DISCLAIMER: Penulis hanya sekedar penikmat anime biasa dan bukan seorang pengamat dunia peranimasian.
Pada hari Kamis (30/3/2017), akun resmi Twitter Shingeki no Kyojin (Attack on Titan) menyampaikan informasi mengenai rencana perilisan Blu-ray/DVD untuk musim keduanya yang akan mulai tayang bulan April ini. Kabar tersebut menyebutkan bahwa musim kedua Attack on Titan akan dirilis dalam dua volume, dan informasi yang lebih detail di situs resminya menyebutkan bahwa tiap volume akan berisi enam episode, sehingga keseluruhan jumlah episode untuk musim kedua adalah sebanyak 12 episode.
Sontak saja banyak netizen menyampaikan rasa kecewa dan marah, karena setelah menunggu 4 tahun, mereka harus menerima kabar bahwa anime adaptasi manga karya Hajime Isayama tersebut hanya berjalan sebanyak 12 episode, tidak seperti musim pertamanya yang berlangsung sebanyak 26 episode. Menurut pengamatan saya, kemarahan tersebut ternyata bukan berasal dari Jepang namun berasal dari netizen global.
Suasana semakin panas ketika keesokan harinya akun Twitter mengabarkan soal “permintaan maaf” dari Attack on Titan Production Committee yang akan dimuat di salah satu surat kabar Jepang, yang dikira sebagian netizen merupakan permintaan maaf karena musim keduanya hanya akan sepanjang 12 episode. Namun “permintaan maaf” tersebut sebenarnya merupakan bagian dari lelucon April Mop sekaligus iklan bagi musim kedua Attack on Titan. @CanipaEffect menjelaskan bahwa konten dari permintaan maaf tersebut adalah “kami memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berusaha menghadirkan produk berkualitas tinggi” serta “saking serunya menonton, kamu bakal lupa pekerjaan, lupa belajar, dan lupa urusan rumah tangga.”
"We deeply apologise for aspiring to make a high-quality product"
I fucking love these nerds. pic.twitter.com/lIOjTLV534
— Canipa (@CanipaShow) March 31, 2017
Tapi tetap saja, bahwa Attack on Titan musim kedua akan berlangsung hanya 12 episode adalah kenyataan dan mungkin telah direncanakan seperti itu. Musim lalu Gintama menayangkan arc Battle of Rakuyou. Biasanya Gintama akan tayang dalam waktu yang cukup lama namun arc satu ini hanya menayangkan 12 episode saja.
Thomas Romain, seorang animator kawakan yang juga menganimasikan seri Macross Delta, angkat bicara melalui twitternya: membuat sebuah anime dengan 26 episode bukanlah hal yang mudah. Menurutnya, industri peranimasian jepang saat ini sedang mengalami penurunan.
It's now nearly impossible to produce 26ep high-quality shows.Studios are already doing their best within the schedule they get from clients
— ThomasRomain ロマン・トマ (@Thomasintokyo) March 31, 2017
The problem : you need years to train production staff + anime schools are closing in Japan. Less and less people want to work in this field
— ThomasRomain ロマン・トマ (@Thomasintokyo) March 31, 2017
Walaupun demand dari konsumen sangat tinggi, supplier yang tersedia ternyata makin sedikit. Thomas melalui tweetnya mengatakan bahwa saat ini hampir mustahil untuk membuat sebuah seri berkualitas tinggi sepanjang 26 episode. Hal ini disebabkan karena semakin sedikit animator handal dan terjadinya overproduction karena permintaan yang terus naik, terlebih lagi asal sumber capital baru berasal dari Titan seperti Netflix, Amazon dan investor besar asal cina.
Manajemen yang buruk dan uang yang minim.
Thomas mengatakan, melatih animator itu membutuhkan waktu yang lama. Belum lagi makin banyak sekolah animasi yang tutup dan minat orang-orang untuk mendalami profesi satu ini semakin menurun.
Menurut hasil riset JANICA (melalui ANN). Gaji seorang Key Animator rata-rata adalah US$28,000(2,8 juta yen) per tahun. Diikuti oleh Shiage animator sebesar US$16,200(1,95 juta yen) per tahun. Sedangkan 2nd Key Animator, atau umumnya adalah animator pemula dibayar sebanyak US$9,392(1,1 juta yen) per tahun. Sebagai perbandingan, pegawai kantoran Tokyo usia 20-24 tahun adalah 3 juta yen per tahun.
Bila anda tinggal di daerah Tokyo, menurut cerita teman saya yang sedang melakukan studi di sana, anda setidaknya membutuhkan 150-160 ribu yen per bulan. Dengan penghasilan hanya 120 ribu yen, menjadi animator pemula sangatlah berat untuk menghidupi dirinya sendiri. Thomas mengatakan melalui twitternya, 90% animator Jepang tinggal di tiga distrik di Kota Tokyo: Suginami, Nerina dan Nakano. Begitu juga dengan Studio Anime, 90% berada di daerah Tokyo.
90% of the anime studios are located in these 3 Tokyo wards. No other place in the world has such a concentration of animators. THE place. pic.twitter.com/3RWHpIY8oP
— ThomasRomain ロマン・トマ (@Thomasintokyo) March 31, 2017
Anime studios in Tokyo (90% of the studios are located in Tokyo).
Most of the thousands of Japanese animators are living in this area. pic.twitter.com/evR9G49Bvy— ThomasRomain ロマン・トマ (@Thomasintokyo) March 31, 2017
Diagram diatas menunjukkan bahwa seorang part-timer dan mahasiswa memiliki uang yang lebih banyak daripada seorang animator pemula. Dengan harga karya mereka yang sudah jadi vs uang yang mereka dapat dapat menunjukkan kenapa makin sedikit orang yang ingin menekuni profesi satu ini. Mungkin hal ini berbeda dengan kondisi animator Kyoto Animation atau Production I.G.
Kyoto Animation biasanya mengadaptasi dari novel terbitan mereka sendiri dan menggunakan animator inhouse milik mereka sendiri. Karena menggunakan tenaga mereka sendiri, gaji para animator sudah diatur sehingga kualitas hidup mereka terjamin dan meminimalisir ketergantungan pada Production Committe. Production I.G memiliki kasus yang sedikit berbeda. Walaupun studio tersebut menggunakan animator freelance, proyek-proyek yang mereka dapat memiliki nilai yang besar dan dapat membayar tinggi para animatornya. Dua studio ini memiliki manajemen sumber daya yang baik sehingga para animatornya memiliki kualitas hidup yang baik.
Belum lagi tekanan pekerjaan akibat manajemen proyek yang buruk. Cukup banyak cerita sebuah seri anime gagal karena manajemennya yang buruk. Baik gagal dalam menyajikan kualitas, gagal dalam delivery time dan mengharuskan penayangan episode recap atau yang terburuk: berhenti di tengah musim. Tekanan tinggi dan bayaran yang kecil juga menjadi sebuah faktor kenapa orang jepang tidak berminat dengan bidang animasi.
Jika kita merujuk pada artikel bongkar mitos industri anime, tidak semua masalah bisa diperbaiki dengan uang. Waktu, talenta, pengalaman dan jerih payah para staf tidak bisa sekedar “dinilai” dengan uang. Namun, passion saja tidak cukup untuk membuat animasi yang berkualitas. Apalagi untuk mengundang peminat baru di profesi ini.
Overseas!?
Menurut saya, ada dua langkah yang dapat diambil oleh Production Committee. Yang pertama: dengan meningkatnya demand(yang juga diikuti oleh aliran uang yang deras), Production Committe pastinya dapat meningkatkan kualitas kehidupan animator muda. Jika mereka dapat sedikit dermawan dan tidak tamak, industri animasi Jepang dapat menjadi sustainable kembali. Meningkatkan wage serta lebih peduli dengan pelatihan animator pemula dapat mengembalikan daya tarik profesi satu ini ke aspiring animator yang ada di sana.
Sayangnya, mengubah sistem manajemen peranimasian Jepang tidaklah semudah membalikkan tangan. Alasan utama kenapa industri kreatif satu ini semakin mati adalah kebobrokan manajemennya. Kebobrokan manejemen industri animasi ternyata sudah berlangsung lama dan kadung menjamur. Apabila mengubah sistem yang sudah terlanjur ‘paten’ semudah membalikkan tangan, menyuruh orang untuk naik transportasi umum bukanlah hil yang mustahal.
Langkah kedua adalah mengoutsourcingkan kegiatan labour satu ini ke luar negeri. Langkah ini sebenarnya telah berjalan beberapa waktu dengan tayangnya anime yang digarap bersama studio mainland seperti Cheating Craft dan To Be a Hero. Langkah ini mungkin bagi Production Committee lebih menarik karena mereka bisa menghasilkan kualitas yang cukup baik dengan harga yang sama atau malah lebih murah.
Ternyata, outsourcing Key Animation, 2nd Key Animation dan inbetween sudah menjadi hal yang lumrah. Tenaga outsourcing ini umumnya berasal dari Korea Selatan, Filipina dan Cina. To be Hero dan Cheating craft keseluruhan tenaga produksinya, baik dari animator, scriptwriter hingga sutradaranya menggunakan tenaga dari luar Jepang.
Indonesia ternyata juga berpeluang menjadi negara tujuan outsourcing animasi Jepang. Beberapa waktu lalu, saya pernah melakukan wawancara dengan tim produksi SAO. Setelah sesi wawancara berakhir, mereka menanyakan apakah ada animator Indonesia yang handal. Saya menjawabnya dengan “ada banyak animator di Indonesia, namun soal kualitas saya tidak bisa berbicara banyak namun banyak yang handal”. Mungkin uang US$9,000 per tahun adalah jumlah uang yang sedikit di Jepang namun bagi orang indonesia, Rp125 Juta per tahun adalah jumah yang dapat dikatakan banyak.
Pada akhirnya, keputusan untuk memproduksi sebuah anime kembali juga ke para stakeholder. Apakah mereka akan tetap seperti ini? Apakah mereka akan lebih memperhatikan masa depannya? Apakah Yamakan akan menyelamatkan anime seperti kata-katanya? Apakah Hayao Miyazaki akan ‘pensiun’ lagi? Apakah Makoto Shinkai akan dipuja-puja sebagai Second coming of Hayao Miyazaki? Entahlah. Satu hal yang pasti, asalkan penonton puas dan uang revenue terus mengalir, sebuah anime akan tetap tayang walaupun jerih payah di balik layar (sering kali) kurang dihargai.
KAORI Newsline | Oleh Naufalbepe | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca utk menulis opini tentang dunia anime & industri kreatif Indonesia. Opini ditulis 500-1000 kata dlm bhs Indonesia/Inggris & kirim ke opini@kaorinusantara.or.id