Marketing Gratis

Trio cosplayer yang menjadi karakter novel visual Nekopara juga turut unjuk gigi.

Fan-works dapat menjadi iklan gratis bagi franchise hiburan terkait. Keberadaan fans yang aktif dalam membuat fan-works secara tidak langsung memaparkan franchise tersebut pada orang-orang disekelilingnya. Apalagi jika hal tersebut di posting di media sosial. Hal ini membuat franchise tersebut mendapatkan eksposur dari fan-works para fans yang kemungkinan dapat menggait konsumen prospektif daripadanya.

Tidak hanya itu, fan-works juga dapat menjangkau tempat-tempat yang tadinya tidak dapat disentuh oleh franchise resminya, contohnya karena belum masuknya franchise tersebut secara resmi ke daerah atau negara tertentu (Rich, 2011) (Noda, 2008) (Schendl, 2016) (He, 2014). Yang berarti, keberadaan fan-works juga membantu pengkondisian konsumen untuk membeli ketika barang resminya masuk ke daerah tersebut. Sebagai contoh adalah berkembangnya popularitas banyak anime Jepang di Indonesia, yang bahkan sebelum acara tersebut belum masuk secara resmi.

Fan-works juga baik dalam mempertahankan animo konsumen untuk tetap semangat menonton acara resmi, mengetahui keberadaan merchandise resmi terbaru, dan menjaga kesetiaan terhadap franchise-nya (Tushnet, 1997).

Talent Scouting Untuk Diproduksi Di Masa Depan

© “SHIROBAKO” Production Committee

Komunitas fans yang membuat fan-works dapat dijadikan sarana inkubasi talenta yang prospektif diproduksi di masa depan (Lam, 2010). Proses pembuatan fan-works di sini menjadi sarana belajar bagi para calon kreator konten professional untuk dapat mengasah bakatnya (Jenkins, 2013). Awalnya memang fan-artist akan memulai karya ciptanya dengan mengimitasi atau mencontoh ilustrasi dari karakter-karakter franchise yang ada. Namun seiring berjalanya waktu, banyak dari fan-artist ini akhirnya membuat karya original yang prospektif untuk diproduksi.

Dengan memupuk komunitas fans yang produktif dan menghasilkan karya yang baik, hal ini dapat membuat industri mudah untuk dapat mencari talenta baru. Keuntungan lainya adalah, dengan pengasahan bakat di komunitas fan-artist, ini berarti industri entertainment secara teori tidak perlu mengeluarkan sumber daya untuk melatih talent-talent baru untuk produksi. Bahkan, beberapa fan-artist yang sudah terkenal juga sudah memiliki fan-base yang terbentuk secara solid. Yang berarti, jika diproduksi, mereka juga sudah memiliki marketnya sendiri ketika diproduksi secara resmi dan ini bisa memotong biaya periklanan dalam produksi (Geary-Boehm, 2005).

Salah satu contoh dari fan-artist yang karyanya diproduksi menjadi produk resmi oleh produser di industri hiburan antara lain adalah CLAMP (pencipta Cardcaptor Sakura), Kiyohiko Azuma (pencipta Azumanga Daioh) dan Chica Umino (pencipta Honey and Clover dan San-gatsu no Lion) (Richey, 2016).

Cost-Benefit: Melawan Fans = Melawan Konsumen

Harus diingat bahwa fan-artist tidak lain dan tidak bukan adalah fan dan konsumen dari sang franchise hiburant besar. Yang berarti melawan mereka sama seperti dengan melawan konsumen sendiri. Dalam hal ini para franchise besar juga harus bisa mempertahankan dinamika hubungan baik dengan konsumen.

Jangan sampai para franchise dengan semena-mena melarang partisipasi fans dalam berekspresi untuk hal yang mereka gemari. Ini dikarenakan hal tersebut bisa berakibat fatal bagi penjualan franchise. Sebagai contoh, Warner Brothers sempat mengalami kerugian yang signifikan akibat diboikot oleh para fans Harry Potter (Martens, 2019).

Para franchise harus menyadari bahwa para fans yang membuat fan-works ini adalah orang-orang yang mencintai produk mereka dan bukan bermaksud untuk menjadi pembajak. Sehingga mereka harus dapat menjaga hubungan yang baik antara kepentingan hak cipta mereka dengan relasinya dengan fans.

“Jangan bikin fan-art yang aneh-aneh ya.” (© 2018 Anime Uma Musume Pretty Derby Production Committee)

Akan tetapi, para fans juga harus mengingat bahwa pemegang hak cipta memiliki kuasa penuh akan ciptaan yang ia miliki. Para franchise pemegang hak cipta memiliki hak untuk membiarkan ataupun melarang siapapun untuk menggunakan ciptaannya sesuai dengan kepentingan mereka.

Fan-works yang benar-benar dapat membahayakan suatu franchise tentu tidak akan dibiarkan oleh mereka dan akan diusut secara hukum. Sebagai contoh dari ini adalah fan-works pornografi dari franchise yang dikhususkan untuk anak-anak seperti Pokemon. Tentu pemegang franchise Pokemon akan merasa terancam jika ada fan-works konten dewasa yang dilandasi dari franchise-nya yang memiliki reputasi untuk menargetkan anak-anak sebagai konsumen (He, 2014; Mehra, 2002). Ini dikarenakan fan-works tersebut akan merusak citra reputasi franchise Pokemon yang sudah dibangun sejak lama.

Seperti para franchise yang menjaga hubungan baik dengan para fans, fans juga harus ingat bahwa mereka harus juga mendukung produser dari franchise kesukaanya. Jangan sampai fan-works yang dibuat merugikan kepentingan dari sang pencipta dan produser aslinya. Para fan-artist harus ingat bahwa fan-works buatan mereka ini seharusnya memang benar dilandaskan dari rasa cinta dari suatu franchise hiburan dan merupakan bentuk support untuk sang original artist dan produser agar dapat selalu membuat konten yang baik. Jangan sampai pembuatan fan-works didasari niat jahat untuk merusak reputasi ataupun merugikan pemilik dari hak cipta.

Referensi

  • de Zwart, M. (2017). “Someone is angry on the internet”: Copyright, creativity and control in the context of fan fiction (pp. 132–149). pp. 132–149.
  • Deazley, R. (2004). On the origin of the right to copy : charting the movement of copyright law in eighteenth-century Britain (1695-1775) / Ronan Deazley. Oxford: Hart.
  • Geary-Boehm, K. J. (2005). Cyber chaos: the clash between band fansites and intellectual property holders. Southern Illinois University Law Journal, 30(1), 121.
  • He, T. (2014). What can we learn from Japanese anime industries? The differences between domestic and overseas copyright protection strategies towards fan activities. American Journal of Comparative Law, 62(4), 1009–1042. https://doi.org/10.5131/AJCL.2014.0029
  • Jenkins, H. (2013). Textual Poachers: Television Fans and Participatory Culture. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203114339
  • Khaosaeng, K. (2019). The Conflicts Between Copyright and The Norms of Online Re-Creation: An Empirical Analysis. Asian Journal of Legal Studies, Vol.  2, N(No. 1).
  • Lam, F. Y. (2010). Comic Market: How the World’s Biggest Amateur Comic Fair Shaped Japanese Dōjinshi Culture. Mechademia, 5, 232–248.
  • Martens, M. (2019). The forever fandom of Harry Potter : balancing fan agency and corporate control. Cambridge: Cambridge : Cambridge University Press.
  • Mehra, S. (2002). Copyright and comics in Japan: Does law explain why all the cartoons my kid watches are Japanese imports? Rutgers Law Review, 55(1), 155–204.
  • Noda, N. T. (2008). When Holding on Means Letting Go: Why Fair Use should Extend to Fan-Based Activities. Univ. of Denver Sports & Entertainment Law Journal, Vol. 5.
  • Rich, D. (2011). Global fandom: The circulation of Japanese popular culture in the U.S (J. Desmond, K. Marr, M. Andrejevic, C. Creekmur, & S. Ryang, Eds.). ProQuest Dissertations Publishing.
  • Richey, R. & M. (2016). Japan’s Doujinshi Culture of Creativity Through Theft and The Monster Trying to Destroy It. Tofugu.com. Retrieved from https://www.tofugu.com/japan/doujinshi-definition/
  • Sardjono, A. (2008). Hak Cipta Dalam Desain Grafis. Yellow Dot Publishing.
  • Schendl, E. (2016). Japanese Anime and Manga Copyright Reform. Washington University Global Studies Law Review, Vol. 15(4), 631.
  • Tushnet, R. (1997). Legal fictions: copyright, fan fiction, and a new common law.(Using Law and Identity to Script Cultural Production). Loyola of Los Angeles Entertainment Law Journal, 17(3), 651–686.
  • World Intellectual Property Organization (WIPO). (n.d.). Summary of the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1886). Retrieved April 21, 2022, from wipo.int website: https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/summary_berne.html

Oleh Angga Priancha | Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menggemari dan mendalami topik Kekayaan Intelektual dan Pop Culture

Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.

KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca untuk menulis opini tentang dunia anime dan industri kreatif Indonesia. Opini ditulis minimal 500-1000 kata dalam bahasa Indonesia/Inggris dan kirim ke [email protected]

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses