Mengingat pesatnya perkembangan novel ringan dan panen uang para pengembang mobile game, saat ini banyak pelaku yang sebelumnya berkecimpung di dunia novel visual (visual novel, yang mayoritas berupa galge) beralih haluan menjadi penulis novel ringan atau mengembangkan mobage. Tutup dan pailitnya sejumlah perusahaan seolah melengkapi penderitaan ini. Tetapi benarkah saat ini novel visual sedang memasuki masa senjakalanya?
Pada tahun 1980-an, sebelum console game besutan Nintendo, Sega, dan Sony mendominasi industri gim, PC (termasuk IBM PC, namun pemain dominan saat itu adalah platform PC-98) adalah sarana yang dominan untuk memainkan game. Memperhatikan keterbatasan komputer pada saat itu, novel visual menjadi game yang dominan dengan visualisasi yang lumayan bagus, tidak memerlukan spesifikasi yang berat, dan mudah dimainkan.
Tetapi jaman now, keunggulan tersebut telah digeser oleh gim ponsel. Gim di ponsel sangat digemari berbagai kalangan karena kepraktisannya, dibandingkan dengan novel visual yang memerlukan waktu dan hanya bisa dimainkan di satu platform, yaitu port PC. Era ini tidak bisa dihindarkan yang menyebabkan peminat dari industri ini menurun. Namun, industri novel visual sendiri masih bertahan sampai sekarang.

Seperti bisa dilihat dari tabel di atas, yang menunjukkan bahwa puncak sebuah novel visual mulai naik adalah sejak tahun 2003 dengan unit yang terjual sebanyak 9.500.000 unit, bahkan Hirameki International (salah satu perusahaan yang membawa novel visual Jepang ke Bahasa Inggris) mengatakan bahwa di tahun 2006 saja memenuhi hampir 70% gim-gim yang rilis di tahun tersebut, tetapi dengan semakin meningkatnya teknologi novel visual khusus untuk mobile meningkat, yang mana mulai produsen novel visual merilis game mereka dalam port mobile terutama IOS dan Android seperti Hatsuyuki Sakura dari Saga Planets atau pun Suika dan Da Capo dari Circus. Namun, tentu saja port novel visual tidak hanya untuk mobile saja, tetapi juga dikembangkan untuk platform konsol. Contohnya seperti pengembang Akatsuki Works yang merilis Hello Lady untuk PS4, atau seri Utawarerumono dan White Album 2 yang dirilis oleh Aquaplus untuk PS4, Maitetsu dari Lose untuk Nintendo Switch, dan seterusnya.
CEO Sol Press Michael Valdez mengatakan bahwa suatu novel visual mengalami proses yang panjang di mana mereka harus melokalisasi selama enam bulan dan harus melampaui target. Ini juga dibuktikan dengan proses produksi novel visual yang panjang, dari perencanaan skenario sampai merilis novel visual mereka. Terkadang hari perilisan bisa diundur demi menyempurnakan novel visual yang akan dirilis tersebut, seperti novel visual dari Cabbit berjudul Kagi wo Kakushita Kago no Tori yang sempat ditunda dua kali perilisannya.

Lanjut kembali, di Jepang sendiri industri novel visual ini masuk dibilang cukup stabil meskipun era mobage mulai terkenal sejak 2015 berdasarkan tabel di atas sebelumnya, hal itu dibantu juga dengan jumlah data dari jumlah toko yang menjual novel visual ini, yang memberi harapan bahwa industri ini dapat bertahan untuk beberapa tahun ke depan. Di mana bisa dilihat bahwa daerah Osaka, Tokyo, dan Aichi mempunyai jumlah toko yang sangat banyak.
Sedangkan industri novel visual di Barat telah mengalami perubahan signifikan, di mana sudah banyak novel visual yang sudah dirilis dalam bahasa Inggris secara resmi di Steam, seperti yang terbaru ini ada Ao no Kanata no Four Rhythm yang dibawakan oleh Nekonyan, Bokuten – Why I Became a Angel (Boku ga Tenshi ni Natta Wake) yang dibawakan oleh Mangagamer, Winter Polaris dari stage-nana yang dibawakan oleh Sekai Project, dan lain-lain.
Memperhatikan hal-hal tersebut, pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa industri ini memang mengalami kemunduran mungkin saja ada benarnya, namun tidak sesuram yang diperkirakan orang. Namun “musim dingin” ini masih bisa bertahan sampai beberapa tahun ke depan, tetapi hal ini tidak perlu terlalu menjadi kekhawatiran, karena fenomena naik-turun seperti ini adalah hal yang wajar dan lazim terjadi, apapun industri dan produknya.