Salah satu kebiasaan saya dalam menulis artikel yang cukup diperhatikan adalah seringkali menyertakan daftar referensi atau bacaan yang menjadi rujukan saya. Tidak semua perhatian itu positif; ada yang menganggap kesannya terlalu serius, akademis, kaku. Tapi ada prinsip etika yang saya pegang yang membuat saya bertahan melakukan hal itu. Bagi saya, menyertakan daftar referensi adalah suatu bentuk tanggung jawab; kepada orang-orang yang ilmunya saya gunakan dalam menulis artikel, dan tentu saja kepada pembaca.
Pertama, dalam berbagai cara, ilmu-ilmu yang saya pelajari selama kuliah (dan sesudahnya) telah banyak mempengaruhi bagaimana saya memahami anime yang saya tonton. Sebagian besar motivasi saya menulis adalah membahas analisis anime berdasarkan kerangka ilmu yang saya rasa sesuai dan menarik dengan anime itu. Dalam hal ini, mencantumkan sumber adalah bentuk tanggung jawab saya kepada orang-orang yang ilmunya telah membentuk bagaimana saya memahami anime tersebut. Mencantumkan sumber juga menempatkan analisis yang saya tulis dalam posisi yang lebih jelas dalam alur perkembangan keilmuan.
Kedua, mencantumkan sumber adalah bentuk tanggung jawab kepada pembaca. Dengan begitu saya memberi kepastian pada pembaca bahwa teori-teori yang saya gunakan bukanlah hal yang saya ada-adakan sendiri, tapi juga memberi pembaca kesempatan untuk mencari sumber-sumber yang saya rujuk dan mencoba mempelajarinya sendiri. Saya harap pembaca bisa merasakan kesenangan yang sama dari mempelajari apa yang saya pelajari, dan bisa memperluas wawasan dan pemahaman mereka sendiri tanpa terlalu bergantung pada interpretasi saya, karena bisa saja interpretasi saya ada kekurangannya dan orang lain mungkin bisa menghasilkan interpretasi yang lebih baik dari mempelajari sumber-sumber itu sendiri. Hal itu akan baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Baca juga: Membahas Serius Hiburan Remeh Temeh
Etika ini pada intinya adalah hal yang saya pelajari dari kuliah, yang secara konsisten ditekankan dan dilatih sejak orientasi mahasiswa baru sampai bimbingan. Dan saya rasa jika etika ini lebih banyak diterapkan, terutama untuk bahasan-bahasan yang lebih dari menuangkan perasaan atau pengalaman pribadi, kita bisa membangun iklim diskusi dan berargumen yang lebih baik. Tapi memang betul, seperti yang dikatakan Joe dari kanal YouTube Pause and Select, dalam mencantumkan sumber tidak perlu sampai sedetil harus menggunakan format APA, format Chicago, atau lainnya. Yang penting cukup bagi pembaca untuk mengenali dan mencari sumber tersebut.
Karena itulah saya mengapresiasi artikel-artikel mengenai lolicon yang dimuat di detik.com bulan November lalu, sebab dari sumber-sumber yang dicantumkannya, saya bisa mengenali bacaan-bacaan yang digunakan penulisnya yang juga sudah pernah saya baca, dan mencari bacaan-bacaan mana yang belum pernah saya baca. Beberapa orang mungkin menertawakan mengapa detik membahas topik seperti lolicon. Tapi jika sumber-sumber yang digunakannya benar-benar dibaca, ada perspektif-perspektif menarik yang bisa dipelajari dari situ. Saya harap lebih banyak pihak bisa mencontoh setidaknya bagaimana artikel-artikel detik tersebut mencantumkan sumber-sumbernya supaya iklim pembahasan anime dan budaya penggemarnya di Indonesia bisa semakin baik.
Baca juga: Banyak Jalan Menikmati Anime
Ditulis oleh Halimun M | Penulis telah menjadi penikmat anime selama lebih dari 10 tahun sambil berguru pada buku dan jurnal
Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
Apresiasi sebesar-besarnya untuk penulis yg telah mengikuti kaidah penulisan dgn baik..