Flashfic: Kalut

0

Flashfic: Kalut, by eriyakumo

dream_9

Tidurlah
Selamat malam
Lupakan sajalah aku

Mimpilah
Dalam tidurmu
Bersama bintang…

– dipopulerkan oleh Drive Band –

Entah sudah beberapa masa berlalu dengan begitu sulitnya diriku ini untuk tidak terbuai dalam kuasa sang rembulan.
Berlarian tak tentu arah, hanya diiringi lambaian pohon-pohon yang disapa angin di balik tembok bersalut putih, dan…

Kumpulan lembaran putih yang terjalin rapi dan terikat satu sama lain yang menjadi satu-satunya teman sejati.

Titik demi titik berkumpul menjadi guratan garis yang mewujudkan runtuhnya pertahanan diriku.
Tetapi rasanya sungguh tak cukup hanya dengan tetesan air mata dan goresan ujung pena.

Sejenak ku hampiri kaca.
Menatap refleksi diriku sendiri dengan satu gelora di tengah kenadiran akan asa.

Menelusuri setiap noktah dan garis-garis rona, mencari makna setiap alur peristiwa.
Tetapi, semua tetap menjadi kegusaran dan sekedar mendamba.

Perlahan, tetapi pasti, saluran di sudut mata kembali bergolak, dengan curahan air melimpah laksana banjir bandang. 
Aku ingin sekali menghentikan naungan kegalauan yang datang bergulung bak awan mendung.

Aku, sesosok manusia rudin di tengah kumpulan ular-ular beludak yang siap memangsa diri dalam kealpaan.
Tidak tahu sampai pada bagian mana bisa bertahan.

Kapanpun, dan di mana pun pasti selalu dinanti.
Tak peduli akan ganasnya pedang tajam bernama waktu yang menusuk sendi-sendi penuh stagnansi.

Bagaimana pun, cerita tinggallah cerita.
Membuka lembaran baru, rasanya mustahil tanpa sebuah retorika.

Menoleh ke belakang pun aku tidak berani.
Percuma saja kalau akhirnya diriku menjadi seonggok tiang garam yang tiada guna dan tiada berarti.

Pada akhirnya, yang bisa aku lakukan hanya sebuah pukulan kepalan tangan yang mendarat di permukaan bening.
Aku tahu, ini adalah pilihan yang tidak seimbang.

Meskipun kemudian semua berjalan tak seperti apa yang ada dalam lubuk hati.
Tetapi setidaknya aku sudah mencoba membunuh sisa kehampaan ini.

Ku buang jauh-jauh semuanya.
Cinta, asa, asmara, dan apapun yang membangkitkan selera.

Kembali aku terdiam, jemariku bergoyang menuntun pena untuk menuliskan pesan ini.
Dengan mata terpejam sembari menimbun segala kenangan dan rasa bersalah ke dalam bumi.

“Sayang,

Beribu sayang,

Maafkan aku bila aku harus berterus terang kali ini.
Sudah tiada lagi kejujuran dan kebersamaan di antara kita.

Mungkin bila surat ini engkau telah terima dan resapi maknanya,
Aku ini sudah tiada punya jejak lagi di dalam dunia nan fana.

Hanya sebatang kara, menanti penghakiman dari empunya semesta.
Pemilik semua kebenaran yang sebenar-benarnya.

Aku ingin, supaya engkau bisa menerima,
semua yang terjadi apa adanya. Tidak untuk ada apanya.

Berusahalah untuk tidak lagi menyendiri,
dengan tubuh yang serasa dikebiri,

Sampai engkau bertemu sebuah kasih yang perlu engkau kasihi.

Sekarang, engkau sudah bisa kembali tidur.
Bermimpilah bersama para bintang dengan semangatmu yang tiada pernah kendur.

Lupakan saja keadaanku.
Anggaplah aku tidak pernah ada satu jengkal pun dalam hari-harimu.

Semua ini telah terjadi karena kesetiaan dirimu.
Setia dalam berbagai hal yang meniadakan kehendak tulus dalam relung hatimu.

Engkau tahu, bahwa sakit hati ini, hari demi hari akan mengerogoti setiap daging dan tulangku.
Tetapi engkau sudah menetapkan segala yang baik menurut apa yang engkau mau.

Dan, aku tiada punya kuasa untuk menyingkirkan kedegilan sukmamu.

Tidurlah, selamat malam.
Semoga engkau terjaga di kala fajar baru menjelang bersama kumpulan beruntai-untai manikam.

Dari… seseorang yang sangat engkau benci dalam hidupmu.”


***

*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Kalut

 

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses