Di tengah keras dan sengitnya persaingan industri media, dalam beberapa tahun belakang terjadi fenomena holding yang dilakukan para konglomerat media. Holding ini menggabungkan kekuatan media tradisional via cetak dan televisi dan media baru (online) melalui situs web dan jejaring sosial. Simak CT dengan Transcorp dan Detik, Kompas Gramedia dengan Kompas dan Kompas.com, maupun MNC dengan Sindo, Okezone, dan RCTI. Dalam lingkup “lebih kecil”, bergabungnya kendali editorial berita antara SCTV dan Indosiar dalam satu bendera, Liputan 6.
Permasalahannya, kehadiran media-media online tersebut di jejaring sosial sedikit banyak membuat mereka harus mengorbankan dua hal hal yang sangat penting: akurasi dan objektivitas. Pengakses berita memerlukan informasi seketika itu pula dari tempat terjadinya berita dan awak media bekerja dengan tuntutan bukan lagi hitungan jam, namun sudah hitungan menit dan detik.
Fungsi Media Sebagai Penafsir Realita
Saat membaca koran, selalu ada kendali editor yang kuat. Redaktur dan kontributor memang harus bekerja dengan batasan tenggat cetak, namun redaktur selalu meneliti dan mendiskusikan bagian-bagian tertentu yang berpotensi menimbulkan masalah bila dimuat di media umum. Pada media online, peran redaktur dikecilkan menjadi sekadar juru EYD dan sering tidak memiliki waktu untuk benar-benar memastikan apakah artikel yang ditulis sudah mencerminkan fakta seakurat mungkin atau tidak.
Hal ini menjadi sangat berbahaya karena media menurut Dominick (2001) memiliki fungsi krusial: fungsi penafsiran. Jurnalis dan editor adalah orang-orang yang mengolah ucapan mentah dan bersayap para aktor berita menjadi hidangan yang siap dinikmati oleh pembaca. “Lidah” sang pembaca untuk memilah mana “hidangan” yang layak cerna dan yang harus dijauhi akan sangat bergantung pada tingkat pendidikan dan literasi informasi seseorang.
Kita sudah melihat peran besar media online dalam membentuk segala yang terjadi selama Pemilu Presiden 2014 lalu. Nukman Luthfie dalam ID-IGF 2014 membahas betapa seringnya netizen Indonesia yang langsung share tanpa mencerna terlebih dahulu isi berita tersebut. Terlepas dari motivasi masing-masing media, inilah kekuatan besar yang dimiliki oleh media sehingga sebaiknya kekuatan yang besar ini dipergunakan untuk hal yang baik.
Dalam konteks media jejepangan online, sejauh ini ada empat pemain besar (berdasarkan partisipasi di ITGCC 2014): Japanese Station, Jurnal Otaku, KAORI Nusantara, dan Kotakgame. Keempat media dengan basis pengguna masing-masing ini mampu menciptakan agenda berita mereka sendiri dan seketika itu pula narasi-narasi mereka akan diamini dan diikuti oleh basis penggunanya. Belum lagi media-media baru baik komunitas maupun profesional yang bermunculan setiap minggu.
Bisnis inti media tersebut adalah informasi seputar Jepang. Konten yang ditulis pun adalah hal-hal terkini dari Jepang, meskipun yang baik atau sebaliknya. Namun prinsip umum media tetap berlaku di sini: Foucault menjelaskan bahwa media adalah “persimpangan dari berbagai konflik kepentingan” dan hal tersebut berarti dari sebuah realita, bisa dibangun berbagai penafsiran yang berlawanan (Conboy, 2004, pp. 4).
Karakteristik lain dari media online jejepangan adalah sebagian besar berita didapatkan bukan dari sumber utama, melainkan dari menerjemahkan berita yang ada pada situs berbahasa Jepang. Ini menuntut perhatian lebih ketimbang sekadar memverifikasi laporan langsung dari lapangan.
Satu Realita Dapat Menghasilkan Berbagai Penafsiran Berlawanan
Mari kita ambil kasus sederhana: regulator televisi Taiwan menjatuhkan denda pada televisi karena sebuah episode Sword Art Online dianggap tidak pantas ditayangkan. Pada media yang berbeda, realita ini bisa saja diterjemahkan berbeda. Bahan mentah yang sama bisa “digoreng” dengan cara berbeda dan hasilnya pun akan berbeda pula. Sangat mungkin media X menafsirkan ini sebagai “langkah bagus” sementara media Y menafsirkan ini sebagai “bencana bagi otaku.”
Ketika berhadapan dengan cara setiap media mengolah realita, perlu disadari pula siapa yang menjadi sasaran pembaca. Orang seperti saya mungkin tidak akan terpengaruh jika ada media yang menafsirkan kasus tersebut sebagai “bencana bagi otaku“, apalagi bila memahami bagaimana prosedur penayangan acara di televisi maupun latar budaya yang meliputi. Tapi bagaimana dengan remaja tanggung berusia 13-14 tahun yang membaca dan karena mereka berada dalam masa mencari identitas, manut-manut saja membaca narasi tersebut?
Bila kita mengeluh semakin banyak weaboo, sebutan keren untuk perilaku xenosentris terhadap Jepang, media-media online jejepangan besar turut bertanggung jawab dalam menciptakannya. Disadari maupun tidak, sengaja maupun tidak sengaja.
Netralitas Media Jejepangan
Lalu apakah dengan media harus menjalankan fungsi penafsiran, bagaimana dengan netralitas? Saya selalu percaya bahwa netralitas adalah keputusan untuk berdiri di atas kaki sendiri dan sang kaki akan selalu mengikuti instruksi sang kepala. Dengan kata lain, netralitas adalah konsep semu.
Namun dengan semunya konsep netralitas, tidak mengurangi peran media untuk tetap berusaha menyajikan secara utuh, tidak parsial apalagi memiliki tendensi untuk membesar-besarkan sesuatu. Dalam kasus Sword Art Online di atas, lebih baik bila media memberikan latar budaya penayangan kartun di Taiwan. Atau bila tidak ada, dapat membandingkan dengan prosedur normal yang berlaku di negara-negara umum baik di Indonesia maupun di Inggris, apalagi bila frame yang diambil dalam rangka mengkritik kebijakan regulator televisi.
Atau bila mengangkat fenomena seperti “otaku memborong 100 dakimakura satu karaker,” hendaknya media memberikan baris penutup yang mengingatkan apakah langkah ini merupakan hal yang normal dan wajar, meski bagi kalangan otaku.
Selain masalah peran media sebagai penafsir fakta, dalam konteks media-media online jejepangan hendaknya bekerja dengan memerhatikan kearifan lokal. Sekali lagi, xenosentrisme terhadap Jepang terjadi karena kurangnya media dalam mengangkat sisi-sisi baik dalam masyarakat Indonesia.
Menyelesaikan Masalah Weaboo
Sikap xenosentris lain yang menarik adalah pandangan mengapa komik Indonesia level ceritanya jelek, gambarnya tidak moe, dan membandingkannya dengan standar Jepang. Hal ini bisa diatasi dengan membahas komik-komik lokal modern yang berupaya mengembangkan tradisinya sendiri.
Tentu tidak hanya sekadar berhenti pada komik yang bergaya manga namun juga memerhatikan akar sejarah komik lokal yang sudah ada terlebih dahulu. Bukan berarti gaya manga jelek karena perdebatan ini sudah usang: komik Indonesia adalah komik yang dibuat dan dimiliki orang Indonesia. Tapi ada yang lebih penting: membantu mereka agar bisa move on, dengan mempublikasikan karakter (IP, intellectual property) mereka sendiri sehingga tidak terus-terusan membuat doujinshi kartun Jepang. Bagaimanapun komikus-komikus yang kini berkarya di Koloni maupun re:ON sebagian memulai karir dengan membuat doujinshi.
Literasi informasi pun tak kalah penting. Sebagai pembaca, bila kita lebih tahu, mari ikut meluruskan bila ada pemberitaan media yang “menyimpang” dan kebetulan di-share oleh teman kita di jejaring sosial. Lalu mari memilih dan memilah pula “hidangan” yang tersaji di depan layar monitor maupun ponsel kita, mana yang berkualitas dan mana yang sensasional. Media tidak mungkin berhenti membuat berita tendensius selama masih banyak konsumennya yang belum terdidik dan tugas kita sebagai pembaca untuk tidak menjerumuskan mereka-mereka ini.
Izinkan saya mengakhiri surat terbuka ini dengan mengutip pendapat Bambang Wibawarta, guru besar Universitas Indonesia, “Media yang memberikan berita soal Jepang hendaknya memasukkan konten lokal dalam sajiannya. Boleh suka Jepang tapi jangan sampai hanyut di dalamnya, karena yang hanyut di sungai hanyalah benda mati, termasuk kotoran manusia.”
Dengan segala hormat, sebagian dari masa depan generasi penerus bangsa ini ada di tangan Anda, para redaktur media-media online jejepangan Indonesia saat ini.
Kevin Wilyan
Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
Meluruskan yang Bengkong…
Wuih, malah kayak Negatif nihh..
*kalau saya yang mengucapkan..
Bukan itu maksudku.. Ketika informasi yang menyimpang (bengkong) itu dilanjutkan, maka akan terjadi penyimpangan Informasi. Jika itu berlanjut, maka bisa dipastikan kita mendapat informasi yang salah..
kemudian dari pada itu.. Ketika para Weaboo tidak mengetahui yang salah dan tetap mempercai hal yang mereka yakini, mereka sulit untuk diluruskan..
Maka dari itu, banyak yang diam atau mengucapkan..
Ahh Sudahhlahhh…
dan melakukan pembiaran terhadap kesalahan tersebut..
dalam hal ini, siapa yang paling bertanggung jawab tentang itu?
Weaboo itu, ataukah yang meluruskan itu??
Mohon tanggapannya.
Saya sebenarnya tidak suka bicara mengenai soal "tanggung jawab siapa" karena seluruh pihak punya andil masing-masing. Sebagai pribadi saya sudah tidak lagi menghiraukan drama-drama maupun troll page di internet, dan kalau ada teman yang termakan isu/hype tertentu biasanya saya cukup komentar seperlunya saja. Yang jelas kalau menurut Islam, lebih baik bertindak (sekecil apapun) ketimbang diam sama sekali :p
http://jejepangan.com/