Flashfic: Gigi, oleh f1rstjojo
“Kalau mengunyah makanan, kita menggunakan apa anak-anak?” Tanya seorang guru TK kepada anak didiknya.
“Gigi Buk..” Jawab mereka serempak. Namun seorang murid mengangkat tangannya tinggi menunjuk langit.
“Oma saya harus memblender makanannya dulu Buk. Ia tidak punya gigi.”
Sontak semua murid selain ia terbahak keras, cekikikan.
“Begitu memang kalau sudah tua, anak-anak. Oma harus dibantu agar mudah mengunyah makanannya.”
“Hoo begitu ya Buk..” Jawab mereka serempak.
“Tentu.”
Kelas usai, dan si anak yang menunjuk tadi pulang ke rumah yang letaknya tidak jauh dari TK nya. Sekitar dua blok selisihnya. Kadang ditengah perjalanan singkatnya ia meneguk air yang dimasukkan kedalam botol tumbler kecil.
Panasnya udara selalu membuatnya merasa haus dan dehidrasi. Bahkan terakhir tes medikal, si anak mengalami gangguan pada klep ginjalnya.
“Oma, aku pulang.” Sahut si anak, menandakan ia sudah pulang dari kegiatan sekolahnya.
Namun sang Oma terdiam, ia tidak dapat mendengar suara riuh di sekelilingnya. Umurnya genap 70 di tahun ini, namun ia hanya termangu diam. Lupa ingatan.
“Oma aku buatkan makan siang yaa…” Si anak menawarkan, ia sudah pandai membuatkan Oma makanan, padahal umurnya masih 5 tahun.
Oma tidak mengangguk ataupun menggeleng.
Si anak mengupas apel, membelah pisang lalu menambahkan sedikit gula. Semua bahan itu dimasukkannya ke dalam blender. Seperti sirup yang legit, enak diminum namun ini buatan sendiri. Tanpa pengawet dan pemanis buatan.
Anak itu menuangkan jus apel-pisang kedalam mangkuk yang bentuknya lonjong dan mempunyai kaki. Seperti biasa, reaksi Oma selalu telat. Ia menggeleng menolak ketika jusnya sudah selesai dibuat.
“Ah Oma, ini aku yang membuatnya. Bukan Charlie atau Eren. Makanlah!.”
Oma menggeleng makin kencang, bahkan seperti kerasukan setan.
Namun si anak memberanikan diri untuk menyuapi Omanya. Oma malah bergidik melihat cucunya sendiri yang berusaha menyuapi makanan.
“Ayo Oma makaaaan.”
Seketika itu kepala Oma lepas dari lehernya. Darah menyembur bak semprotan air yang lepas saat dipegang.
Sontak anak itu menjerit ketakutan dalam bisunya. Wajahnya menjadi pucat pasi.
—
“Nak bisa kau ceritakan kepada kami bagaimana kronologi kejadian tersebut?”
“Begini Pak, sore itu aku bermain di lapangan bola. Mike menendang bola yang kami mainkan itu sangat jauh. Sehingga kami menyusurinya dan berhentilah kami di rumah kosong yang terletak di blok F5.”
Anak itu mengatur nafas.
“Bola kami ada di dalam rumah itu. Karena saat mengintip di pagar rumah yang berlubang rapuh bola itu tergeletak disana.”
“Lalu selanjutnya apa yang terjadi?”
“Diantara kami berempat tidak ada yang berani mengambilnya. Semua orang tahu kalau rumah itu angker.”
“Angker? Angker bagaimana?”
“Banyak rumor kalau malam hari orang yang melewati depan rumah itu sering mendengar suara tangisan atau teriakan.”
“Lanjutkan mengenai bola kalian.”
“Karena tidak ada yang berani, kami mengundi nasib dengan melakukan hom-pim-pa. Dan aku yang mendapat jatah untuk mengambil bolanya.”
Anak itu menarik nafas kembali.
“Aku memberanikan diri, memasukkan kepalaku dari pagar yang berlubang tadi. Aku takut ketahuan kalau masuk dari pintu pagar yang asli. Saat seluruh badanku berhasil menerobos. Aku dikejutkan dengan banyaknya potongan gigi. Seperti gigi graham orang dewasa.”
“Lalu selanjutnya?”
“Aku merasa ganjil dengan pemandangan itu. Aku cepat-cepat berlari untuk mengambil bolanya. Bola itu mendarat persis pada tempat seperti ruang makan, dan temboknya berlubang. Aku mengambil bolanya dengan posisi menunduk. Dan saat mataku mengarah ke lubang itu…
AKU MELIHAT KEPALA YANG MATANYA MEMBELALAK!”
Anak itu mulai menangis ditengah persaksiannya.
“Kami sudah mengurus jenazah pemilik kepala tersebut, tenanglah. Kau bisa melanjutkan penyaksianmu atau cukup sampai disini?”
Anak itu menggeleng enggan, lalu opsir Hans mengawal untuk mengantarkan anak itu pulang kerumah.
—
“Jadi Pak, bagaimana selanjutnya? Siapa yang akan meneruskan untuk menangani kasus ini?”
“Biar aku saja, Miss Frank.”
“Baiklah, Pak Hover Natto. Aku pergi dulu.”
—
Hover Natto memacu mobilnya pada kecepatan 90KM/Jam yang sebenarnya dilarang di daerah tersebut. Ia harus buru-buru menyelesaikan kasusnya saat tiba di rumah.
Hover mendobrak pintu rumahnya.
“William, kesini kau!” Perintahnya penuh amarah.
Anak yang ia panggil datang menemuinya, ia belum ganti baju dari seusai pulang sekolah. Hover mendaratkan tamparan telak pada pipi kanannya.
“Lain kali kamu hati-hati. Ada orang yang menemukan mayatnya. Sudah kubilang, kau harus sering berganti lokasi!”
“Tapi Yah, sulit menyeretnya saat siang hari.”
“Besok akan aku ajarkan caranya!”
“Ba-baiklah.”
“Cepat ganti bajumu, dan besok… Kau harus menghabisi 4 anak yang menjadi saksi atas keteledoranmu!”
“Em..pat?”
“Iya empat, sudah jangan dipikirkan. Aku pasti membantumu mencari lokasi yang baru.”
“Harus menanggalkan gigi mereka dan memberi mereka jus lagi?”
“Tentu!”
—
“Besok, aku mempunyai empat Oma baru. Haruskah aku berteriak YAAAY!?”
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Ingin membaca lanjutan ceritanya? Silahkan klik tautan cerita berikut : Gigi