
Spektakulernya balapan ronde terakhir di sirkuit Twin Ring Motegi merupakan akhir yang berkesan dalam ajang Super GT musim 2016. Berawal dari kompetensi pembalap Denso Kobelco Sard RC F, Kohei Hirate dengan meraih pole position dan mempertahankan posisi, strategi jitu dari tim dalam menentukan pit stop untuk ganti pembalap dan keempat ban, sampai kompetensi Heikki Kovalainen meneruskan perjuangan Team Sard selaku tim dari mobil tersebut dalam mengejar dan mempertahankan posisi pertama dari keluar pit sampai ke garis finish. Balapan pun diakhiri dengan persaingan sengit dengan pembalap WAKO’S 4CR RC F (Lexus Team LeMans), Kazuya Oshima, dengan selisih keunggulan sekitar 0,4 detik.

Seperti kita ketahui, bahwa Heikki Kovalainen adalah satu-satunya pembalap Super GT eks-pembalap F1. Kemenangan Kovalainen dalam ajang Super GT 2016 menandakan kembalinya kejayaan eks-pembalap F1 dalam ajang ini, setelah 9 tahun lamanya mantan pembalap F1 tidak meraih juara umum Super GT. Eks-pembalap F1 terakhir yang juara umum sebelum Heikki Kovalainen adalah Ralph Firman dari tim Autobacs Racing Team Aguri pada tahun 2007 silam dengan mobil Honda NSX.
Seperti yang penulis pernah tulis sebelumnya dalam artikel “Kurang Sukses di F1? Cobalah Super GT”, dalam artikel tersebut terdapat sejarah keberadaan eks-pembalap F1 dalam ajang balap GT Jepang dari zaman JGTC (All–Japan Grand Touring Championship) sampai Super GT. Sebelum masuk ke JGTC atau Super GT, para mantan pembalap F1 tersebut karirnya kurang sukses di F1 bahkan masuk podium-pun tidak pernah, kecuali Kovalainen. Begitu pindah ke JGTC, prestasi mereka bisa lebih baik dibanding ketika masih di F1, bahkan sampai menjadi juara umum, seperti David Brabham, mantan pembalap F1 pertama yang meraih juara umum JGTC dan Érik Comas, mantan pembalap F1 yang paling banyak meraih juara umum JGTC. Ralph Firman sebelum masuk ke F1 di tahun 2003 sempat masuk JGTC kelas GT300 dan GT500, namun pada akhirnya kembali ke Super GT kelas GT500 pada tahun 2005 dan menjadi juara umum pada tahun 2007. Meskipun dulunya di F1, belum berarti begitu masuk bisa langsung juara umum, sebab sinkronisasi dengan segala pihak tetap menjadi kunci, seperti manajemen tim dan keterampilan masing-masing pembalap.
Sebelum masuk Super GT, dalam karirnya sebagai pembalap F1 selama 7 tahun, prestasi tertinggi Kovalainen di F1 yaitu peringkat 1 GP Hungaria pada tahun 2008 bersama tim Vodafone Mclaren Mercedes. Seterusnya, tidak ada lagi podium yang diperolehnya di F1 bahkan prestasinya kian menurun.
Ketika masuk Super GT kelas GT500 pada tahun 2015, Kovaleinen tidak langsung bisa juara umum di Super GT bahkan tidak pernah juara ronde, seperti Érik Comas yang masuk JGTC (pendahulu Super GT) kelas GT500 pada tahun 1995, tepat setahun pindah dari F1, dengan mobil Team Cerumo Supra. Meskipun demikian, ia tidak mundur dari Super GT dan pada tahun 2016, tanpa pindah tim, ia berhasil memperbaiki prestasinya dari tahun sebelumnya sampai bisa menjadi juara umum Super GT.
Kemenangan Kovalainen menimbulkan keuntungan bagi banyak pihak, sebagai orang terakhir yang diandalkan untuk balapan Super GT 2016 oleh timnya. Selain membawa statusnya sebagai eks-pembalap F1, ia juga membawa nama tim Super GT-nya Team Sard, rekan setimnya Kohei Hirate, bahkan pabrikan mobil selaku supplier mobil balapnya.
Kemenangan Kovalainen membuat Team Sard pertama kali meraih juara umum balap GT Jepang sejak berpartisipasi di tahun 1995. Selama ini sebelum Kovalainen juara, prestasi terbaik Team Sard adalah juara 2 umum JGTC pada tahun 1997 dan 2004 yang waktu itu masih menggunakan mobil Toyota Supra. Tentunya itu juga membawa dampak positif bagi Toyota melalui Lexus selaku supplier mobilnya, yaitu Lexus RC F GT500. Setelah 2 tahun didominasi oleh Nissan, akhirnya Lexus bisa juara kembali dalam ajang Super GT kelas GT500 dan membawa happy ending bagi pabrikan ini, lantaran pada Super GT tahun depan, Lexus tidak lagi menggunakan RC F untuk balapan di ajang ini dan menggunakan LC500 sebagai penerusnya dengan downforce yang lebih rendah.
Yang namanya balapan Super GT, masing-masing pembalap harus punya kompetensi yang bisa saling menunjang kerjasama tim untuk meraih prestasi. Seperti rekan setim Kovalainen, Kohei Hirate, mantan test driver F1 Toyota selama 2 tahun tersebut berkontribusi mencetak prestasi yang lebih baik dari Super GT tahun kemarin bahkan berkontribusi dalam meraih juara umum Super GT 2016, seperti mencetak pole position dan mempertahankan posisi pertama selama 20 lap pertama dalam ronde terakhir Super GT sebelum dialihkan kepada Kovalainen dan akhirnya juara. Bagi Hirate, kemenangan Kovalainen turut mengembalikan kejayaannya pada tahun 2013 silam yaitu juara umum Super GT.
Kesuksesan Kovalainen tentu tidak lepas dari team director-nya, yaitu Hideki Noda yang notabene merupakan eks-pembalap F1 dan berpengalaman masuk podium di ajang JGTC. Sebetulnya cukup banyak team director berbagai tim Super GT kelas GT500 yang dulunya pernah menjadi pembalap F1, seperti Satoru Nakajima, team director Nakajima Racing, dan Suzuki Aguri, team director Autobacs Racing Team Aguri (timnya Ralph Firman waktu masih di Super GT), Kazuyoshi Hoshino,team director Team Impul, serta Kunimitsu Takahashi,team director Team Kunimitsu,yang ketiganya pernah meraih podium ronde JGTC. Team director tersebut sudah berpengalaman sebagai pembalap termasuk dengan manufaktur mobil yang dipakai waktu masih balapan, seperti Hideki Noda yang berpengalaman dengan Toyota di JGTC yang sekarang diwakili oleh Lexus, Kazuyoshi Hoshino yang berpengalaman dengan Nissan di JGTC, Satoru Nakajima dan Aguri Suzuki yang berpengalaman dengan Honda di F1, serta Kunimitsu Takahashi yang berpengalaman dengan Honda di JGTC. Pengalamannya tersebut kemudian diterapkan dalam ajang Super GT untuk manajemen tim selama balapan sehingga bisa lebih dipercaya di mata pensiunan F1 yang hendak berpartisipasi dan punya banyak pilihan tim.

Jadi, dengan kemenangan Kovalainen apakah membuat prospek Super GT semakin tinggi di mata pensiunan F1? Kalau melihat dari prestasi Kovalainen pada musim 2016, pengalaman team director, serta sejarahnya, semestinya membuat prospek semakin tinggi. Apalagi di tengah balapan berlangsung, terdapat kabar bahwa Jenson Button akan pindah ke Super GT tahun depan. Kalaupun itu benar, Super GT tidak lagi diisi oleh orang yang kurang sukses di F1, melainkan yang pernah juara dunia F1.

Semoga saja Super GT bisa seperti DTM (Deutsche Tourenwagen Masters) yang sempat diisi juara dunia F1, seperti Mika Häkkinen dan banyak eks-pembalap F1 lainnya, sehingga memungkinkan pamornya menjadi lebih tinggi. Keberhasilan Kovalainen sebagai eks-pembalap F1 membuktikan bahwa bagi pembalap F1 yang kurang sukses dan berniat untuk pindah, Super GT bisa menjadi harapan baru untuk memperoleh prestasi yang lebih baik dari waktu balapan di F1, meskipun jelas Super GT stratanya lebih rendah dari F1.
Ditulis oleh: Julfikri Ahmad Mursyid | Panelis “Mengontrol Fanatisme Pop Culture Jepang untuk Masyarakat Indonesia” pada event Road to KAORI Expo, penggemar otomotif lebih dari 10 tahun.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca utk menulis opini tentang dunia anime & industri kreatif Indonesia. Opini ditulis 500-1000 kata dlm bhs Indonesia/Inggris & kirim ke [email protected]