KRL yang Bergerak Mundur
Seperti diketahui bersama, masalah KRL hari ini cukup banyak. Selain antrian Manggarai yang akan terus berlangsung sampai 2019, masalah lain yang sebenarnya sudah diketahui namun tak kunjung diselesaikan, sampai inovasi-inovasi yang bersifat kontraproduktif.
Salah satu proyek terbesar yang berhasil dilakukan adalah pembangunan hall baru stasiun Bogor. “Hall” baru ini pernah dibangun pada saat angkutan Lebaran 2016 dalam bentuk tenda-tenda yang khusus melayani penumpang dengan kartu THB. Terinspirasi dari hal tersebut, KCJ membangun hall baru dengan belasan mesin penjual otomatis di dalamnya.
Tetapi masalah baru muncul karena pembangunan mesin penjual otomatis tidak diikuti dengan sosialisasi memadai kepada penggunanya. Masih sering ditemukan calon penumpang yang terpana di depan mesin otomatis. Loket manual hanya diperuntukkan bagi penumpang dengan kartu multi trip. Harus diakui di sini bahwa keputusan Transjakarta untuk “memaksa” orang menggunakan kartu prabayar terlihat tidak pro-rakyat, namun menghindarkan TJ dari ruwetnya pembangunan dan lelahnya mengurus hal-hal seperti ini. Ini terlihat saat Aksi 4 November lalu, di mana stasiun BRT Harmoni tidak kewalahan menghadapi penumpang yang menggunakan tiket harian namun cukup melayani mereka yang hendak mengisi ulang kartunya.
Namun pembangunan hall Bogor ini menjadi contoh nyata pembangunan yang tidak menyelesaikan masalah utama: akses ke stasiun Bogor yang sangat buruk. Dengan jumlah penumpang ratusan ribu orang per hari, akses ke dalam area stasiun harus melalui gang yang menyedihkan dan naik-turun tangga yang sangat menguras energi. Operator berkilah bahwa hal serupa terjadi pula di Jepang, tetapi akses pedesterian di Jepang jauh lebih baik dari stasiun Bogor. Menjadikan stasiun Bogor dan membandingkannya dengan stasiun-stasiun di Jepang rasanya tidak bijak.
Pembangunan infrastruktur lain yang tidak dipikirkan dengan cermat adalah tangga dan jembatan penyeberangan baru stasiun Tanah Abang. Tangga dibangun dengan jalan yang dipersempit dan sangat mengganggu alir penumpang. Pembangunan seolah hanya memikirkan Jawaban operator, akan disiapkan eskalator untuk mempermudah aksesnya. Tetapi kecerobohan tersebut rentan menyebabkan gesekan sosial baru yang akan timbul nantinya dan dirasakan oleh penumpang sendiri: sikut-sikutan penumpang yang menggunakan tangga karena kapasitasnya yang literally menurun 50% dibandingkan jika tangga dibangun tanpa harus berbelok.
Lalu penerapan keandalan sarana lain yang masih sangat lemah. Memang sejak 2013 tingkat gangguan sarana (mogok) telah sangat jarang didengar, tetapi the devil is in details. Papan indikator kereta sebenarnya sudah diusahakan sejak lima tahun yang lalu dan pengerjaannya oleh KCJ dimulai di seri 05 (memang ada pula di seri 103, tapi bukan inisiatif operator lebih ke inisiatif personal), namun tidak diterapkan dengan konsisten. Hasilnya, kacau. Kini LED papan indikator sudah mulai diterapkan, namun celakanya masih mudah dijumpai kereta yang papannya dibiarkan begitu saja, sehingga menghasilkan kereta jurusan Bogor dengan LED tujuan Duri. Kasus serupa juga terjadi di tempat lain: eskalator stasiun yang masih mati pada waktu-waktu tertentu. Penerapan di lapangan menjadi setannya.
Kemudian inovasi lain yang tidak bisa dicerna dengan akal sehat adalah penutupan pintu di kereta 6 pintu dan mengubahnya menjadi tempat duduk. Di Jepang, kereta 6 pintu dihadirkan karena ada masalah dengan overcrowding alias kereta yang terlalu penuh, dan mulai ada pertama di jalur Saikyou. Sampai hari ini jalur Saikyou masih penuh dan masih ada petugas pendorong pintu, namun kereta 6 pintu sudah dihapuskan karena menurut pengamatan operator, kereta tidak lagi sepenuh dahulu selain karena faktor pengoperasian platform screen door. Apa pertimbangan operator sehingga alih-alih mengoperasikan kereta berdiri dengan menutup tempat duduknya saat jam sibuk (dan melakukan penindakan tegas terhadap lesehaners), namun justru mengakomodasi penumpang dengan tempat duduk dan mengorbankan kapasitas angkut?
Selain antrian Manggarai, PR masih sangat banyak bagi operator KRL yang bisa ditingkatkan menjadi lebih baik. Peningkatan performa sesungguhnya hanya bisa dilakukan dengan perbaikan hal-hal yang memang membutuhkan perbaikan. Tetapi semangat inovasi akan menjadi sekadar pepatah bila tidak ditanggapi dengan kesigapan menangani masalah.
Bukankah sahabat yang sesungguhnya akan menegur sahabatnya yang melakukan hal-hal yang kurang baik, sehingga sang sahabat akan berubah ke arah yang lebih baik?
Oleh Kevin W | Penulis telah menggunakan transportasi KRL sejak 2007 sejak zaman masih sering tidak membeli karcis, menggunakan abunemen KRL ekonomi AC, sampai membeli kartu multi trip di hari pertamanya dijual. Pengguna Transjakarta sejak bus Huanghai pertama beroperasi di koridor 5.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.