, Sunny Gho, dan Imansyah Lubis sudah menurunkan status yang dirujuk sebelumnya.
Dua buah ide yang saling berlawanan pasti tidak akan menemukan titik temunya. Bila Hegel menyatakan akan tercipta sintesis, dalam banyak kasus dua buah ide akan tetap kokoh pada porosnya sendiri.
Temui Kharisma Jati. Komik-komiknya membawa gagasan yang unik (kalau tidak dibilang kontroversial). Komiknya beragam, mulai dari kritik terhadap konsep keagamaan sampai menjadikan Shinji Ikari sebagai protagonis dalam beragam kesempatan. Lalu ada Sheila Rooswitha Putri yang komiknya dekat dan lekat dengan nilai-nilai kekeluargaan.
Bukan kuasa Tuhan bila kedua orang dengan gagasan yang berlawanan ini kemudian bertemu. Sheila sangat-sangat tidak setuju dengan desakralisasi nilai-nilai keluarga yang lazim diangkat oleh Jati. Dalam dunia ideal, normalnya karya dibalas karya. Gagasan dibalas gagasan. Hanya saja kali ini Jati alpa sehingga alih-alih mengkritik gagasan Sheila, ia justru mengkritik Sheila beserta anaknya dengan cara yang vulgar.
Sejumlah komikus terkemuka ramai-ramai menyampaikan kemurkaannya. Seluruh begawan komik Indonesia dari Andik Prayogo, Sunny Gho, Hikmat Darmawan, Imansyah Lubis, Beng Rahardian, sampai Sweta Kartika kompak menembak Kharisma Jati. Mereka bilang, ini melampaui batas. Kharisma Jati, menurut mereka, tidak boleh diberikan platform dan harus dilarang dari acara-acara komik tertentu. Sementara Rizqi (head majalah komik Fight tempat komik Perenium bernaung) berpendapat lain, bertanya sebenarnya apa yang diinginkan dari sosok seorang Jati.
Komik yang menjadi masalah tersebut menggambarkan sosok mirip Sheila dan anaknya, kemudian menggambarkan mereka dalam situasi yang vulgar (baca: bermasturbasi dan bermain dengan tinja). Lalu pada panel terakhir, sosok si Gigi Dua sang karakter utama komik strip God You Must Be Joking terlihat menikmati rekaman video mereka berdua sembari mengimbuhkan teks “wanita amoral”.
Konsep keluarga dalam agama-agama apapun adalah konsep yang suci. Islam misalnya, menempatkan institusi keluarga dalam posisi yang sangat tinggi dan pada saat yang sama, melaknat orang yang melakukan perzinaan. Hal yang sama juga ditemukan dalam agama lain, yang umumnya menyucikan ritus-ritus yang berkaitan dengan institusi keluarga seperti perkawinan, perceraian, dan kelahiran.
Komik-komik Kharisma Jati (khususnya God You Must Be Joking) memang selalu menantang agama sampai ke titik ekstrem. Dalam salah satu panel terakhirnya, ia menggambarkan sejumlah perempuan yang mendiskusikan berapa jumlah Tuhan, dan tibalah sosok Gigi Dua yang menembak mereka, sembari berkata “tuhan itu satu!”. Komiknya pun menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Dalam komik terakhir, Kharisma Jati bermaksud menyinggung konsep keluarga tersebut. Hanya saja, persinggungannya kelewat batas: menyinggung persona. Kharisma Jati secara langsung dan gamblang menggambarkan Sheila dan anaknya, dan caption “wanita amoral” seolah mengesankan pandangan sang komikus terhadap mereka. Lebih lebih, komik ini memakai kata “embu” yang sangat-sangat jelas ditujukan kepada siapa. Jauh berbeda dari komik Jati sebelumnya yang selalu menghindari pemakaian simbol-simbol sakral saat mengkritik konsep dalam komiknya. Singkat kata: kritik akan konsep berubah menjadi ujaran kebencian.
Semua tentu sepakat bila ujaran kebencian tidak memiliki tempat di dalam masyarakat. Hal yang sama juga ditujukan kepada Donald Trump yang saban hari menulis Crooked H untuk merujuk lawan politiknya Hillary Clinton. Seluruh kritik personal harus dilakukan secara santun atau tidak perlu ditanggapi sama sekali.
Kharisma Jati sudah bersikap tepat dengan segera menghapus komik dan meminta maaf secara personal. Dipermalukan oleh publik adalah risiko yang harus diterima sang komikus. Tetapi, bila sampai menyuruhnya berhenti berkomik?
Ketika muncul seruan yang mengajak Kharisma Jati untuk berhenti berkomik, rasa-rasanya ada yang salah dengan demokrasi di negeri ini. Kebebasan mengkritik adalah bagian dari menghargai kebebasan berpendapat. Negara menghormati demo-demo menentang Ahok dan mengizinkannya terselenggara walau di Malang sekalipun. Negara pun tetap membiarkan Fadli Zon terus eksis dan Pandji tetap aktif menyebarkan pemikirannya, terlepas dari sepakat atau tidak sepakatnya kita. Ketika Kharisma Jati berhenti berkomik, maka masyarakat kita belum siap menerima perbedaan.
Kasus ini juga tidak bisa serta-merta disamakan dengan Charlie Hebdo yang menistakan Islam atau Breitbart News yang memutar sebagian fakta menjadi sensasi. Charlie Hebdo secara nyata melecehkan apapun, termasuk Obama. Breitbart berorientasi memenangkan Trump dan mengangkat konsep supremasi lelaki kulit putih yang sangat rasis dan misoginis.
Kharisma Jati salah karena telah melakukan penistaan personal yang cukup serius kepada orang lain dan pantas mendapatkan ganjarannya. Tapi hak-haknya untuk tetap menulis komik yang mengkritik gagasan tetap harus dilindungi di negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat ini.
Dan, kasus ini ternyata membuat kita mengingat kembali pentingnya keluarga yang kehadirannya dekat namun jarang kita syukuri. Datang dan temuilah keluarga dan embu-embu kita sebelum mereka pergi meninggalkan kita.
Sebagai penutup, mari simak video Youtube ini.
Oleh Kevin W | penulis telah menyelesaikan studi sarjana dengan penelitian mengenai representasi perilaku konsumsi dan produksi otaku dalam novel ringan Saenai Heroine no Sodatekata.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
Koreksi: entri ini telah direvisi pukul 1542. Rizqi (head Shonen Fight) tidak memiliki posisi senada dengan komikus-komikus lain.
euhh saya ga melihat relevansi antara kalimat:
“Oleh Kevin W | penulis telah menyelesaikan studi sarjana dengan penelitian mengenai representasi perilaku konsumsi dan produksi otaku dalam novel ringan Saenai Heroine no Sodatekata.”
dengan isi beritanya, yang dimaksud penulis ini apakah K. Jati atau mimin sendiri ya?
Kalau ini mengenai K. Jati apakah studi sarjana ini menjadi justifikasi dari perilaku ybs?
Bagaimana kita mendefinisikan kebebasan btw? Kebebasan yang kebablasan ataukah kebebasan yang bertanggung jawab?
Halo, penyebutan ini lazim dalam berbagai entri lepas di kolom-kolom opini manapun di situs luar. Contoh http://arstechnica.com/gaming/2016/10/want-to-see-gamings-past-and-future-dive-into-the-educational-world-of-plato/
memang ngk ada relevansi mas, tapi kalau opini biasanya memang sering dikasih gitu
kau pasti ngk pernah baca koran dibagian kolom opini
penyebutan itu lazim mas. itu sudah biasa kalau ada yg beropini
pernah baca koran ngk? coba aja lihat di bagian kolom opini (itu kalau pernah baca koran)
@Farmuhan:
Terlepas saya pernah baca koran atau tidak itu urusan saya dan bukan urusan situ, kok situ kepo sih? 😛
Tapi seperti saya anda juga melewatkan inti argumen saya yang berisi:
“Bagaimana kita mendefinisikan kebebasan btw? Kebebasan yang kebablasan ataukah kebebasan yang bertanggung jawab?”
Ada baiknya sebelum anda mencela orang membaca koran atau tidak anda sendiri intropeksi, anda pernah baca opini orang dengan cermat tidak sampai bisa melewatkan inti dari argumen saya.
Ahh… I see2x, mungkin lebih baik diberi baris pemisah atau di tulis dengan italic supaya kesannya merupakan footer mengenai penulis artikel tsb dan bukan tokoh yang sedang ramai dibicarakan.
Dan saya bukanlah kubu pendukung ataupun kubu kontra dari K. Jati sendiri, namun menurut saya tetap sebuah kebebasan harus dapat dipertanggung jawabkan dan bukan kebebasan yang kebablasan~
Ketika muncul seruan yang mengajak Kharisma Jati untuk berhenti berkomik, rasa-rasanya ada yang salah dengan demokrasi di negeri ini.
=========================================================
Bagaimana cara menghentikan orang berkarya? Dengan seruan bisa? Potong tangan sekalipun di era teknologi seperti ini rasanya tetap tidak akan bisa menghentikan orang berkarya.
Dipenjara? Mungkin. Pun demikian, kita tahu sama tahu dalam sejarah peradaban penjara tidak pula bisa menghentikan orang berkarya.
Jadi bagi saya ada sebuah gugatan yang naif di sini.
Melambungkan begitu tinggi seakan ketika seruan itu mengemuka, maka berdampak sang komikus mati raga dan rasanya.
Kita tahu sama tahu dampak itu tidak akan begitu.
Jadi bagaimana memaknai seruan itu? Ndak perlu berlebihan pula melihatnya dengan perspektif fantasi fatalis seakan sebuah seruan bisa begitu sakti.
Seruan itu adalah bentuk “hukuman sosial” bagi sang komikus. Tidak pernah lebih dari itu. Sebuah reaksi dari publik dan rekan seprofesi untuk menunjukkan sikap dan menyatakan sebuah suara penolakan terhadap kreativitas yang tidak tepat kalau hanya dikatakan meliwati batas, karena secara yuridis malah bisa digolongkan kejahatan.
Seruan itu hanya akan berfungsi demikian. Menjadi sebuah cambuk pelecut sosial bagi orang yang melakukan kesalahan / kejahatan, bahwa perilakunya tidak bisa ditolerir. Efek jera substansinya? Tentu saja.
Dan dalam konteks itulah maka hukuman sosial boikot, atau bahkan seruan berhenti berkarya menempati posisinya. Menghantam pelaku dan masyarakat yang lebih luas lagi untuk memberi kesadaran, “ada resiko yang tidak bisa dinafikan begitu saja jika anda mengabaikan publik ketika anda masih hidup di dalam masyarakat.”
Hukuman sosial tidak punya perangkat pemaksa seperti pidana. Orang diimbau untuk tidak menggunakan karya/keahlian sang komikus pun dengan mudah bisa diabaikan oleh mereka yang mau mengabaikan. Apakah lalu ada perangkat bak seperti dalam hukum pidana untuk memaksa mereka untuk menggunakan jasa, menerbitkan indie atau apapun cara-cara lain yang tersedia bagi sang komikus dan orang yang bersimpati padanya untuk terus menunjang ia berkarya?
Jadi ndak usah terlalu lebay. Ndak ada masalah dalam demokrasi di sini. Dewasa saja bersikap, bahwa realita dalam kehidupan bermasyarakat adalah kita tetap harus menenggang sejauh mana kebergantungan kita pada masyarakat itu sendiri.
Ketika seseorang bersalah, melakukan hal yang dianggap jahat, melukai citra keadilan atau citra apalah-apalah dalam masyarakat, maka penjatuhan hukuman adalah sebuah konsekuensi. Apa bentuknya bisa sangat beragam. Dan ketika pidana pun tidak atau belum lagi diajukan dan dijatuhkan, penghukuman sosial adalah cara masyarakat untuk menjaga secara bersama-sama nilai-nilai yang mereka anggap benar.
Dan sepanjang anda, penulis pun menyatakan “ia keliwat batas, bersalah, dsb” maka sebetulnya dalam tulisan di atas tidak ada hal yang cukup bernilai untuk diajukan, melainkan semata mengarahkan publik untuk berpikir yang keliru. Untuk menimbang akibat-akibat dalam perspektif yang lebih didasari fantasi fatalis.
Memberi hukuman sebagai dorongan agar menimbulkan efek jera itu sah-sah saja. Tapi pembungkaman yang mematikan masa depan sang komikus – terlebih hal ini disuarakan oleh orang-orang berpengaruh dalam dunia komik -, tunggu dulu.
Sejumlah komikus sudah menentang “nature” komik-komik yang dibuat oleh Kharisma Jati. Ia sering membuat komik yang menggambarkan sosok anak-anak sebagai objek fantasi seksual. Kita tidak menafikan ilegalnya komik ini (seluruh komik porno secara de jure ilegal di Indonesia), tapi membuat komik porno bertema anak-anak hemat saya, tidak membuatnya menjadi pelaku kejahatan yang membuatnya harus dihukum sama beratnya seperti seorang pedofil. Di Jepang, membuat komik bertema lolicon, selama tidak mirip dengan anak kecil beneran, tidak bisa dipidana pornografi anak.
Memahami komik Kharisma Jati juga tidak bisa parsial, harus memahami pula target dan kondisi lingkungan target pembacanya. Namanya terkenal, dikenal, dan digemari oleh remaja dan orang dewasa yang besar dan hidup di lingkungan dunia anime. Pembaca-pembacanya memiliki standar moral yang berbeda dari komik-komik Indonesia pada umumnya (baca: standar Jepang). Mereka (para pembaca ini) terbiasa membaca komik gore, komik hentai (termasuk bertema lolicon ini) dan tidak akan ribut-ribut jika dikasih komik Kharisma Jati.
Dan, standar Jati (beserta pembaca komiknya) ini yang tidak disukai oleh Sheila (and to the extent, beberapa komikus-komikus besar Indonesia). Komik Jati diadili oleh standar konservatif di masyarakat Indonesia saat ini, sebagaimana aktivis LGBT saat ini didiskriminasi di Indonesia sampai hari ini.
Poin yang salah ditangkap saat membaca artikel ini (sekaligus seorang Hikmat ketika berkomentar di status saya) secara gamblang adalah ini:
1. Kharisma Jati bersalah karena telah membuat komik yang sifatnya bisa terbukti secara meyakinkan, menistakan Sheila dan anaknya.
2. TETAPI Kharisma Jati menurut saya, bersalah bukan karena membuat komik yang isinya menggambarkan hubungan seks seorang ibu dengan anak.
3. Bila komik tersebut dilepas konteksnya, tidak akan ada masalah signifikan.
Penting pula saya menegaskan posisi pribadi saya saat memandang komik Jati: saya tidak memiliki masalah substansial mengenai komik-komik buatannya. Mungkin kesalahan saya dan Jati hanya satu: kami berdua tidak hidup di Jepang.
Edwin dan Shirley Ardener sudah menjelaskan bahaya pembungkaman bila seseorang tidak mengikuti kata-kata kaum berkuasa (dalam hal ini, dunia komik Indonesia dengan segala pakem-pakemnya). Memanfaatkan “apes”nya Kharisma Jati sebagai momentum agar ia tidak membuat komik-komik yang tidak disukai mayoritas komikus Indonesia, menurut saya adalah pembungkaman.
Saya tidak akan membela Jati atas kesalahan yang ia lakukan terhadap Sheila dkk. Biarkan proses hukum berjalan. Tapi saya tetap mendukung ia terus berkomik dan membuat komik seperti yang ia buat selama ini.
[Pembungkaman yang mematikan masa depan]
Itu fantasi fatalis.
Sekali lagi, seruan tidak akan menjadi pembungkaman. Yang bisa menghentikan Jati berkarya cuma Jati sendiri.
Bahkan Pramoedya Ananta Toer yang dibungkam oleh negara dan dipenjara sekalipun masterpiecenya Tetralogi Buru dan Arus Balik justru lahir dalam penjara.
Jadi ga usah lebay. Ga usah menaikkan eskalasi suatu seruan dengan bahasa hiperbola jadi pembungkaman segala rupa.
[ Quote: tapi membuat komik porno bertema anak-anak hemat saya, tidak membuatnya menjadi pelaku kejahatan yang membuatnya harus dihukum sama beratnya seperti seorang pedofil. ]
Kasus Jati adalah kejahatan terhadap orang. Bukan urusan bikin komik porno. Tapi penghinaan, pencemaran nama baik, bahkan menjurus fitnah terhadap sosok Sheila, yang notabene penghinaannya bukan cuma terhadap sosoknya sebagai rekan seprofesi, tapi sebagai ibu. Dan penghinaan itu juga pada anak-anaknya yang bahkan masih di bawah umur.
[Dan, standar Jati (beserta pembaca komiknya) ini yang tidak disukai oleh Sheila (and to the extent, beberapa komikus-komikus besar Indonesia). Komik Jati diadili oleh standar konservatif di masyarakat Indonesia saat ini, sebagaimana aktivis LGBT saat ini didiskriminasi di Indonesia sampai hari ini]
Selama ia tidak melakukan kejahatan tidak ada reaksi publik untuk memberi sanksi sosial. Ketika ia melakukan kejahatan dengan komiknya. Sanks itu muncul.
Artinya, sejauh apapun ketidaksukaan orang, faktanya pula ketidaksukaan itu sebelumnya hanya menjadi keresahan, menjadi kritik, menjadi gugatan. Artinya pula, sheila and the extent atau siapapun yang anda sebut selama ini cukup tahu batas untuk tetap memberi ruang berkreasi tanpa sanksi.
[Memanfaatkan “apes”nya Kharisma Jati sebagai momentum agar ia tidak membuat komik-komik yang tidak disukai mayoritas komikus Indonesia, menurut saya adalah pembungkaman.]
Saya akan menolak setiap kali ada upaya menipu publik dengan melemahkan diksi. Mendudukkan kejahatan menjadi kelalaian, kesembronoan, kealpaan, apes, dan kata apapun yang mengubah makna kejahatan menjadi berkurang.
Apa yang dilakukan adalah kejahatan yang terencana. Ada niat jahat, bukan hanya menjadi wacana atau pemikiran, namun dieksekusi, dinikmati proses dan hasilnya yang ditunjukkan dengan dipublikasikannya hasil eksekusi itu.
Jangan dikorting.
Dan sekali lagi. Yang bisa menghentikan Jati berkarya hanya dia sendiri. Seruan, himbauan, cercaan atau bahkan penghakiman karakter terhadap Jati adalah mekanisme yang dipakai publik utk melakukan kontrol sosial. Karena menjaga norma yg mereka anggap benar tidak harus melulu melalui jalur hukum.
Dan bukankan seperti sebelumnya saya katakan, dalam boikot sekalipun anda dan mungkin banyak lagi simpatisan Jati BISA menolak utk turut serta dan tetap mensupport dirinya?
Biarkan mereka yang memberikan sanksi sosial. Karena itu manifestasi dari keyakinan mereka akan nilai yang harus dijaga. Seperti juga mereka akan membiarkan anda dan banyak simpatisan Jati untuk tetap mensupport dia.
Dalam konteks itu, maka tidak ada yang salah dengan demokrasi.