Pada suatu Rabu, saya memutuskan untuk menonton No Game No Life Zero, yang kebetulan premiere bareng dengan penayangan salah satu film Marvel, Thor Ragnarok. Karena kebetulan pada hari itu saya memang sedang bebas tugas, isenglah saya nonton kedua film tersebut secara marathon. Saya menonton No Game No Life yang tayang di Cinemaxx Malang Town Square yang tayang pada pukul 1230 dan dilanjut dengan menonton Thor.
Reaksi saya setelah menonton? Saya mending langsung nonton Thor saja. Tidak, film No Game No Life Zero nggak jelek. Filmnya saya akui visualnya sangat bagus, melebihi kaliber Kimi no Na Wa alias your name. Ceritanya juga sangat mengena. Namun, cara penyajian dari filmnya yang membuat saya menyarankan Anda sebaiknya nonton Thor saja.
No Game No Life Zero adalah film dari seri novel ringan ternama No Game No Life karangan Yuu Kamiya. Film ini disadur dari volume keenam novelnya, menceritakan tentang perang abadi yang terjadi pada 6000 tahun yang lalu sebelum Shiro dan Sora datang ke Disboard. Pada saat itu, sebuah perang besar menghancurkan daratan dan mencabik langit dan bintang di Disboard. Manusia yang tidak memiliki kekuatan apapun dibandingkan dengan ras lain berusaha keras untuk bertahan hidup.

Di tengah kekacauan tersebut, muncul lah seorang pemuda bernama Riku. Riku adalah pemimpin dari umat manusia yang bertahan hidup di daratan Disboard yang hancur lebur. Di salah satu misinya, dirinya bertemu dengan Shuvi, salah satu android Ex-Machina yang diasingkan karena memiliki cacat. Shuvi ingin mengetahui apa artinya memiliki hati manusia. Dibawalah Shuvi oleh Riku ke petualangannya sehari-hari untuk bertahan hidup, bersamaan dengan perjalanan Shuvi untuk mengerti kenapa manusia memiliki hati.
Sedikit intermezzo, Thor Ragnarok sendiri dalam penyajiannya dapat diumpamakan seperti makan di kedai burger generik ditemani minum sebotol bir bersama teman-teman. Tempatnya sendiri menunjukkan kalau restoran ini tidak seperti burger cepat saji. Bau harum grill patty burger semerbak di ruang makan, menunjukkan kalau burgernya bukan burger biasa. Namun, saking banyaknya pengunjung, terkadang burgernya disajikan secara menyedihkan, tidak sesuai dengan etalase. Malah, Anda menemukan rambut di patty burgernya, lalu Anda melihat kalau kokinya agak tidak higienis. Setelah komplain ke kasir, teman Anda menyodorkan sebotol bir favorit Anda dan mengatakan “just call it a day” sambil mentertawakan apa yang telah terjadi. Pretty much kita bisa mengatakan kalau Thor Ragnarok itu adalah burger yang dirancang untuk konsumsi khayalak banyak.
Di sisi lain, pengalaman menonton No Game No Life Zero dapat diibaratkan seperti pengalaman makan fine dining yang jadi carut marut. Anda bersama teman lawan jenis/pasangan Anda, datang ke restoran fine dining yang menuntut Anda berpakaian rapi. Satu persatu hidangan disajikan dengan penampilan yang extraordinaire. Mood restoran yang terbentuk mellow nan romantis sangat mendukung untuk mengajak teman Anda pacaran atau melamarnya. Di momen Anda mengutarakan perasaan Anda, dari dapur tiba-tiba muncullah badut dengan busana yang kurang sesuai dengan peraturan restoran melempar pai ke muka Anda dan berteriak “FOOD FIGHT!”. Makanan berterbangan dari seluruh sisi, termasuk teman Anda yang ikut-ikutan melempar makanan ke pengunjung lain. Suasana yang romantis seketika menjadi carut marut dan menggagalkan rencana Anda untuk menyatakan cinta. Singkatnya, No Game No Life Zero bisa diibaratkan seperti sajian kuliner dari Gordon Ramsey yang beberapa piringnya harus mendarat di muka Anda di depan pacar atau pasangan Anda.

Secara visual, estetika dari No Game No Life Zero sangatlah apik, bahkan menurut saya lebih bagus dari Your Name/Kimi no Na Wa yang sempat saya buat ulasannya 2016 silam, khususnya di adegan landscape Disboard atau pertempuran di dalamnya. Adegan pertempuran besar tiga bangsa ditampilkan dengan pilihan warna yang kontras satu sama lain menghasilkan santapan visual yang luar biasa. Shot up karakter juga ditampilkan dengan sangat menarik, khususnya detail dari Shuvi yang merupakan sebuah android Ex-Machina yang memiliki banyak atribut atribut khas robot. Sedikit hal yang berbeda adalah outline dari gambar di No Game No Life Zero menggunakan outline berwarna hitam, tidak merah seperti di animenya. Namun, hal ini bukanlah suatu kekurangan mengingat keseluruhan cerita memiliki nada serius.
Dari segi intrinsiknya, No Game No Life Zero memiliki latar belakang distopia fantasi dan ditemani cerita yang cukup serius. Ceritanya yang bertema utama peperangan sangat membangun suasana emosional yang dialami penonton. Perjuangan Riku bersama Shuvi dan umat manusia untuk menghentikan perang abadi juga ikut membangun emosi penonton.

Namun, di sini lah alasan saya mengatakan kalau transisi suasana cerita No Game No Life Zero sama carut marutnya dengan food fight yang tiba-tiba terjadi di restoran mewah. Ada beberapa adegan yang memiliki suasana tegang atau mengharukan, tiba-tiba tidak ada hujan atau angin berubah menjadi suasana komedik. Ada suatu adegan di mana interaksi Riku dan Shuvi yang semula memiliki suasana yang mengharukan tiba-tiba menjadi komedik karena sebaris dialog. Hal ini tidak terjadi sekali saja. Seingat saya, perubahan suasana mendadak tersebut terjadi setidaknya dua kali. Walaupun kita semua dapat tertawa terbahak-bahak karena ke-ekstriman yang terjadi, saya sendiri kurang menyukai model transisi yang seperti itu. Mengingat sejak dari menit-menit pertama kita sudah disuguhi dengan latar belakang bernuansa distopia.
Sebagai penutup, saya tetap merekomendasikan Anda untuk menonton No Game No Life Zero. Visualnya yang keren, intrik yang mengena dan interaksi Riku dan Shuvi yang berfungsi sebagai trisula dapat mengenai para penonton. Meskipun saya merekomedasikannya, saya lebih tetap memilih makan burger generik dan minum bir bersama teman-teman daripada capek-capek gagal menyatakan cinta karena suasana romantisnya hancur lebur. All in all, sebaiknya Anda merasakan sajian No Game No Life Zero, gagal menyatakan cinta lalu mencobanya sekali lagi setelah Anda mengajaknya untuk makan burger terlebih dahulu and laughing it together.
KAORI Newsline | Ditulis oleh Naufalbepe. Penulis lebih suka makan hamburger biasa daripada gagal nembak pacar.
intinya sama seperti seri animenya, komedi yang tak bisa disangka saat serius
dan interaksi Riku dan Shuvi yang berfungsi sebagai trisula dapat mengenai para penonton.
Hmm Trisula… Kira in duo atau es duet.
Adminnya lagi galau :v