Walau semua orang sudah tahu Sherlock Holmes, tidak banyak yang tahu kalau novel legendaris Arthur Conan Doyle ini “diremajakan” oleh televisi Inggris BBC. Hasilnya? Keren! Steven Moffat dan Mark Gattis berhasil mengemas ulang cerita klasik sang detektif dengan nuansa kontemporer, sehingga kita bisa melihat Sherlock menggunakan ponsel, media sosial, dan teknologi modern lain untuk memecahkan kasusnya.
Di Jepang, Sherlock cukup populer dan punya loyalis. Sehingga ketika kabar adaptasi komiknya diumumkan oleh Kadokawa, jagat riajuu Jepang pun menyambut gembira. Belakangan, komik ini pun diterbitkan di Indonesia.
KAORI menerima kiriman volume kedua komik ini dari m&c!, yang diangkat dari episode kedua musim pertama seri ini. Jadi, siapa target pembacanya, dan bagaimana kesannnya?

Kanan ke Kiri
Bagi para pembaca awam yang mungkin kebetulan menemukan komik ini di toko buku, mungkin tidak ada yang sadar bahwa komik ini adalah komik buatan Jepang. Sampulnya, tipografinya, kemasannya, terasa sangat British. Sampai ketika plastik sampulnya dibuka dan halaman-halaman pertama mulai dibaca. Komik ini dibaca dari kanan ke kiri! Kejutan yang tidak kalah menyenangkan adalah format double cover yang dipakai, dengan ilustrasi khusus yang bisa dilihat setelah sampulnya dilepas. Saya baru menyadari bahwa sudah 10-an tahun sejak saya membeli Doraemon volume 45, salah satu komik terjemahan berbahasa Indonesia terakhir dengan sampul ganda.
The Blind Banker mengisahkan Holmes dan Watson yang bingung karena kekurangan uang. Holmes, yang memecahkan kasus bukan untuk mencari uang, menolak berbagai permintaan sampai muncul satu tawaran. Mereka berdua menerima kasus dari Sebastian Wilkes, teman lama Sherlock yang bekerja di sebuah bank investasi. Mereka dihadapkan akan misteri grafiti di sebuah foto, di mana ruangan tersebut diamankan dengan kunci berlapis dan berada di lantai atas gedung pencakar langit. Wilkes meminta mereka berdua memecahkan cara masuk sang penyusup dan akan diberikan uang “sebesar lima digit”.
Teka-teki semakin bertambah saat Sherlock hendak bertanya kepada Van Coon, satu-satunya orang yang dapat langsung melihat kode tersebut dari mejanya, dan menemukan Coon sudah tidak bernyawa di dalam apartemennya. Beberapa hari kemudian, wartawan Brian Lukis ditemukan juga dalam keadaan tewas. Usut punya usut, Holmes menemukan simbol yang mirip di perpustakaan yang dikunjungi Lukis beberapa hari sebelum ajalnya. Benang merah yang menghubungkan mereka berdua membuat rasa ingin tahu Holmes semakin membuncah. Laksana ikan yang diberi umpan, Holmes masuk dan tanpa sadar, menemukan ia dan Watson berada di tengah-tengah lingkaran sindikat penyelundup barang antik.

British? Manga? London? Tokyo?
Komik Sherlock ini dikerjakan nyaris adegan per adegan dengan film aslinya, sehingga penonton yang sudah menonton filmnya akan mampu mengingat kembali adegan aslinya. Tetapi bagi yang belum membaca, atau menjadikan Sherlock sebagai gerbang mengenal dunia Conan Doyle, akan merasakan komik ini menarik untuk dibaca. Penggambarannya yang detail dan penuh ketelitian terasa sangat menyenangkan, memberi nuansa British yang kuat.
Tetapi nuansa British yang digambarkan detail ini menimbulkan rasa yang aneh. Model panel, penggambaran adegan per adegan, tidak lain dan tidak bukan memberi kesan yang sangat Jepang. Orang yang biasa membaca Vagabond tidak akan sulit beradaptasi membaca komik ini dibandingkan membaca graphic novel dari Inggris sendiri. Terlepas dari fakta bahwa kini banyak komik bergaya manga di Inggris, seluruh gambar dalam komik-komik Sherlock seolah hendak berteriak, “aku terjebak dalam krisis identitas.”
Bila pembaca bisa berdamai dengan kegamangan dalam komik ini, The Blind Banker sangat menyenangkan untuk dibaca. Watson yang aslinya terlihat seperti “dokter yang kebetulan tentara” kini terlihat seperti “tentara yang berprofesi sebagai dokter.” Lebih perkasa, lebih dewasa, dengan raut muka dan garis tubuh yang lebih jelas. Holmes yang di filmnya terlihat sadistik dalam seri ini digambarkan lebih ganteng – dalam artian lebih bishounen -. Ini menjadi hiburan tersendiri bagi pembaca yang melihat ilustrasi di tiap pembuka chapter baru.
Detil-detil lain khas komik juga menarik diapresiasi. Dalam alih wahana dari film ke dalam komik yang nyaris 1:1 ini, penggambar mampu memasukkan detail-detail menarik yang pasti terlewatkan bila hanya dibaca sekilas, namun dihamparkan bila menonton filmnya. Sehingga bila Anda belum menonton filmnya, mencari fragmen teka-teki yang tersebar berserakan menjadi salah satu nilai plusnya. Baru setelah pembacaan yang ketiga misalnya, saya menyadari bahwa sang kepala sindikat telah membuntuti Holmes dan Watson sejak mereka mencari Soo Lin Yao yang tiba-tiba menghilang.
Tapi dari sekian banyak detail, yang paling menarik dan sayang dilewatkan adalah penafsiran kreatif adegannya dalam bentuk komik. Kita bisa melihat muka snob dari Sherlock, yang hanya bisa digambarkan kaku di dalam filmnya. Priceless!

Pada akhirnya, Sherlock menjadi salah satu dari sekian banyak komik bertema detektif yang hadir di pasar. Tetapi bagi penggemar Sherlock sejati, pembaca komik yang rindu membaca komik dengan penggambaran yang begitu detail dan indah, atau para pemburu cowok-cowok bishie, atau bahkan mereka yang sekadar ingin cerita Holmes yang sebenarnya (alih-alih Milky Holmes) rasa-rasanya tidak akan kecewa membaca komik ini.
Positif
- Para karakternya yang sudah tampan real life, semakin ganteng dalam versi komik (!)
- Penggambaran London yang sangat detail, salah satu yang terbaik untuk ukuran komik Jepang
- Bagi yang belum menonton filmnya, akan mengapresiasi banyaknya petunjuk yang ditebar dalam komik ini
- Sampul ganda! Pikirkan kapan terakhir kali membeli komik terjemahan Indonesia dengan sampul ganda.
Negatif
- Terjemahan yang meski tetap nyaman dinikmati, terlihat seperti diterjemahkan dari dialog bahasa Jepang, alih-alih dialog bahasa Inggrisnya
- Gamang antara jiwa yang sangat Inggris dengan raga yang sangat Jepang
Yang Disayangkan
- Detailnya yang kaya membuat komik ini sangat bergantung pada pembacanya: you see, but you don’t observe.
KAORI Newsline | oleh Kevin W
Harga bukunya di Gramedia berapaan ya?
Pengen beli >.<