Pelecehan Seksual di Sekolah Jepang: Saat Korban Justru Dijauhi

8
joshikosei-illustration
http://erogazou56.blog.fc2.com/blog-entry-46.html?sp

Kasus pelecehan seksual di sekolah Jepang adalah fenomena gunung es. Korban yang mencoba melapor justru diintimidasi tidak hanya oleh sang guru, namun juga oleh teman sebayanya.

Situs Asahi melaporkan pengalaman seorang perempuan yang pernah menjadi korban pelecehan seksual di sebuah SMA negeri Tokyo. Korban yang tidak disebutkan namanya tersebut melaporkan penderitaan emosional yang ia alami selama menjadi korban pelecehan, tidak hanya selama bersekolah namun setelah lulus.

Korban disentuh bahunya, dielus kepalanya, dan pada tahap ekstrem, memegang isi di balik seragamnya, sampai menjelang ujian masuk universitas, ia memberontak. Alih-alih berhenti, korban justru diteror oleh sang pelaku.

“Masa depanmu akan terhenti kalau aku melepasmu,” ucap sang pelaku.

Segera setelahnya, korban berhenti pergi ke sekolah, tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, menderita diare, dan kemudian divonis menderita trauma PTSD.

Celakanya, sang korban justru dijauhi oleh teman-temannya karena ia menuduh sang guru.

“Saya bingung mengapa saya malah disalahkan karena memprotes perilakunya,” ucap sang korban yang kini sudah berumur 20-an dan bekerja di sebuah perusahaan.

Setahun setelah lulus, ia masuk ke sebuah universitas yang jauh dari Tokyo di mana tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Kemudian ia menggugat sang guru dengan dukungan orang tuanya.

Sang guru menolak tuduhan tersebut di persidangan, menyatakan bahwa ia hanya menyentuh kepalanya saja dan menganggap bahwa ia sekadar melakukan “sentuhan fisik” agar terlihat “ramah” di hadapannya.

Pengadilan memutuskan bahwa sang guru telah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan dan membayar ganti rugi sebesar ratusan ribu yen (puluhan juta rupiah) kepada sang korban.

“Tindakan semacam itu mungkin akan terulang ;agi kalau tidak ada yang melawannya,” ucapnya. “Rasanya sakit kehilangan teman saat berperkara di pengadilan, tapi menggugatnya memberiku kepercayaan diri.”

Menurut Kementerian Pendidikan, pada tahun fiskal 2013 tercatat ada 205 guru di SD, SMP, SMA, dan SLB negeri yang diproses karena kesalahan seperti pelecehan seksual, memotret murid secara diam-diam, dan tindakan lainnya. Dari 205 guru tersebut, sebanyak 117 di antaranya diberhentikan.

Dari 205 guru, 56 di antaranya dituduh melecehkan murid, 37 mengintip murid secara diam-diam, 30 berhubungan seksual dengan murid, 23 mencium murid, dan 19 mengirim gambar sensual kepada murid. Separuhnya lagi justru dilakukan kepada rekan sejawat di sekolah atau justru orang dewasa lain.

Tahun 2013 menandai kali pertama angka pelaku pelecehan seksual melebihi 200 orang sejak Kementerian mulai merekam data pada 1988. Pada 1988, hanya tercatat 17 insiden saja.

Namun pakar pelecehan seksual guru menyatakan angka 205 tersebut mungkin tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.

“Jumlah korban bisa saja dua kali lipatnya kalau satu guru melecehkan dua orang,” ungkap Akiko Kamei, pemimpin lembaga swadaya masyarakat yang menangani kasus pelecehan seksual di sekolah yang berbasis di Moriguchi, prefektur Osaka.

Pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap pelaku pelecehan seksual setelah seorang siswi SMP kelas 1 meninggal di Osaka tahun 2001. Dalam kasus tersebut, seorang guru SMP negeri di prefektur Hyogi menyeret sang siswi setelah mengikatnya.

Kamei, mantan guru yang kini berusia 67 tahun menyatakan bahwa setiap tahun ada 100 kasus yang dilaporkan ke LSMnya dari mereka yang membutuhkan bantuan, kebanyakan ibu dari sang korban. Namun banyak yang tidak melaporkannya ke pejabat sekolah.

Menurut LSM yang didirikan pada 1998 oleh pengajar dan psikolog anak tersebut, beberapa guru bermasalah tidak dikenakan sanksi dan malah dimutasi ke sekolah lain di mana mereka mengulangi hal yang sama.

Menurut Kamei, pelecehan seksual di sekolah merajalela karena banyak guru melegitimasi sentuhan fisik mereka dengan alasan “memberikan panduan.” Banyak kasus pelecehan terjadi pada saat kegiatan ekstrakurikuler seperti latihan teater dan paduan suara.

Bagi para korban dan orang tuanya, Kamei menyarankan agar mereka terlebih dahulu melaporkan kasus tersebut kepada kepala sekolah. Bila tidak, mereka wajib meneruskannya ke dinas pendidikan setempat.

Sejumlah pemerintah daerah sudah mulai mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual di sekolah. Seperti pemerintah prefektur Kanagawa yang pada tahun 2006 mulai menyurvei murid di sekolah negeri setiap tiga tahun. Pada tahun 2013, pemerintah prefektur mulai melakukan survei tahunan dan pada 2014, hanya ada 19 komplain kepada guru, menurun dari 36 pada tahun sebelumnya.

Dalam kasus lain, tidak hanya murid sekolah Jepang yang enggan melaporkan pelecehan seksual yang ia alami; orang asing yang tinggal di Jepang pun menyerah melaporkan pelecehan seksual yang ia alami karena lemahnya penegakan hukum.

KAORI Newsline

8 KOMENTAR

  1. Ini memang keinginan dari masyarakatnya sendiri sih. Jadi, gak heran kayak gini aja lambat banget nanganinnya. Apalagi guru di Jepang dianggap paling tinggi seolah mereka selalu benar. Padahal sebenernya mereka itu bejat moralnya. Susah kalo belum membenahi diri dari masyarakatnya sendiri.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses