Kelar event, terbitlah drama. Tidak lupa, aksi menggoreng isu yang marak di sosial media semakin menambah alasan sulit untuk menikmati event jejepangan yang kian ramai setiap minggunya.
Teringat kembali 10 tahun lalu ketika pertama kali berkunjung ke sebuah event Matsuri di kawasan Blok M Plaza. Saya yang saat itu masih bersekolah merasa takjub dengan hiruk-pikuk kemeriahan event tersebut. Sejak saat itu, saya pun sering berkunjung ke berbagai event jejepangan hingga saat ini.
Meskipun begitu, selama beberapa waktu terakhir saya merasa semakin sulit untuk menikmati event jejepangan. Bahkan hanya sekedar untuk datang berkunjung dan menikmati guest star yang tampil di panggung.
Kenapa? Tentu saja, kalian tentu familiar dengan ucapan berikut:
“Kelar event, terbitlah drama.”
Sebuah kalimat yang awalnya guyonan, namun sekarang seakan menjadi suatu “kewajiban” yang harus ada ketika pelaksanaan sebuah event berakhir. Terlebih lagi, ada beberapa orang yang seringkali (jika tidak ingin disebut sebagai sengaja) menggoreng suatu permasalahan yang seharusnya tidak perlu untuk diinformasikan kepada publik.
Baca Juga: [Opini] Catatan Mengenai Panel “Meneliti Komik & Animasi” di Comic Frontier 16
Drama Itu Apa Sih?
Sebelum berlanjut, kita perlu menyamakan perspektif tentang drama yang dimaksud di sini. Bagi saya, drama merujuk konflik dari suatu permasalahan yang terekspos di sosial media dan menarik perbincangan oleh banyak orang.
Selain itu, drama bisa merujuk pada beberapa kejadian, mulai dari gagal terlaksananya event jejepangan karena event organizer (EO) yang tidak profesional, hingga konflik pribadi yang secara terus-menerus disampaikan melalui sosial media.
Drama yang Tak Kunjung Usai
Meskipun tidak terlalu tampak di permukaan, namun adanya perbedaan pemahaman di antara wibu “setelah pandemi” dan “sebelum pandemi” seringkali menjadi awal konflik dengan perdebatan yang tak berujung.
Salah satu contoh yang umum dijumpai ada di ranah cosplay, seperti perbedaan pendapat tentang sosok yang dinilai kompeten untuk menjadi seorang juri kompetisi cosplay di sebuah event, serta definisi cosplay yang kini semakin populer dan mudah untuk dilakukan sejak bermunculan jasa rental kostum di media sosial serta harga kostum yang kian terjangkau.
Hal tersebut seakan membuat sebuah gap silang pendapat di antara para penikmat jejepangan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tidak jarang, mereka malah saling berkonflik dan merasa lebih baik antara satu sama lainnya.
Bahkan ada kejadian suatu komunitas batal untuk hadir dalam suatu event untuk alasan keamanan karena suatu drama di sosial media yang disebabkan oleh tindakan beberapa pihak yang sebenarnya bukan merupakan anggota dari komunitas tersebut.
“Tukang Goreng” yang Memperkeruh Suasana
Setidaknya, ada tiga aspek yang bisa membuat suatu konflik terjadi, yakni konteks, sikap, dan perilaku dan saling berbeda dan bertentangan (Fisher, 2000). Sehingga perlu adanya sebuah diskusi untuk menyamakan perbedaan yang terjadi, dan mencari solusinya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Tindakan yang dilakukan oleh “tukang goreng” tersebut seringkali dilakukan karena perasaan tidak suka yang bersifat personal terhadap sosok tertentu dan tidak ada sangkut pautnya dengan event terkait. Apalagi jika isu yang “di-goreng” merupakan kesalahan kecil yang seharusnya bisa diselesaikan jika memang ada keinginan untuk berkomunikasi secara bijak antara kedua belah pihak, dan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap suatu event.
Event yang seharusnya menjadi acara untuk bersenang-senang malah mulai berubah menjadi sumber dari berbagai masalah, serta diperparah dengan aksi “tukang goreng” yang seakan merasa bangga atas tindakan tersebut. Bagi saya, tindakan yang dilakukannya pun tidak menunjukan dirinya lebih baik daripada pihak yang ingin “di-goreng“.
Jika hal seperti ini semakin sering terjadi, lalu bagaimana caranya kita menikmati event jejepangan lagi?
Nikmati Eventnya, Abaikan Dramanya
Mungkin bukan berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa sekarang sulit sekali untuk menikmati event jejepangan di tengah marahnya konflik di balik layar yang berdampak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap suasana ketika saya berkunjung ke event tersebut.
Rasanya saya perlu untuk rehat sejenak dan bersikap bodo amat jika memang ingin tetap menikmati event jejepangan. Tentu saja, salah satu caranya dengan mengabaikan drama yang bermunculan, baik di lokasi acara ataupun di sosial media.
Di sisi lain, perlu adanya diskusi terbuka untuk mengatasi selisih pendapat yang muncul hingga akhirnya terjadi drama yang seharusnya bisa dicegah. Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menyampaikan keluhan dan kritik terhadap suatu event jejepangan dengan menggunakan komunikasi yang lebih baik dan obbjektif daripada melakukan aksi goreng di sosial media yang seringkali dilakukan berdasarkan penilaian subjektif yang berlandasan pada ketidaksukaan individu. Serta, perlu adanya sebuah ruang diskusi terbuka untuk membahas suatu hal yang memang perlu dijadikan sebagai concern bersama.
Tentunya, dengan catatan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam diskusi saling terbuka dengan saran dan kritik yang diberikan oleh berbagai pihak lainnya.
Bagi saya, event jejepangan seharusnya menjadi acara untuk bersenang-senang melepas penat, ajang untuk kumpul bersama dengan teman-teman, mencari cosplayer untuk foto bersama, berbagi dan bertukar anime, mencoba cosplay untuk pertama kali, belajar untuk melakukan photo session dengan cosplayer, berkenalan dengan teman-teman baru, serta membahas bagaimana serunya penampilan guest star bersama dengan teman pada saat perjalanan pulang.
Pada akhirnya, berkunjung ke event Jejepangan mampu untuk menghadirkan perasaan bahagia, hingga tidak sabar untuk menanti event berikutnya, bukannya memuaskan ego dari beberapa pihak untuk kepuasan pribadi mereka saja.
Oleh Ahmad Faisal | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca untuk menulis opini tentang dunia anime dan industri kreatif Indonesia. Opini ditulis minimal 500-1000 kata dalam bahasa Indonesia/Inggris dan kirim ke [email protected]