Jadi superhero itu tidak mudah. Fans superhero tentu sudah tidak asing dengan ungkapan “with great power comes great responsibility”, dan Gundala adalah film yang mengemban banyak tanggung jawab.
Pertama, Gundala memiliki tugas untuk memperkenalkan karakter-karakter komik Gundala karya Harya Suraminata yang pertama kali terbit di 1969 ke generasi penonton baru yang mungkin belum pernah mendengar nama Gundala. Komik dan karakter Gundala sendiri sebelumnya pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 1981- hampir 40 tahun yang lalu. Kedua, Bumilangit bersama dengan Screenplay Pictures baru-baru ini mengumumkan rencana mereka untuk Jagat Sinema Bumilangit, cinematic universe film superhero berisi karakter-karakter Bumilangit, di mana Gundala akan menjadi film pertama pada lini film-film tersebut. Gundala perlu membangun dunia dan setting untuk karakter-karakter tersebut, serta menarik audiens untuk film-film mendatang. Terakhir, film Gundala tentunya harus menjadi film yang bagus dengan sendirinya. Namun dengan segala tuntutan tersebut, dapatkah Gundala berhasil melakukannya?
Baca Juga: [Opini] Berharap dengan Terukur Kepada Jagat Sinema Indonesia
Singkat kata, Gundala harus memikul banyak beban pada kemunculan pertamanya. Maka wajar kalau ia sedikit babak belur dalam menjalankan tugasnya.
Secara umum, Gundala dapat dikatakan sukses dalam melaksanakan misinya. Dengan arahan sutradara Joko Anwar, film ini berhasil memadukan nuansa realisme berbumbu fantasi, kritik sosial, serta sinematografi anyar untuk menampilkan cerita asal-usul superhero yang tidak akan terasa asing bagi penonton Indonesia. Visi film ini tentang Indonesia terasa seperti diangkat dari cerita komik, namun familiar. Kampung-kampung pada film ini terlihat gersang & berdebu, sementara kota-kotanya terasa kejam & rusak. Teknologi modern hampir tidak tampak di film ini, seakan perkembangannya tertahan beberapa dekade. Kalaupun ada smartphone, hanya terlihat di tangan-tangan mereka yang berada. Apakah setting film ini cukup relevan dengan penggambarannya akan negara dengan beribu masalah yang terjebak di masa lalu, dan tidak dapat maju kecuali ada patriot yang datang menolongnya? Mungkin. Paling tidak, terlihat cukup apik di layar lebar.
Kualitas Gundala juga disokong oleh akting piawai jajaran pemerannya. Terutama Bront Palarae sebagai Pengkor, yang berhasil membawakan sosok supervillain kompleks dengan dialog yang cukup berkesan. Pemeran lainnya yang cukup berhasil menarik perhatian termasuk Muzakki Ramdhan & Faris Fadjar sebagai Sancaka & Awang muda. Walaupun film ini terlihat menapaki jalan yang sama dengan Marvel Cinematic Universe, Gundala berhasil mengokohkan identitasnya sebagai cerita superhero yang unik dan penuh dengan karakter Indonesia.
Sayangnya, semua hal positif tersebut seakan hilang di paruh terakhir film ini. Elemen cerita, tema, dan karakter-karakter baru dimunculkan secara tiba-tiba, dan tidak semuanya diberi resolusi yang memuaskan. Beberapa elemen bahkan sangat bertolak belakang dengan gaya penceritaan realistis yang digunakan di paruh awal film ini. Hal ini mengakibatkan klimaks film ini terasa seakan kejar tayang, yang terlihat pada menurunnya kualitas sinematografi dan adegan aksi. Sangat disayangkan, karena bila mengesampingkan paruh akhirnya yang bermasalah, film ini sangat layak untuk disebut klasik.
Walaupun begitu, Gundala tetap menjadi langkah awal yang menjanjikan bagi gelombang baru sinema superhero Indonesia. Ia perlu belajar dari segala kekurangannya demi suksesnya Jagat Sinema Bumilangit kedepannya.
KAORI Newsline
Ternyata bukan hanya saya yang merasa pas adegan-adegan di akhir terlihat terburu-buru dan kejar tayang
Betul Setuju sekali..diawal film ini sudah bagus, diakhir jd seolah-olah terburu-buru. Saya mengusulkan pemain filmnya jgn itu-itu ajah orangnya yg nongol di sinema indonesia. Msh ada tokoh yg menurut sy lebih pantas, spt Sri Asih harusnya diperankan oleh Maria Selena, disamping postur dan fisiknya jg lebih berprestasi mendukung tokoh ini. Kedua Maza sebaiknya diperankan oleh Ade Ray (Binaragawan) supaya Karakternya lebih mengena tidak asal.