Cerpen: Noise, by silvercorolla
Ada satu hal lain yang sering tidak diperhatikan oleh siswa-siswa di sekolah ini selain guru yang membosankan. Itu adalah sebuah speaker yang diletakkan di pojok kanan atas ruangan, menghadap ke arah para siswa. Alat pengeras suara itu digunakan utamanya untuk mengumumkan suatu pemberitahuan yang sekiranya penting untuk diketahui seluruh kelas. Bisa juga sebagai penanda waktu berganti jam pelajaran atau waktu istirahat dan masuk kembali. Namun pernah juga dipakai untuk memperdengarkan musik-musik klasik di waktu istirahat. Yang pasti tak ada seorang pun yang mempedulikannya saat tidak ada informasi yang keluar darinya. Namun entah kenapa aku jadi sering memperhatikan kotak berwarna gelap tersebut.
Awalnya speaker itu berfungsi seperti biasa, menyiarkan pengumuman dari ruang informasi yang dekat dengan ruang OSIS. Saat itu hanya sebuah informasi mengenai lomba keikutsertaan lomba atletik. Saat sang penyiar selesai membacakan pengumuman, terdengar suara statis selama beberapa saat sebelum hening. Bukan sesuatu yang signifikan. Sepertinya si penyiar hampir lupa mematikan mikrofon.
Kejadian kedua berlangsung saat ulangan Fisika. Ketika suasana hening di mana semua siswa berkonsentrasi mengerjakan soal, aku mendengar suara statis dari speaker. Mengira akan ada suatu pemberitahuan, aku menunggu penyiar berbicara namun sampai suara itu hilang, tak ada seorang pun yang bicara. Tampaknya ada yang iseng dengan mikrofon di ruang informasi atau bisa jadi ada gangguan teknis. Masih belum merupakan sesuatu yang signifikan.
Keesokan harinya kejadian yang nyaris serupa terjadi lagi. Pengeras suara itu mengeluarkan suara desis statis yang sama seperti kemarin tetapi kali ini diselingin sedikit distorsi dengan frekuensi naik turun. Mirip dengan seseorang yang mencari gelombang radio. Lagi-lagi berakhir tanpa seorangpun yang berbicara. Ada apa di ruang informasi sana?
Aku sempat membicarakan hal ini pada temanku. Aku bertanya pada mereka apakah mendengar sesuatu dari speaker. Aneh, tampaknya hanya aku saja yang mendengarnya. Begitu pula saat kubertanya pada Amru yang duduk di barisan depan paling kanan, berhadapan langsung dengan speaker. Ia juga tidak mendengar apapun. Segala sesuatu berjalan normal menurut mereka. Sepertinya ada yang tidak beres. Apa semua itu hanya perasaanku saja?
Dua hari kemudian kami bersiap untuk ulangan IPA. Aku berjanji untuk mengabaikan suara-suara dari speaker karena itu semua hanya ada dalam kepalaku. Kuisi otak dengan semua materi pelajaran agar pikiran yang mengganggu dapat dikubur. Saat soal dibagikan, aku berharap tak ada suara aneh yang keluar dari dalam speaker. Tapi benda mati itu tak dapat berjanji.
Hanya sepuluh menit setelah pengerjaan dimulai, suara desis statis dan distorsi itu terdengar lagi, bahkan lebih lama dari sebelumnya. Aku berusaha mempertahankan konsentrasi tapi kewalahan juga. Aku menatap sekitarku, semua siswa tetap bergeming mengerjakan soal di depannya seperti tak ada intervensi. Rasa heranku berujung pada teguran sang guru pengawas. Kupaksakan untuk kembali konsentrasi.
Tak lama kemudian, tiba-tiba sang speaker mengeluarkan suara-suara yang gaduh dan sangat mengganggu. Dalam sekejap materi pelajaran yang terkumpul hilang seketika digantikan kebisingan. Parahnya lagi, suara-suara itu membuatku sakit kepala. Tak tahan lagi, aku berdiri sambil menutup telinga dengan kedua tanganku dan menjerit, “Hentikaaan!!”.
Dan suara itu berhenti. Kegaduhan mendadak berubah menjadi keheningan yang tak nyaman. Saat itu aku menyadari diriku menjadi pusat perhatian seisi kelas, khususnya sang guru. Tak seorang pun percaya akan apa yang kukatakan. Pada akhirnya aku harus menyerahkan lembar jawaban yang baru terisi sepertiganya dan keluar ruangan.
Hanya beberapa langkah keluar ruangan jeritan histeris pecah. Berawal dari dalam kelasku lalu disusul kelas-kelas lain turut menjerit. Aku bergegas masuk kembali dan mematung terkejut melihat teman-teman sekelasku menggila seperti kerasukan setan. Mereka meronta-ronta memegang kepala mereka, mencakar tubuh mereka sendiri, saling menyerang sesama teman, dan menjerit-jerit.
Tak butuh waktu lama untuk berpikir tentang apa penyebabnya. Semua ini gara-gara speaker itu. Demikian kesimpulan itu kudapat setelah mendengar suara seperti rintihan setan dari speaker itu serta darah yang mengucur dari lubangnya.
-end-
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Ingin membaca kumpulan cerpen lainnya? Silahkan klik tautan cerita berikut : Noise