Shirobako adalah sebuah sensasi baru dalam dunia anime. Anime yang tayang dari Oktober 2014 sampai Maret 2015 menjadi pendobrak di dunia anime karena menawarkan sesuatu yang beda dan belum pernah dicoba dalam serial TV sebelumnya yaitu menceritakan proses dibalik layar sebuah serial anime dan perjuangan para pegawai di industri kreatif ini dalam menyajikan suatu tayangan yang mempunyai daya jual dan daya estetika yang tinggi. Pembawaan dari anime ini begitu ringan dengan gaya slice of life sehingga proses pengerjaan yang ditampilkan dalam anime ini bisa dicerna oleh masyarakat awam yang ingin tahu soal proses produksi suatu anime tanpa terkesan menggurui. Shirobako juga mempunyai kisah sukses sendiri, pada awalnya orang-orang tidak menaruh ekspektasi yang besar terhadap anime ini tetapi setelah anime ini berakhir semua orang langsung merindukan Shirobako dan berharap anime ini mempunyai musim kedua, an another example of unexpected success.
Jika diteliti lebih dalam lagi Shirobako bukan hanya sekedar cerita sekumpulan orang yang mempunyai cita-cita dalam dunia animasi dan bagaimana mereka meraih cita-cita tersebut, Shirobako juga mempunyai keterkaitan khusus dalam beberapa aspek di industri hiburan secara keseluruhan. Kali ini KAORI Nusantara akan mencoba menelaah secara khusus tentang Shirobako dari beberapa aspek yang berkaitan dengan industri hiburan maupun dari aspek humanis yang muncul dalam anime buatan P.A. Works ini.
Shirobako Ditinjau dari Sisi Apresiasi Penonton terhadap Media Visual
oleh Halimun Muhammad (Pengamat Budaya Kontemporer Jepang)
Salah satu hal yang menarik dari Shirobako adalah judulnya yang berarti “kotak putih.” Sebagaimana dapat dipelajari dari anime-nya, yang dimaksud dengan shirobako adalah kotak putih yang berisi produk akhir dalam pembuatan film. Namun kebetulan, dalam analisis sistem dikenal juga istilah kotak putih. Walau pengertiannya berbeda dari yang dimaksud oleh judul Shirobako, tapi konsep kotak putih tersebut tetap relevan untuk dibahas berkaitan dengan anime ini.
Dalam menganalisa sistem, “kotak hitam” (black box) merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk kepada suatu sistem yang proses cara kerja di dalamnya tidak diketahui atau sengaja tidak dihiraukan. Yang diperhatikan hanyalah input yang masuk ke dalam sistem tersebut dan output yang keluar darinya. Misalnya, dalam ilmu Hubungan Internasional, pendekatan ortodoks memperlakukan negara sebagai kotak hitam. Yang diperhatikan dalam analisis hanya output kebijakan luar negeri negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Sementara proses politik pembuatan kebijakan yang berlangsung dalam negeri tidak diperhitungkan dalam analisis. Kebalikan dari model kotak hitam tersebut disebut sebagai “kotak putih” (white box; disebut juga clear box atau open box), di mana suatu sistem cara kerja dan proses yang berlangsung di dalamnya dapat dilihat dan dipelajari.

Dalam menonton anime, tidak jarang penonton memperlakukan anime yang ditontonnya seperti kotak hitam. Penonton hanya melihat dan mengomentari hasil jadi yang nampak di layar. Eksplorasi dan pembahasan terhadap proses produksi dan kejadian-kejadian di balik layar, yang memerlukan lebih banyak usaha untuk mengumpulkan informasi tambahan, kurang banyak dilakukan. Orang-orang yang menikmati anime sampai mempelajari proses produksi di balik layar seperti itu yang acap kali dianggap sebagai otaku.
Pada era 1990-an, salah satu pendiri studio Gainax yang dikenal sebagai “Otaking,” Toshio Okada, merumuskan teori bahwa otaku adalah orang-orang yang memiliki kemampuan apresiasi yang mendalam terhadap media visual dan berbagai karya kreatif lainnya. Okada menyebut kemampuan tersebut sebagai iki no me (mata iki), takumi no me (mata takumi), dan tsū no me (mata tsū). Mata iki bisa dikatakan merupakan apresiasi estetis terhadap keindahan suatu karya. Mata takumi dapat diartikan sebagai analisa aspek teknis dari suatu karya dan keahlian pencipta karya tersebut. Sementara mata tsū dapat diartikan sebagai investigasi terhadap aspek sosial dari pembuatan suatu karya di balik layar, dari mengenali siapa saja yang terlibat sampai mengetahui drama yang terjadi dalam proses pembuatan suatu karya.

Dengan menceritakan kisah mengenai pembuatan anime, Shirobako bisa dikatakan memperlakukan proses pembuatan anime sebagai kotak putih. Kisah Shirobako memang fiksi dan didramatisir, namun tetap dapat memberikan sebentuk gambaran bagaimana proses pembuatan anime di balik layar berlangsung di dunia nyata. Kemudian, diniatkan atau tidak, Shirobako telah mendorong penontonnya untuk melihat anime juga dengan mata takumi dan terutama mata tsū. Agar penonton anime lebih mengenal orang-orang yang terlibat dalam pembuatan anime, peran mereka, interaksi di antara mereka, kendala-kendala yang mereka alami dan bagaimana mereka berupaya mengatasinya, apa yang mereka rasakan selama proses pembuatan hingga selesainya, dan lain sebagainya.
Satu pelajaran penting dari Shirobako dilihat dari sisi tersebut adalah, anime bukanlah sesuatu yang dibuat oleh mesin secara otomatis, tapi dibuat oleh manusia yang berpikir dan punya perasaan. Mereka memiliki berbagai motivasi untuk dalam pembuatan anime; apakah itu karena mereka ingin menyampaikan sesuatu melalui anime, karena mereka senang membuatnya, karena ingin mencari jati diri, untuk mencari nafkah, atau alasan-alasan lainnya. Mereka juga harus melalui berbagai kondisi suka dan duka dalam membuat anime tersebut. Hal-hal itulah yang membuat anime menjadi hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan bukan sekedar sekumpulan gambar. Memahami hal tersebut dapat meningkatkan apresiasi terhadap suatu anime.