Sebelum saya sempat menonton My Neighbor Totoro di bioskop, saya sempat melihat sebuah kiriman di linimasa media sosial saya tentang seorang pengguna media sosial yang marah karena salah satu jaringan bioskop menayangkan Totoro yang dapat dikategorikan sebagai film “lawas.” Pengguna media sosial tersebut marah karena dirinya disajikan sebuah film lama dan mengatakan bahwa jaringan bioskop tersebut menghalalkan segala cara untuk menarik pengunjung. Kiriman marah-marah tersebut sempat ramai diperbincangkan oleh netizen.

Saya sendiri belum pernah menonton film Ghibli yang satu ini, terlebih lagi menontonnya di sebuah bioskop. Saya akhirnya bisa menontonnya pada hari Minggu silam (7 Mei 2017) di bioskop lokal di daerah saya. Setelah menonton film tersebut, saya berkesimpulan: Y’all nigga needs some vacation yo!” My Neighbor Totoro adalah sebuah film yang menarik nan penuh imajinasi.
Cerita dimulai saat kakak beradik Satsuki dan Mei Kasukabe baru saja pindah ke daerah pedesaan bersama ayahnya yang seorang arkeolog. Di sebelah rumahnya, ada sebuah pohon besar yang keramat. Pohon besar tersebut ternyata adalah tempat tinggal dewa gunung setempat, Totoro. Konon menurut kepercayaan setempat, orang yang dapat bertemu Totoro diberkati oleh alam.
Sebuah film biasanya memiliki sebuah konflik besar yang menjadi sorotan utama dari film tersebut. Namun di My Neighbor Totoro, konflik besar yang dicari terasa tidak ada. Tidak ada konflik yang wah seperti Asuna yang tidak kembali ke dunia nyata di Sword Art Online, atau Chihiro di Spirited Away yang harus bekerja keras agar Yubaba mau mengembalikan orang tuanya yang telah diubah menjadi babi kembali menjadi manusia lagi.
Namun tidak berarti My Neighbor Totoro itu tidak ada konfliknya. Konflik yang ada muncul dalam bentuk konflik-konflik yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Mei ngambek karena ayahnya harus ke Tokyo untuk urusan universitas dan akhirnya ikut ke sekolah Satsuki. Atau saat mereka sedikit sedih karena biji pohon ek yang mereka tanam tidak kunjung bertunas. Bahkan klimaks yang muncul kemudian tidak menjelaskan kenapa film ini berjudul “My Neighbor Totoro“.

Satu-satunya alasan yang saya temui kenapa film ini berjudul “My Neighbor Totoro” adalah karena rumah Totoro memang di sebelah rumah Mei dan Satsuki. Dan Totoro sering kali bertemu dengan mereka untuk melakukan sebuah petualangan kecil-kecilan.
Menikmati hal-hal kecil
Menikmati Totoro tidaklah seperti menonton sebuah anime pada umumnya. Membandingkan Totoro dengan film anime generik adalah layaknya es puter yang dijual oleh abang-abang gerobak keliling dengan es krim yang dijual oleh kafe ternama. Sekilas, es puter tidak memiliki sesuatu yang ‘wah’ bila dibandingkan dengan es krim ala kafe. Beberapa orang dengan tingkat gengsi tinggi pasti mengatakan bahwa “es krim lebih superior daripada es puter”. Namun, rasa bicara. Walaupun tampilannya biasa saja, es puter tidak kalah enak dengan es krim.
Menikmati Totoro adalah menikmati kesederhanaan. Anda tidak perlu mempunyai ekspektasi tinggi untuk menonton Totoro. Alasan anda untuk menonton Totoro hanyalah anda ingin sesuatu yang sederhana, ringan dan dapat dinikmati oleh semua layaknya semangkuk es puter. Totoro bukanlah sesuatu yang mewajibkan penontonnya memiliki pengetahuan tertentu. Anda hanya butuh imajinasi dan membuang jauh-jauh gengsi anda terhadap film lawas. Ingat, sebuah film yang baik memiliki sifat timeless, tak lekang oleh waktu. Totoro adalah salah satunya.
Alasan kenapa anda membutuhkan imajinasi untuk menontonnya adalah film ini tidak memiliki gimmick tertentu. Tidak perlu logika yang kuat atau analisis yang berlebihan dalam menonton Totoro. Semuanya bisa terjadi karena Mei dan Satsuki bertemu Totoro dan mereka dapat melakukan petualangan ajaib bersamanya. Setting dunia Totoro adalah pedesaan zaman Showa dimana anak-anak bermain riang di sekolah, hutan atau persawahan dan tidak terkurung dalam sebuah layar persegi panjang dengan garis tengah 3-5 inci.

Kenapa anda harus buang jauh-jauh gengsi anda adalah karena film ini tidak terlihat menarik di mata para penonton generasi pasca-2012. Gengsi “es krim lebih superior daripada es puter” saya rasa melekat bagi calon penonton yang mengurungkan niatnya. Saat saya menonton film ini di bioskop, rata-rata penontonnya adalah muda-mudi 22 tahun ke atas dan anak-anak yang dibawa oleh ayah atau ibunya untuk menonton film satu ini. Saya asumsikan bahwa kesan pertama yang terlintas adalah antik, dan yang kedua “ih pasti gambarnya pas-pasan”. Walaupun My Neighbor Totoro rilis pada tahun 1988, menurut saya film ini tergolong superior bila dibandingkan dengan beberapa rilisan terbaru.
Ada juga yang lebih memilih menonton versi dari “kumpulbagi/MEGA”/situs berbagi lainnya karena argumen “alah, di bioskop sama di komputer sama toh.” Saya rasa tidak ada salahnya menonton di bioskop, karena menonton di bioskop memberikan perasaan yang lebih menyenangkan daripada menontonnya di layar 14 inci dengan speaker seadanya. Bagi saya, uang Rp 40,000 yang saya keluarkan benar-benar sepadan dengan pengalamannya.
My Neighbor Totoro juga memberikan suatu pesan layaknya film Ghibli pada umumnya: back to nature. Selain menonjolkan kenapa imajinasi itu penting untuk tumbuh kembang seorang anak, film ini juga memberi pesan “bila kamu menjaga alam, alam akan menjagamu.” Saran saya, setelah anda menonton My Neighbor Totoro, tinggalkan layar ajaib anda di rumah dan pergilah tamasya ke alam. Renungkan betapa ajaibnya alam dan bebaskan anda dari kurungan layar ajaib 3-5 inci yang terus-terusan mendikte kehidupan modern. Tanpa peralatan elektronik pun anak-anak dapat hidup bahagia tanpa beban yang berlebihan.

Sebagai penutup, tontonlah My Neighbor Totoro bila anda bisa menontonnya dan sering-seringlah lakukan tamasya ke alam untuk membebaskan diri anda dari stres kehidupan. Buanglah gengsi anda karena beberapa hal dalam kehidupan hanya bisa dinikmati dengan kerendahan hati, seperti film satu ini. Film sederhana yang memberikan pesan-pesan baik tanpa harus mengandalkan sesuatu yang wah.
KAORI Newsline | Oleh Naufalbepe