Cerpen: Bulu Angsa, by isacchi
Duduk di atas batu reruntuhan memang kurang nyaman. Tapi, mau tidak mau aku harus mendudukinya.
Di depanku sudah hadir bayangan-bayangan yang menyembunyikanku dari cahaya. Mereka terlihat begitu antusias untuk mencari tempat paling enak untuk memandangku.
Aku heran.
Padahal, sepertinya sudah cukup banyak orang-orang berkulit putih yang berkeliaran di kota ini. Apa mungkin karena aku membawa tas dan bergantungkan kamera?
Dan situasi memanas karena semakin banyak dari mereka yang berkerumunan. Tidak sedikit dari mereka yang membawa senjata dan pakaian kumuh. Nafas mereka seperti sedang mencari mangsa untuk diterkam. Tidak ada waktu lagi, aku harus menenangkan mereka.
“Baiklah, baiklah.”
Tanganku mendorong angin mengharapkan mereka mengerti.
Tatapan mereka melembut. Perlahan-lahan mereka menunduk dan mencari tempat untuk duduk. Untunglah mereka mau duduk atau setidaknya berdiri dengan tertib. Mungkin nafas mereka masih terasa begitu mencekam bagiku. Wajar saja, hari itu begitu terik dan aku ditutupi oleh mereka. Aku terlihat seperti Kristus yang duduk sedang mengajar 5000 orang di atas bukit.
Sambil menghela nafas, aku kemudian mengambil beberapa lembar kertas dan pulpen yang ada di tasku. Posisiku mantap. Aku kemudian menatap masing-masing dari mereka.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
Dalam sekejap suara bisik-bisik menghantui sekelilingku. Rasanya cukup mencekam dan membuat dada terkejut.
Tak lama kemudian, satu tangan terangkat dari kerumunan itu.
”..Kami mencari hidup.”
Aku mengangguk. Dan aku mencari beberapa pertanyaan di dalam otakku untuk membuat suasana mencair.
“Bagaimana caranya kalian mencari hidup dengan kondisi seperti ini?”
Bisik-bisik kembali mengaung dan menghantui, bak angsa-angsa yang merusuh karena satu batu yang terlempar dalam kerumunan mereka. Aku merasa keberadaanku cukup mengusik pikiran mereka. Semoga para tentara pejuang itu tidak menatapku terlalu tajam.
“Kami mencari tempat-tempat yang ada makanan, atau mengambil persediaan makanan dari daerah terlantar.”
Aku mendengarkan pembicaraan mereka sambil mencatat.
“Lalu..”, tanyaku kembali, “kalau tidak ada makanan di daerah tempat kalian menyerang atau mereka menolak, bagaimana?”
“Kami harus menghabisi mereka.”
Gerakan menulisku sejenak terhenti. Padahal hal ini sudah menjadi rahasia umum.
”..ah, begitu.”
Sejenak aku terdiam. Rasa tidak puas hadir dalam diriku karena pertanyaan ini hanya seperti mengulang rekaman naas yang terus hadir dalam hidup mereka. Sejauh mata memandang, mereka hanya mampu menggenggam senjata laras panjang. Sekejap mata berkedip, ada helai kain yang bernodakan darah.
Tak lama, nuraniku membentuk rantai kalimat. Mulutku tak segan untuk menahan untaian katanya. Hatiku bersiap untuk mengungkapkannya.
“Coba saya beri tantangan bagi kalian.
Kalian bayangkan diri kalian 5-10 tahun ke depan. Apa yang kalian rasakan, apa yang kalian impikan, apa yang kalian harapkan bagi sekeliling kalian. Setidaknya, seperti apa kalian di masa depan.”
Kerumunan itu hening seketika.
Angsa-angsa itu tidak lagi berbisik dalam kerumunan mereka. Yang lebih menarik, sorot mata mereka berubah. Ada yang menatap langit, yang menatap sekeliling, atau mungkin menatapku dengan keheranan. Aku terkejut ketika senyuman tersungging dari bibir mereka. Walau begitu, ada pula yang mengernyit dan menyembunyikan mukanya dari hadapan keramaian.
Tak lama, ada tangan yang terangkat dari antara mereka.
“Ada sekolah!”
Matanya membelalak penuh semangat. Cahayanya menerangi perasaanku.
“Lalu?”
“Aku menjadi gurunya. Temanku yang membangun sekolahnya.”
Ada pun yang berteriak dari sudut kanan di belakang kerumunan. Matanya tak kalah berpancar bagai kilauan berlian.
“Aku jadi polisi!”
Seketika, kerumunan angsa itu kembali riuh. Namun keriuhan itu terasa begitu damai dan ceria. Senjata-senjata yang mereka pegang pun mereka letakkan di tanah. Yang ada hanyalah omongan mereka mengenai masa depan. Aku seperti memasuki mesin waktu ketika mendengar kata-kata mereka.
Dalam keramaian itu, semakin banyak tangan yang meraih langit. Begitu banyak impian yang terlontar dari dalam mulut mereka. Hati mereka begitu berbunga-bunga. Semangat mereka begitu berkobar.
“Tapi..”, tiba-tiba ada suara lirih terdengar yang membungkam keriuhan itu.
“Apa anda yakin hari-hari itu akan dihampiri oleh kami?”
Sekelilingnya terasa redup. Aku tahu impiannya tak mampu menutupi realita di sekitar mereka. Hari-hari mereka diambil oleh kedewasaan yang terlalu cepat. Setiap hari jari telunjuk mereka harus menarik pelatuk untuk membakar kulit mereka. Di balik embel-embel kemerdekaan dan perdamaian, mereka harus menyembunyikan kebebasan dan ketenangan mereka sendiri. Anak-anak ini tak lebih dari boneka yang tak akan dikubur dalam kesenduan dan kerinduan keluarganya.
Walau begitu, aku tahu.
Mereka sudah cukup melihat darah dan mayat bergelimpangan di hadapan mereka.
Mereka sudah muak mencari makanan dari kepala para musuh.
Karena itu, hanya inilah yang bisa kami lakukan kepada mereka. Mungkin kami bagaikan meriam kecil yang melontarkan batu-batu kecil untuk mengacaukan fokus angsa-angsa tersebut. Tidak sedikit dari kami yang mencabuti bulu mereka.
Walau begitu, hanya bulu hitam yang kami cabuti.
Tidak ada angsa-angsa di sini yang berbulu hitam. Yang ada hanyalah angsa yang kotor karena debu yang terlalu pekat. Saking pekatnya, bulu itu tidak bisa dibersihkan hanya dengan air hujan.
Aku tersenyum. Hatiku diselimuti kedamaian kalbu.
Dengan menutup pembicaraan hari itu, aku pun tersenyum,
“Tentu.”
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Bulu Angsa