Cerpen: Berbagi Payung, by f1rstjojo
“Neng, jangan malu. Sini aja berdua sama saya, payung saya besar cukup kok buat berdua.”
“Gak boleh deket-deket sama cowo kata abah, maaf ya.”
“Kalau kehujanan nanti sakit loh! Flu kan susah sembuhnya.”
—
Bulan ini entah bulan apa, yang jelas lagi musim basah-basahan karena banyak air datang keroyokan menghujam bumi kita yang tercinta ini. Bahkan bulan ini, ahli nujum di kampungku (bukan ahli santet atau cabul) meramalkan kalau musim ini bakal nonstop 24.5 jam dibahas sebulan penuh dan nangkring menghiasi saluran televisi, terkenalnya bakal melebihi pemberitaan para tikus-tikus berdasi, eyang tandus atau markonah, soalnya dia berhasil memprediksi dengan hasil yang nyeleneh adanya.
Dibilang kalau sudah hampir 2 tahun sampah di kampung nggak dibuang ke laut atau sungai, jadi semuanya ngendap dirumah pak RT (Rajin Terintimidasi). Kampungku dibilangnya bisa tenggelam, kalaupun banjirnya sudah surut bakal ada wabah koreng berjamaah, miskin mendadak, dan kecanduan bantuan dari badan penanggulangan bencana karena dapet nasi bungkus sama pengalaman menginap di tenda gratis.
Sampai puncak ketakutannya, Ceu Imah berani sewa pawang hujan yang semburannya kenceng. Dia kapok tahun lalu jemurannya gak kering selama seminggu, bau apek, boros softener. Pawang hujan itu ditaruh di depan rumah, sekalian nyemburin kembang mawar berduri yang mulai lunglai, bantuin nyiram taneman sebelum tanemannya kekubur air bah.
Ahli nujum ini gak salah, gak akan pernah salah. Tahun lalu dia prediksi pemenang piala dunia aja bener, gimana prediksi yang ini? Secara lagi, rumah dia sebelahan sama kantor BMKG, dapet spoiler deh. Dia sendiri juga kepala BMKG nya, dan untuk masalah pemenang piala dunia dia rela taruhan sama dukun kampung sebelah biar prediksinya 100 persen akurat, terus dukun kampung sebelah juga taruhan sama dukun kampung sebelahnya biar prediksinya ikutan akurat 100 persen. Seterusnya begitu mereka taruhan sampai ketemu dukun di Afsel sana, cerita ini selesai sampai disini aja.
—
Ceu Imah
Kurang ajar memang kalau mulai urusan bola, bini di rumah dianggurin sampai dikerubutin laler *eh karena belum mandi 7 hari sih*. Hemmmpf – 10 menit yang lalu.
Komentar. Suka.
Komen gak ya?
Gak perlu ah, nanti dikirain kepo, dikirain suka mau tau urusan rumah tangga orang.
Skip.
Saya gebrak meja makan setelah lihat ramalan ahli nujumnya di tivi. Bukan karena marah atau tahu bakal ribet kalau banjir datang.
“Buku sekolah hanyuuuut, Seragam sekolah ikut hanyuuut. Iyaaaay!” Sambil kayang terus nabrak rak piring.
Harapannya gitu, semoga terkabul ah.
“Eh kamu seneng pisan bakal banjir. Timbunan emas, saham, obligasi, filateli emak kamu ini banyak, susah tau mindahinnya. Kalau semuanya hanyut, tuh bener ramalannya, bakal miskin mendadak kita teh!” Gerutu emak.
“Makannya ditaruh di bank atuh, mak.”
“Gak mau, nanti semua harta emak malah digelapin di tempat gelap, emak jadi korban penggelapan. Biarpun udah ngehindarin matahari dan pakai sun block nanti tetep aja gelap!.”
Si emak nyerocos dari awal mula sejarah harta keturunannya yang gak akan habis sampai 7 turunan, 9 pengkolan, 3 persimpangan dan seterusnya. Sedangkan si Abah sibuk mengomentari setatus Ceu Imah tadi tanpa sepengatahuan emak (kalau ketahuan bakal disembur soalnya).
Saya sembari menunggu kapan hujan datang, jalan-jalan dulu aja ya. Sambil bawa tugas geologi, fisika, presentasi bahasa, kalau hujan datang semua basah tuh, gak perlu begadang deh buat ngerjain tugas.
Saya pamit cium tangan, sungkem, cipika-cipiki, cuci kaki abah sama emak biar direstuin pergi, tapi sebenernya mereka masih bahas yang tadi, belum selesai sampai ronde 30 dan gak ada yang T.K.O.
Oke maaf, biasa suka emosi.
Tapi sebenernya saya lebih emosi gara-gara nama ini, demi Tuhan pingin ganti nama. De’demii Tuhaaan *Gebrak meja.
Kalau orang kampung sini, senengnya ngerusak nama orang. Alila nama unyuu gini dibilang Ah Lila (yang artinya Ah Lama). Jadinya kalau sekarang saya jalan, lemot banget kaya siput. Gak jadi unyu karena jalannya lama. Dibilang ngesot bukan, dibilang sok princess masa mau nandingin Tante Sesuwwatuh, nggak deh. Ya jadinya sekarang sudah 15 menit berlalu, jarak yang saya tempuh dengan jumlah gesekan yang terjadi antara sendal swallow warna ungu yang unyu dengan permukaan tanah tidak seimbang.
Sehingga hukum gaya, gaya alay gaya unyu, gaya 80-an gak berlaku buat saya. Saya masih didepan rumahnya Ceu Imah. Jadi rumah saya sebelahnya rumah Ceu Imah, sebelahnya lagi kantor BMKG, dan kepala BMKG itu suaminya Ceu Imah, udah ngerti belum?
Untung saja, ojek langganan datang disaat yang tepat. Dia mengantarkan saya menuju sebuah pasar yang banyak jajanan sama cemilannya. Wush wush, begitulah suara bunyinya ojek saya. Bukan tuk kitak kituk kitak kituk~ kereta berangkaaat.
Sampai di pasar, baru pilih jajanan. Hujan datang. Uhuuuuw. Saya jingkrak-jingkrak ditengah kesedihan penjual jajanan pasar yang jualannya basah kuyup.
Saya buang buku yang saya bawa dari rumah.
*Plak Plak* Begitu bunyi bukunya ketika mendarat sampai ke tanah.
Sampul bukunya basah, tintanya luntur, lalu bukunya hancur sendiri dan menjadi kompos alami untuk penyubur tanah.
Dan nggak sadar, kalau badan sendiri juga sudah basah terkena kucuran air. Astaga, lupa bawa payung, ojeknya sudah pulang, yang jualan bubar, gak ada tempat berteduh, kalau jalan lambat.
Saya bersimpuh dihadapan buku yang hancur tadi, menangisi sisa-sisanya. Ini pasti karma, kalau hari ini gak banjir kemungkinan saya dihukum di sekolah besok. Saya berdiri dan berjalan pulang menuju rumah yang jaraknya antara langit dan bumi. Kaki saya kram gak bisa dipakai lari.
Inilah akhir dari takdir seorang manusia yang bernama Alila, mana hujan gak ada ojek becek basah kedinginan, emaaaaaaaak~!
—
“Neng, jangan malu. Sini aja berdua sama saya, payung saya besar cukup kok buat berdua.”
“Gak boleh deket-deket sama cowo kata abah, maaf ya.”
“Kalau kehujanan nanti sakit loh! Flu kan susah sembuhnya.”
Seseorang itu, mengajak saya berdialog. Menghampiri tubuh dan jiwa saya yang mulai depresi. Dia menawarkan jasa berbagi payung dengan saya. Sejujurnya, saya nggak mau menolak karena sudah nggak betah disini. Tapi gengsi ini membuat diplomasi menjadi sengit dan entah siapa yang mau mengalah demi kepentingan nusa dan bangsa.
Akhirnya saya juga yang mengalah, menumpang payung orang itu. Dan sepertinya dia baru sadar kalau saya hanya menambah beban hidup baginya. Lagi-lagi karena jalan siput saya.
“Betewe neng, rumahnya dimana?”
“Di sebelah rumah Ceu Imah.”
“Kalau kesana, ongkos payungnya 5000.”
*Glek*
“Adanya ini, 1000 koin.”
“Iya kali hari gini nganter jauh cuma 1000.”
Penolong saya pergi membawa kabur uang 1000 dan meninggalkan saya ditengah jalan, sudah banjir sepaha pula.
“Hoooraaay, yang penting besok liburrrrrr!”
*Jalan lama, berenang saja yuks mariii~*
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Berbagi Payung