Flashfic: Ritual Minum Teh, oleh merpati98
“Apa yang kamu mau?”
Gadis itu tampak berpikir sejenak, mempertimbangkan pertanyaan yang diajukan padanya. Yang dia mau? Yang dia inginkan? Bukankah jawaban itu seharusnya sudah jelas? Dia tersenyum sedikit miris. Membuka mulut, dia menjawab dengan dengan nada yang terlalu biasa untuk bisa dipercaya, dan terlalu biasa, untuk bisa dianggap berdusta.
“Kebahagiaan. Aku hanya ingin itu.”
*~*~*
Di ujung dunia, mereka bertemu. Di ujung dunia, mereka berbicara. Dia ujung dunia, mereka saling mengenal. Dan di ujung dunia, mereka minum teh bersama. Ya. Minum teh. Minuman hangat, dengan rasa manis yang cenderung tawar, yang menyebarkan aroma samar yang menenangkan.
Meskipun, pemuda itu lebih menyukai kopi hitam. Meskipun gadis tersebut lebih menyukai cokelat panas.
Tapi, siapa yang peduli.
Waktu itu juga, di ujung dunia, dengan puri megah di belakang mereka, ritual minum teh berlangsung kembali seperti biasa. Dua cangkir di atas meja bundar, dua kursi di sekelilingnya, dan dua orang berlainan jenis kelamin di atas masing-masing bangku.
Si pemuda yang mengetahui semuanya, dan gadis yang selalu berkata apa adanya. Begitulah mereka.
Gadis tersebut menambahkan sedikit gula ke dalam cangkirnya, sebelum mengaduk dengan gerakan pelan yang terlihat konstan. Bunyi denting sendok yang beradu, sesekali terdengar menghiasi suasana sunyi di sekitarnya.
“Hei,” ucap si pemuda, meletakkan cangkirnya di atas tatakan yang tersedia. Menimbulkan bunyi ‘tuk’ pelan yang terharmonisasi sempurna dengan bunyi ‘ting’ yang dihasilkan sang gadis. “Mungkin sebaiknya kamu tidak menambahkan gula sebanyak itu.”
“Kenapa?” gadis itu menghentikan kegiatannya. Menatap pemuda di hadapannya dengan mata yang berkilat jenaka.
“Diabetes,” jawab pemuda tersebut pendek, sambil membuang pandangannya ke arah bangunan besar di belakang.
“Begitukah?” ia bertanya lagi.
“Tidak tahu—“
Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke arah meja. Membiarkan satu tangannya menopang dagu, sementara ia memandang putaran aliran air di dalam cangkirnya. Jika melihat dari ekspresinya saja, gadis itu seolah sedang terpesona dengan apa yang ia tatap.
“—Aku bukan dokter.”
Dia tertawa kecil. Dan setelah itu, diam.
“Hei,” panggil si pemuda setelah beberapa saat. Memecahkan keheningan yang melingkupi keduanya. Pandangannya kembali ke arah teman semejanya, meninggalkan puri yang sejak tadi mengganggu konsentrasinya.
“Ya?” gadis itu bergeming.
“Kamu menyukaiku kan?”
Dia mendongakkan kepala, teralihkan. Tampak terkejut, sebelum kembali seperti biasa. Menatap pemuda tersebut sejenak, gadis itu melemparkan senyum tipis yang terkesan menggoda, sebelum melanjutkan kembali aktivitasnya. Sekarang, mengamati motif kain yang menutupi permukaan meja.
“Entah ya,” gumamnya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar.
*~*~*
Pemuda itu adalah petaruh. Gadis adalah tipe orang yang selalu membuat garis aman. Jika digabungkan, keduanya akan bertaruh pada harapan kosong yang tidak pernah ada. Tentu saja, kalau ditanya apa gadis tersebut menyukai si pemuda? Jawabannya hanya bisa ya, dia menyukai dan membencinya dalam waktu bersamaan.
Karena bagaimanapun juga, pemuda tersebut membawa kehancuran untuknya.
Karena bagaimanapun juga, pemuda tersebut masih terlalu lemah untuk dia yang keras kepala.
*~*~*
“Hei,” sahut si pemuda, mengerutkan keningnya. Ekspresi wajahnya tampak mulai tidak sabar. Membiarkan tehnya menjadi dingin dalam cangkir keramik yang tadi ia letakkan, pemuda itu menegakkan badannya dengan wajah serius.
“Apa?” gadis itu tidak terpengaruh, menghela napas, dan memilih mengalihkan pandangannya ke angkasa. Di ujung dunia, langit selalu terlihat biru. Di tempat dia berada, tidak ada cuaca buruk yang bisa mengganggu pemandangan sekitarnya.
“Sebenarnya—“
Pemuda itu menghentikan kalimatnya. Seolah berpikir kembali mengenai apa yang ingin dia katakan. Si gadis menunggu tanpa banyak peduli.
“Apa yang kamu mau?”
Diam. Gadis itu menatap balik si pemuda. Melupakan sejenak angkasa di atasnya. Melupakan sejenak puri di belakang mereka. Dia membuka mulutnya perlahan, dengan padangan yang sulit diartikan.
“Kebahagiaan,” jawabnya setelah beberapa saat. “Aku hanya ingin itu.”
*~*~*
Pemuda itu adalah pemuda yang mengetahui segala yang dia ketahui. Gadis itu adalah gadis yang selalu berkata apa adanya yang dia ucapkan. Tidak perlu ada yang berbohong untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak perlu ada yang tertipu untuk tidak mengetahui.
Karena kenyataannya, kebenaran bukan hanya ada satu.
*~*~*
Ritual minum teh mereka sudah berakhir. Pemuda tersebut berdiri, meninggalkan cangkir yang masih tersisa sepertiganya. Dia lalu berjalan menuju puri yang terletak di kejauhan. Beberapa langkah, pemuda tersebut berhenti. Berdiri diam di tempatnya. Menoleh kembali pada gadis yang masih duduk di tempatnya, tanpa bergerak.
Gadis yang sekarang kembali memandang angkasa. Di ujung dunia. Tanpa sedikitpun peduli dengan arah yang dia tuju.
“Aku yang mau kebahagiaan,” bisik pemuda itu, hampir tanpa suara. Setelah itu, dia melangkah kembali. Ke meja bundar yang ditinggalkan. Ke cangkir yang berisi penuh teh, minuman bukan favoritnya. Tapi, siapa yang peduli.
Kali ini juga, dimulai kembali. Ritual minum teh tanpa akhir. Seperti biasanya. Entah sampai kapan. Entah untuk berapa lama akan terulang.
*~*~*
Gadis itu memandang angkasa. Menatap awan berarak di atasnya. Melihat birunya langit luas yang terbentang di sekitarnya. Dengan pandangan pasif, ia berkata pelan. Tanpa pendengar.
“Aku ingin kedamaian. Hanya itu. Sebenarnya.”
Karena memang menipu diri sendiri adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan.
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Ingin membaca lanjutan ceritanya? Silahkan klik tautan cerita berikut : Ritual Minum Teh