Opini: Menakar Profesionalisme Penyelenggara Event Pop Culture

0
Staf KAORI mengurusi meja layanan pelanggan di backstage saat Road to KAORI Expo, 7 Agustus 2016.

Maraknya event pop culture, baik yang disertai event cosplay maupun tidak, menandakan tingginya animo terhadap event jejepangan atau pop culture di Indonesia. Tingginya animo tersebut membuat para event organizer (EO) mulai berduyun-duyun untuk membuat event pop culture yang bisa dikatakan dianggap menguntungkan, sampai-sampai di bulan November ini di Indonesia, event pop culture diadakan setiap akhir pekan dan berikut uraiannya.

5-6 November

  • Jiyuu Matsuri-Universitas Negeri Jakarta
  • Cosplay and Costreet Competition-World of Gaming Grand Finale 2016-Pluit Village
  • Animetoku Convention-Kuningan City
  • Dragon Boat Matsuri-Hotel Horison Bekasi
  • Coswalk Competition-1st Anniversary SGDC & Fumiko Dance Team-Mangga Dua Square

12-13 November

  • Loop Cosplay Competition-Loop Station Surabaya
  • UIN Matsuri-UIN Sunan Gunung Jati Bandung

19-20 November

  • Cosplay Pesta-Watermark Hotel Kedonganan Bali
  • Hikari No Smeksa I -Lapangan Utama SMKN 1 Kota Serang
  • SMA Labschool Cibubur Nanotenri-Labschool Cibubur Kota Bekasi
  • Tangerang Otaku Community J-AniCo Fest 2016-Maze Market Cikokol Tangerang
  • Loop Cosplay Competition-Loop Station Bandung
  • Japan Art Project-Sabuga Bandung

25-27/26-27 November

  • Japan Pop Culture 2016-Unesa Surabaya (26-27)
  • Moshi Moshi 3 Days of Japan Festival-Summarecon Mall Bekasi (25-27)

Sampai minggu terakhir bulan November yang juga minggu awal bulan Desember masih ada event pop culture, yaitu Colony Collection Market yang diadakan di JCC Senayan dengan sejumlah bintang tamu terkenal seperti Yayan Ruhiyan, Ying Tze, Rian CYD, Saida, Chris Lie, dan sebagainya. Kelihatannya mereka bonafide bisa mengundang orang terkenal di mata penggemar pop culture dan juga sponsor yang pasang iklan, ditambah lagi dengan poster event yang boleh dikatakan meyakinkan pengunjung untuk datang, tak peduli baik gratis maupun bayar, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bagaimana dengan profesionalisme dalam pelaksanaan acara?

Tanggal 20 November 2016 silam, tanpa maksud menjatuhkan EO yang bersangkutan, sebuah kejadian yang tidak enak di mata para penggemar pop culture dan juga merugikan pengunjung terjadi dalam event Japan Art Project (JAP) 2016 di Sabuga Bandung. Menurut salah satu sumber yang juga pengunjung event tersebut yang penulis enggan sebut namanya, kejadian tersebut bisa terjadi itupun disebabkan oleh suatu hal yang semestinya tidak perlu terjadi, yaitu mengulur waktu atau ngaret, pengarahan kepada kru panitia yang tidak baik dan tidak benar, serta tidak konsisten antara konsep,  performance, dan peraturan yang diberlakukan dengan kenyataannya.

Dimulai dari soal ngaret. Ngaret mungkin sudah menjadi suatu hal yang sudah membudaya di masyarakat kita lantaran setiap ada orang atau pihak yang ngaret, kita-pun memakluminya dan juga berpikir bisa saja ada kejadian tak terduga yang membuat waktunya tertunda. Kelihatannya sepele, namun percaya atau tidak, ngaret juga bisa merugikan orang atau pihak tertentu termasuk kita sendiri dan itulah sebabnya harus dihindari oleh masing-masing. Kalaupun ada kejadian diluar dugaan yang membuat waktunya tertunda, setidaknya tetap bertanggungjawab terhadap yang mempercayainya dengan memberitahu atau membatalkan yang didasari suka sama suka, seperti memberikan alternatif atau kompensasi. Salah satu dampak terbesar ngaret terbukti dengan apa yang terjadi di event JAP 2016, seperti ngaret open ticketing yang merugikan pengunjung pembeli tiket pre-sale, ngaret rundown merugikan pengunjung yang datang sesuai waktu open gate bahkan membuatnya terlantar dan menimbulkan antrian panjang sampai keluar area yang berdampak juga pada guest ternama seperti Thousand Sunny yang jadwal tampilnya tertunda dan Franzeska Edelyn yang membuatnya hanya punya waktu Meet and Greet, itupun diburu-buru karena mengejar jadwal travel. Lebih ironisnya, ada grup cover dance yang sampai batal tampil lantaran panitia lebih mementingkan guest star. Dari kejadian tersebut, penulis tidak terlalu berpikir bahwa itu bisa terjadi karena adanya hal yang diluar dugaan.

Kinerja kru panitia sangat berperan penting dalam reputasi EO-nya, lantaran kru panitia adalah orang yang paling dekat berinteraksi langsung dengan pengunjung.  Sayangnya dari kru panitia tidak menunjukkan kinerja yang baik dan benar serta ironisnya itu terjadi ketika berinteraksi dengan pengunjung, yakni tidak tahu menahu dengan menjawab bukan divisinya. Misalnya kru panitia memang tidak tahu karena demikian, mengapa tidak memberi jawaban “Sebentar, saya tanya kepada pihaknya dulu ya”, dengan demikan pengunjung akan merasa terlayani oleh kru panitia tersebut. Sepertinya pihak EO tidak bisa membuat pengarahan kepada kru panitia yang terdiri dari volunteer dengan baik dan benar.

Penulis pernah membuat sebuah pernyataan, “Profesional bukanlah keterampilan, profesional adalah konsep”. Mengapa demikian? Sebab konsep adalah awal dan akar dari segala hal termasuk dalam pengadaan event. Dalam konteks kasus ini, EO termasuk yang memiliki keterampilan dalam mengadakan acara sampai bisa mengundang bintang tamu dan sponsor tetapi tidak bisa dianggap profesional lantaran dari pelaksanaannya saja tidak konsisten dengan konsep sehingga membuat harapan palsu dimata pengunjung. Malahan antara konsep acara dengan performance yang tampil di panggung tidak sejalan, seperti nama acaranya Japan Art Project tetapi performer yang tampil di panggung ternyata kebanyakan malah ke-Korea-an, melarang bawa minuman sendiri tetapi panitia malah menjual air minum, bahkan persoalan ngaret saja sudah menunjukkan amburadulnya EO dalam menjalankan konsep acara.

Selain JAP 2016, sebetulnya masih ada contoh event yang meskipun beda kasus tetapi tidak kalah mengecewakan para penggemar pop culture, yaitu Dewata Anime Festival (DAF) 2015. Dilihat dari poster event, kelihatannya cukup meyakinkan dilihat dari desain grafis, bintang tamu yang diundang, serta beberapa sponsor, namun sayangnya uang untuk pengadaan event tersebut dibawa kabur oleh pihak terkait sehingga membuat event tersebut dibatalkan dan membuat banyak pihak yang dirugikan bahkan sampai mencoreng nama Indonesia karena event tersebut melibatkan guest dari luar negeri dan berakhir dibatalkan.

Kejadian dalam event tersebut memberikan pelajaran terhadap para EO agar profesional dalam pengadaan event dan jangan hanya mencari keuntungan tetapi juga kredibilitas, sebab ketidakprofesionalan EO bisa memicu terjadinya drama selain akan kalah bersaing dengan EO lain karena berkurangnya kredibilitas. Itu juga menjadi pelajaran untuk penggemar atau fanatik pop culture supaya lebih selektif dalam penentuan event yang akan dikunjungi atau kompetisi yang akan diikuti, karena itu bagian dari kontrol fanatisme serta menghindari pemanfaatan oleh orang yang tidak bertanggungjawab, serta hati-hati dalam mengkritik untuk mengurangi peluang drama.

Penulis juga meminta jangan langsung menggeneralisir event pop culture, termasuk juga event jejepangan, event yang tidak menguntungkan untuk dikunjungi, sebab kejadian yang terjadi pada JAP 2016 ataupun DAF 2015 murni karena EO-nya saja yang bekerjanya sangat amburadul. Lagipula masih banyak event pop culture atau jejepangan yang lebih menarik dengan EO yang lebih kredibel.

Ditulis oleh Julfikri Ahmad Mursyid | Penulis merupakan panelis “Mengontrol Fanatisme Pop Culture Jepang untuk Masyarakat Indonesia” pada event Road to KAORI Expo, penggemar dan pengamat otomotif selama lebih dari 10 tahun.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses