
Mengapa anak SMA (khususnya para siswi) menjadi tema eksploitasi yang sangat sentral dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang, khususnya dalam anime dan manga? Di Jepang, joshi kosei (disingkat JK yang memiliki arti siswi SMA) adalah komoditas yang sangat dihargai.
Kolom opini yang ditulis oleh Hifumi Okunuki menjelaskan bagaimana masyarakat Jepang begitu mengkomodifikasikan siswi SMA, bahkan mengekspolitasinya.
Eksploitasi siswi SMA dimulai pada tahun 1990an ketika para siswi mulai menjual seragam, celana olahraga, dan pakaian mandi bekas pakai mereka ke toko buru-sera. Buru-sera adalah singkatan dari buruma (bentuk serapan dari kata berbahasa Inggris bloomer) dan sera (dari kata serafuku, pakaian seragam standar siswi sekolah di Jepang.)
Kemudian muncullah bisnis enjo kousai (kencan berbayar) di mana siswi SMA berkencan dengan pria paruh baya, biasanya dengan imbalan dan transaksi tertentu. Fenomena ini begitu membudaya sampai-sampai pemerintah Amerika Serikat memasukkan praktik ini sebagai bentuk lain dari sexual trafficking (perdagangan seks), yang meski dalam beberapa laporan lain hal ini disamakan dengan mengunjungi maid cafe.
Artikel tersebut membahas berbagai praktik bisnis yang melibatkan perempuan di bawah umur sebagai tindakan yang ilegal. Dalam berbagai praktik bisnis yang digerebek polisi, diterangkan berbagai modus operandi yang dimanfaatkan pemilik usaha untuk memanfaatkan sisi atraktif dari siswi SMA Jepang.
Misalnya pada bulan Mei lalu, kepolisian Tokyo menggerebek praktik JK berkedok melipat origami. Dalam praktik bisnis ini, pelanggan dikenakan biaya empat ribu yen (sekitar 440 ribu rupiah) untuk melihat pantsu (celana dalam) siswi SMA yang duduk dan melipat origami dari balik cermin. Dengan biaya tambahan, pelanggan bahkan bisa memegang kaki siswi tersebut.
Bisnis lain di Osaka yang digerebek tahun lalu adalah bisnis panti pijat JK. Modus operandinya adalah mempekerjakan siswi yang memakai seragam sekolah dan memijat pelanggan yang hanya mengenakan celana dalamnya saja.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi di Jepang? Okunuki menganggap bahwa hal ini terjadi karena adanya permintaan yang besar dari pelanggan. Masyarakat di sekitar seorang JK menganggap bahwa sebagai seorang JK, maka dirinya punya nilai yang besar dan patut dimanfaatkan.
Hal lain yang menyedihkan menurutnya adalah pemikiran dalam masyarakat di mana praktik-praktik bisnis seperti itu seolah mendapat pembenaran dan tertanam dalam benak seorang JK. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat memengaruhi seorang JK yang berada dalam usia remaja dan dalam masa pencarian akan identitas dirinya, sampai ia tiba pada satu kesimpulan, “Kalau tidak berhubungan seks, mengapa tidak?”
Meski Okunuki menulis artikel eksploitasi JK ini dengan bahasa dan sudut pandang feminis, namun keprihatinan yang ia suarakan terkait eksploitasi JK (secara seksual) tetap harus diperhatikan dan diselesaikan sebagai bagian kecil dari perlakuan tidak adil yang diterima perempuan dalam masyarakat Jepang.
KAORI Newsline