Kabar mengenai Rio Haryanto bahwa ia digantikan oleh Esteban Ocon dalam tim Manor Racing tentu merupakan sebuah kabar yang tidak enak terutama bagi masyarakat Indonesia, baik dari kalangan penggemar otomoif maupun masyarakat yang lebih awam, sebab ia merupakan pembalap pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang masuk F1 dan juga pada F1 musim 2016 merupakan satu-satunya pembalap dari benua Asia yang masuk F1.

Tentunya penulis sebagai Warga Negara Indonesia dan juga kebanyakan orang satu kewarganegaraan dengan penulis sangat berharap ia kembali membalap di F1 atau paling tidak ada orang pengganti yang sesama Warga Negara Indonesia. Namun kehidupan tidak selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan sebab hidup itu seperti roda. Kadang diatas, kadang dibawah, dan biar bagaiamanapun kita tetap harus berputar, jangan diam sama sekali.
Kalaupun benar Rio Haryanto tidak lagi balap di F1, setidaknya ada beberapa alternatif kejuaraan balap yang bisa diikuti dan memang banyak mantan pembalap F1 hijrah ke ajang balap lain dengan harapan bisa berkiprah lebih baik meskipun tentu stratanya lebih rendah. Bisa jadi tidak hanya Rio, masih banyak pembalap F1 lain yang meski beda posisi namun tidak kunjung mendapatkan poin klasemen, termasuk juga Esteban Ocon yang masih belum menunjukkan bahwa ia bisa lebih baik dari Rio, mulai dari GP Belgia debut Esteban Ocon di F1, sampai GP Italia yang Minggu kemarin digelar. Itulah yang membuat penulis tertarik untuk menulis artikel opini, bagaimana jika pembalap F1 kurang sukses tersebut hijrah ke balapan lain yang lebih rendah stratanya dari F1 meskipun masih berada dibawah naungan FIA selaku federasi otomotif internasional atau ajang balap lain yang bertaraf internasional.
Biasanya mantan pembalap F1, baik yang pernah podium maupun tidak, lebih mudah mendapat kesempatan untuk dapat berpartisipasi di kejuaraan balap dunia lainnya meskipun stratanya lebih rendah dibanding F1. Seperti Le Mans 24 Jam, FIA GT3, Deutsche Tourenwagen Masters (DTM) dan beberapa kejuaraan lainnya, karena para mantan pembalap F1 pernah mengantongi Super License atau Kartu Izin Start untuk balapan di F1 sebagai daya tarik. Namun bagaimana dengan partisipasi di ajang Japan Grand Touring Car Championship (JGTC) yang sekarang menjadi Super GT?
Hadirnya mantan pembalap F1 di ajang Super GT memiliki sejarah yang cukup panjang, meskipun sekarang sudah tidak sebanyak dulu. Mantan pembalap F1 pertama yang masuk JGTC pendahulu Super GT untuk orang Jepang adalah Toshio Suzuki yang masuk F1 pada tahun 1993, yang notabene pendahulu Super GT, pada tahun 1995, sedangkan untuk orang asing, Érik Comas adalah mantan pembalap F1 pertama asal Perancis yang masuk JGTC. Ada juga mantan pembalap F1 yang bolak-balik sebelum masuk F1 pernah masuk JGTC pada tahun 1997, pindah ke F1 tahun 2003, namun akhirnya kembali lagi masuk Super GT pada tahun 2005, yaitu Ralph Firman dari Irlandia. Para mantan pembalap F1 tersebut semua berada di kelas GT500, kelas tertinggi kejuaraan balap tersebut.
Mereka pernah ikut balap paling bergengsi di dunia, namun bagaimana prospek mereka dalam ajang JGTC atau Super GT? Untuk mantan pembalap F1 yang pertama kali juara JGTC, David Brabham adalah mantan pembalap F1 pertama asal Australia yang juara umum JGTC pada tahun 1996. Kemudian diikuti oleh Érik Comas yang juara umum JGTC pada tahun 1998 dan 1999. Beberapa tahun kemudian mantan pembalap F1 kembali menjuarai ajang balap yang namanya sudah menjadi Super GT dengan driver Ralph Firman pada tahun 2007 dan kini Ralph Firman menjadi mantan pembalap F1 terakhir yang juara umum Super GT.
Diluar juara 1 umum, setidaknya masih ada yang juara namun masih masuk podium seperti Masahiro Hasemi yang pernah juara 2 JGTC pada tahun 1994, Naoki Hattori yang pernah juara 2 umum JGTC yang diikuti oleh Erik Comas pada tahun 1996, Kazuyoshi Hoshino juara 3 umum JGTC pada tahun 1998, Erik Comas kembali juara 2 umum JGTC pada tahun 2000, Ralph Firman juara 2 umum JGTC pada tahun 2002 dan kembali juara 2 umum yang namanya sudah menjadi Super GT pada tahun 2009, lagi-lagi Ralph Firman yang menjadi mantan pembalap F1 terakhir yang masuk podium di ajang Super GT. Ada juga diantara mereka yang hanya pernah masuk podium dalam seri tertentu namun tidak sampai podium dalam klasemen umum, seperti Masahiro Hasemi, Ukyo Katayama, Hideki Noda, dan Kunimitsu Takahashi.
Meskipun di ajang JGTC atau Super GT beberapa diantara mereka ada yang bisa masuk podium, ada juga mantan pembalap F1 yang tidak pernah masuk podium di ajang Super GT sama sekali, seperti Vitantonio Liuzzi asal Italia, dan Yuji Ide asal Jepang. Heikki Kovalainen, mantan pembalap F1 asal Finlandia yang sekarang menjadi satu-satunya mantan pembalap F1 yang berpartisipasi dalam kejuaraan Super GT, tahun kemarin berada di posisi 13 klasemen umum dan tidak pernah podium.

Di ajang JGTC atau Super GT prospek mereka bagus karena mereka bisa juara umum atau paling tidak masuk podium. Prestasinya waktu masih di F1 sendiri bagaimana? Faktanya, dari sekian banyak mantan pembalap hanya Heikki Kovalainen pernah mendapatkan podium di F1 namun tidak sampai klasemen umum dan bisa jadi itulah yang membuat mereka untuk pindah ke JGTC atau Super GT. Jika zaman dahulu ada istilah peyoratif orang Inggris. “Failed In London Try Hongkong” atau FILTH pada masa Hong Kong berada dalam daerah kolonial Inggris, kalau Super GT, dengan segala hormat, bisa dibilang, “Unsuccessful in F1, Try JGTC/Super GT”, sebab jika berdasarkan fakta, JGTC atau Super GT ibarat “Hong Kong”-nya orang yang kurang sukses di F1 untuk mencari prestasi balap yang lebih baik. Terlebih, Jepang merupakan negara yang notabene negara ketimuran dengan kultur yang berbeda dengan Barat sehingga bisa lebih cocok.
Jadi apakah Super GT mampu menjadi peluang baru untuk berkiprah lebih baik lantaran prestasi yang diraih mantan pembalap F1? Kalau melihat dari mantan pembalap F1 yang berprestasi podium di Super GT bisa menjadi daya tarik bagi para pembalap F1 yang kurang berhasil dan syukur-syukur bisa seperti DTM yang pernah diisi oleh juara umum F1 2 kali asal Finlandia, Mika Häkkinen, sehingga memungkinkan adanya daya tarik yang lebih tinggi. Sekarang tinggal bagaimana pemanfaatan peluang baru tersebut untuk mantan pembalap F1, yang kini berada di tangan Heikki Kovalainen sebagai pembalap satu-satunya, yang sekarang berada di posisi 3 klasemen umum, memperbaiki prestasi di kejuaraan Super GT tahun sebelumnya.
KAORI Newsline | Ditulis oleh Julfikri Ahmad Mursyid | Penulis merupakan panelis “Mengontrol Fanatisme Pop Culture Jepang untuk Masyarakat Indonesia” pada event Road to KAORI Expo, penggemar dan pengamat otomotif selama lebih dari 10 tahun.