Berbagi Ekspresi Lintas Negara Melalui Karya Animasi dalam HelloMotion Gathering 3: Beyond Anime

0

Pada tanggal 26 November hingga 1 Desember yang lalu, telah diadakan acara Japanese Film Festival di CGV blitz Grand Indonesia, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Badan Kebudayaan Pemerintah Jepang bersama Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Japan Foundation Jakarta, dan Japan Image Council ini menghadirkan sejumlah film Jepang terkini, termasuk di antaranya empat film animasi layar lebar dan dua kumpulan animasi pendek. Sebagai bagian dari rangkaian acara, di hari Minggu (29 November) juga diadakan sebuah forum dengan topik “Beyond Anime: Membedah Animasi Jepang di Luar Pakem” bersama dengan HelloMotion Academy.

hellomotion

Dalam forum Beyond Anime, dihadirkan tiga narasumber dari Jepang dan dua narasumber dari Indonesia. Narasumber yang berasal dari Jepang adalah animator Ayaka Nakata dan Mirai Mizue; serta produser dari Robot Animation Production, Emi Matsumoto. Narasumber yang berasal dari Indonesia adalah Wahyu Aditya, pendiri HelloMotion Academy; serta Firman Widyasmara, pendiri studio animasi Lanting. Sebagai moderator adalah Aji Yudistira, pengajar di Program Studi Sastra Jepang Universitas Al-Azhar Indonesia.

DSC00482
Dari kiri ke kanan: Aji Yudistira, Wahyu Aditya, Firman Widyasmara, Mirai Mizue, Ayaka Nakata, dan Emi Matsumoto

Acara ini diawali terlebih dahulu dengan pemutaran animasi-animasi pendek yang disutradarai atau diproduseri oleh para narasumber. Animasi-animasi yang ditayangkan adalah Boundary Line (Kyōkai Sen) besutan Nakata, Poker yang dibesut oleh Mizue, Golden Time besutan Takuya Inaba yang diproduseri oleh Matsumoto, serta Balloons karya Firman. Para kreator kemudian membahas dan berbagi cerita mengenai karya masing-masing, serta menjawab pertanyaan dari peserta forum.

Nakata menjelaskan bahwa Boundary Line ia buat untuk sebuah pertunjukan drama berjudul Kanshosha. Animasi tersebut dibuat dengan tiga syarat sederhana, yaitu tokohnya perempuan, dibuat tanpa dialog (hanya ada ilustrasi musik), dan bertema “dinding”. Dinding tersebut mewakili konsep “batasan”, dan bagaimana sang tokoh berinteraksi dengan dinding di dalam animasi tersebut mencerminkan bagaimana relasi antara seseorang dengan batasan-batasan yang selalu berubah dan kadang diciptakan oleh diri sendiri.

Mizue menceritakan bahwa Poker yang bergaya abstrak adalah sebuah music video untuk peringatan 10 tahun debut musisi Shūgo Tokumaru. Karya ini juga memperingati 100 tahun kelahiran animator Norman McLaren, yang banyak bereksperimen dalam menggabungkan animasi dengan musik. Karena itu banyak motif-motif gambar khas McLaren yang digunakan dalam animasi karya Mizue ini. Mizue juga bercerita bahwa Poker dikerjakannya bersama seorang rekan animator yang juga spesialis animasi abstrak.

https://www.youtube.com/watch?v=-JGevfVtXwQ

Matsumoto menjelaskan bahwa sutradara Inaba terinspirasi membuat Golden Time dari kandang ayam yang dulu dibuat oleh ayahnya dari televisi bekas. Golden Time juga dikembangkan oleh Robot Productions sebagai sebuah “media mix”, karena selain animasi ada versi bukunya juga. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta forum yang menanyakan kepada Matsumoto apa pekerjaan produser dalam pembuatan animasi. Setelah berkomentar bahwa pertanyaan itu sering ditanyakan kepada dirinya, Matsumoto kemudian menjawab bahwa pekerjaannya termasuk mengatur biaya dalam suatu proyek pembuatan animasi, mengatur jadwal pembuatannya, dan meminta maaf kalau ada kesalahan. Kemudian Wahyu juga menambahkan bahwa memiliki produser seperti Matsumoto adalah hal yang penting dalam pembuatan animasi, karena produserlah yang tugasnya memastikan agar suatu karya animasi selesai dikerjakan.

Firman menceritakan bahwa Balloons dibuatnya saat sedang mempelajari animasi stop motion di Osaka Electro-Communication University di Jepang. Pengalaman belajar tersebut merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Firman karena ia harus membuat materi-materinya sendiri. Kini, studio Lanting yang didirikannya berfokus membuat animasi-animasi pendek untuk disertakan dalam berbagai festival film internasional, bukan sebagai karya komersil.

Wahyu sendiri memberikan presentasi mengenai pengaruh anime pada animator Indonesia. Pria yang akrab dipanggil Wadit ini menyayangkan sering munculnya komentar miring terhadap animator Indonesia yang menciptakan animasi dengan menggunakan gambar bergaya anime. Ia berpandangan, mencap para animator tersebut “kejepang-jepangan” atau tidak mencerminkan jati diri Indonesia justru merupakan hal yang tidak produktif, karena dapat membuat mereka tidak semangat lagi untuk berkarya.

Bagi Wadit, inspirasi dari gaya anime tersebut tidak perlu menjadi masalah. Ia mengingatkan bahwa Osamu Tezuka yang gayanya banyak mempengaruhi gaya anime masa kini, sebenarnya banyak terinspirasi juga oleh gaya animasi Disney seperti dari film Bambi1). Karena itulah Wadit menyemangati para kreator muda agar “lanjutlah menggambar dengan gaya apapun yang kalian suka!”

Di samping itu, karya-karya animasi pendek Jepang yang dihadirkan dalam program Japanese Film Festival ini nampak sangat beragam dan tidak digambar dengan gaya yang dianggap sebagai “gaya anime”. Namun berkreasi dengan gaya yang di luar pakem gaya “khas Jepang” itu tidak menjadi masalah bagi para animator Jepang tersebut. Karena itu, mengapa kita perlu berdebat mengenai gaya animasi Indonesia seharusnya seperti apa dan apakah animator Indonesia harus menggunakan gaya Indonesia?

Dengan demikian, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik sebagai makna dari tajuk “Beyond Anime” dari forum ini. Maksud yang pertama, kita dapat melihat bahwa animasi di Jepang tidak hanya bergaya anime saja, tapi ada gaya-gaya lain yang juga berkembang di luar gaya itu, sesuai dengan hal yang ingin diekspresikan oleh masing-masing kreator. Maksud yang kedua, pembahasan mengenai perkembangan animasi di Indonesia perlu keluar dari komentar mengenai penggunaan gaya anime. Yang lebih penting untuk diperhatikan adalah, apakah kreator lokal dapat menghasilkan karya yang bagus dan menarik, apapun gaya yang dirasa nyaman bagi sang kreator untuk berekspresi.

Catatan Penulis

1) Peneliti budaya manga, Eiji Ōtsuka, bahkan pernah berkomentar dalam sebuah konferensi di Concordia University bahwa tidak masalah kalau Disney mencuri dari Tezuka melalui The Lion King, karena toh Tezuka sendiri mencuri dari Disney. Hal ini diceritakan oleh Ian Condry dalam perbincangan bersama Henry Jenkins yang dapat dibaca di tautan berikut.

KAORI Newsline | Teks dan foto oleh Halimun Muhammad

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses