Cerpen: Harapan karya EnRyuu
“Dok…”
Sebuah suara samar-samar keluar dari sebuah kepala yang berbentuk seperti kaleng berlubang di permukaannya, seperti topeng tengkorak yang lubangnya diambil dan ditempelkan di kaleng itu. Kaleng itu terdiam di sebuah tempat tidur seperti yang digunakan oleh rumah sakit ketika sang pasien harus menjalani operasi. Kabel-kabel menempel di atasnya.Dan tersambung di bawahnya, sebuah kerangka yang mirip dengan kerangka manusia yang utuh.Hanya saja, kerangka itu berwarna hitam gelap, dan semuanya terbuat dari logam.Di samping kiri dan kanannya terdapat berbagai layar komputer yang menunjukkan berbagai informasi mengenai keadaannya.Ya, robot itu terbaring lemah di atas tempat tidur dan sedang diperbaiki oleh penciptanya yang sedang duduk di depannya.Sebuah komputer besar menjadi sekat antara mereka berdua.
“Ya, ada apa, nomor Sembilan?”
Lelaki yang terlihat seperti seorang pria paruh baya dengan jas lab dan rambut yang memutih menjawab panggilan robot yang terdengar lirih itu. Wajahnya penuh dengan guratan-guratan keriput yang menunjukkan sudah betapa banyak wajahnya berkerut sebagai sebuah reaksi terhadap pengetahuannya akan berbagai hal yang kacau di dunia yang sudah imoral di matanya. Tangannya berhenti mengetik, dan mulai bersiap mendengarkan apapun yang robot itu akan katakan.
“Aku mulai berpikir, untuk apa kau repot-repot melakukan ini… melakukan penghancuran sesama manusia…”
Kaleng itu berkata dengan agak terbata-bata, terganggu oleh bunyi statik seperti sebuah radio rusak di tengah kalimat yang ia ucapkan. Setelah ia mempelajari semua program yang ada di dalam komputer milik pembuatnya, menjelajah internet, dan melihat kenyataan bahwa tuannya menciptakan berbagai mesin perang untuk menghancurkan semua manusia, ia mulai mempertanyakan mengapa dokter itu harus melakukan hal seperti ini. “Bukankah dulu kau ingin kedamaian dimana para manusia bisa hidup dengan berdampingan?” Lanjutnya.
Dokter itu hanya menghela nafas.Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah hal yang dia benci.Karena pertanyaan seperti itu mengguncang hatinya yang sudah berserakan dan hancur.
Ya, dokter itu dulu adalah seseorang yang bergerak dalam ilmu mekanika, menciptakan berbagai inovasi untuk kehidupan manusia di dunia.Dia menciptakan robot-robot yang menjadi pembantu dan teman setia manusia. Dia berpikir, manusia akan hidup damai dengan dibantu teknologi canggih. Tapi, ternyata semua anggapannya salah.Semakin lama, dunia semakin kacau karena dia. Teknologi yang dulu dia ciptakan ternyata disalahgunakan oleh manusia. Perang meletus di berbagai belahan dunia, kesenjangan sosial makin terlihat, penjajahan dan perbudakan dimulai kembali, kolonisasi makin marak, dan pada akhirnya, dunia menampakkan kebusukan yang tersembunyi dibalik senyum-senyum ramah dari para manusia yang memuji teknologi-teknologi ciptaannya.
Dia sedih, dia frustasi, dia marah. Semuanya terlihat mengkhianati dirinya, tak terkecuali Tuhan yang dia percayai.Istri tercinta dan anak tersayang harus mati karena ulah manusia-manusia busuk yang berperang demi puncak tangga dominasi. Dia berada di tengah pusaran kekacauan, dipaksa untuk memilih hitam atau putih diantara abu-abu yang ada di depannya. Kenapa Tuhan harus menggariskan takdir yang seperti ini? Kenapa setiap campur tangannya malah membawa dunia semakin dekat satu langkah menuju kehancuran? Kenapa semua harapannya dimusnahkan seperti ini? Apa salah dan dosanya hingga dia harus diperlakukan seperti ini oleh Tuhan? Apakah karena dia tahu terlalu banyak? Apakah karena dia mencoba bermain sebagai Tuhan lewat semua inovasinya? Atau karena dia adalah seorang yang bermimpi terlalu tinggi sehingga melewati batasnya?
Padahal yang dia inginkan hanyalah kehidupan manusia yang lebih baik.
Hal inilah yang membuat dirinya benci sebagai manusia. Dia benci terhadap binatang-binatang berakal yang serakah dan punya nafsu yang beringas. Dia benci terhadap Tuhan yang menciptakan mereka. Dia benci semuanya.
“Nomor Sembilan… itu adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, tapi pertanyaan yang bagus…”
Akhirnya dokter itu berbicara dengan nada yang datar dan sendu, sama seperti sendunya akan kehidupan di dunia ini.
“Aku sudah muak dengan semua ini.Sudah dua ratus tahun sejak aku hidup di dunia ini, dan sudah banyak yang kulihat. Kukira kehidupan manusia akan lebih baik berkat bantuanku. Tapi apa? Apa yang mereka berikan padaku? Kehancuran, kemerosotan moral, kebusukan, tidak ada satu pun yang membuatku bahagia! TIDAK ADA, NOMOR SEMBILAN!!”
Setelah itu, hening. Entah apakah robot itu mengerti perasaannya sebagai seorang yang merasa dikhianati oleh dunia yang kejam. Setelah diam sekitar lima menit, robot itu menegadahkan kepalanya.
“Jadi menurutmu manusia sudah tidak pantas lagi hidup di muka bumi ini?Bukankah masih ada manusia yang baik yang mempertahankan kebaikan di muka bumi ini?Bukankah masih ada harapan untuk dunia ini?”
Lelaki itu terdiam.Dia memikirkan kata dari ciptaannya baik-baik. Ya, mungkin masih ada harapan untuk manusia agar hidupnya kembali seperti dahulu kala, damai dan tidak ada pertumpahan darah yang konyol dan tidak berarti ini. Tapi dua ratus tahun menunggu sudah cukup membuatnya muak dan jengah akan kata “Harapan”. Baginya, sesuatu seperti “Harapan” sudah tidak ada.Hanya logika yang tersisa darinya. Untuk menghentikan kekacauan yang diakibatkan oleh para manusia busuk di muka bumi ini, dialah yang akan turun tangan dan mengakhirinya sendiri. Akan dia bersihkan semua manusia di muka bumi ini, untuk diatur ulang seperti semula.
“Jangan sebut kata itu lagi, nomor Sembilan.Aku sudah muak mendengar kata yang tidak berarti itu.”
“Orang baik itu mungkin masih ada, tapi jumlahnya sedikit, nomor Sembilan. Sebaik apa pun mereka, mereka adalah bibit dari kehancuran bumi ini, akan aku ikut lenyapkan juga bersama mereka yang busuk. Manusia sudah tidak pantas hidup di Bumi ini.”
Dokter itu terbatuk agak keras, sebelum dia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Dan kau sudah tahu kebenarannya, kan? Sebaik apapun manusia, mereka akan tetap menginginkan harta dan kekuasaan untuk mereka sendiri. Aku sudah tidak percaya siapapun di dunia ini. Kalaupun nanti Tuhan yang entah ada atau tidak akan memasukanku ke neraka karena semua perbuatanku ini, persetan dengan itu semua, akan kubawa mereka semua ke neraka bersamaku, manusia-manusia itu tidak berhak mendapatkan surga! TIDAK BERHAK!!”
Hening lagi sejenak.
“…Tidak berhak… kalau mereka di muka bumi saja sudah menghancurkan, bagaimana nanti bila mereka mendapat surga-Nya?”
Ya, dokter itu sudah kehilangan kewarasannya.Tapi dia tidak bisa disalahkan sepenuhnya, ini adalah salah para manusia yang hanya memanfaatkan teknologinya tanpa ada penghargaan yang tulus dan sebenar-benarnya.
“Mungkin kau akan bertanya kenapa aku berani melangkahi Tuhan, bermain seperti-Nya, dan mengangkuhkan diri seakan aku benar-benar seorang Tuhan. Kau tahu akan agama dan aku yakin kau sangat paham, karena kau adalah Intelejensi Buatan milikku yang paling sempurna diantara yang lain. Aku sudah jemu dengan semua kekacauan ini, nomor Sembilan, aku hanya ingin bumi damai kembali.Dan perlu restrukturisasi besar-besaran untuk hal seperti itu.”
Setelah itu sang dokter pun kembali mengetik, sebelum mengirimkan perintahnya ke mesin operasi robot di depannya.
Tangan-tangan mekanik muncul dari langit-langit kamar operasi dan mulai bekerja, memasangkan setiap alat yang dibutuhkan oleh kerangka itu agar bisa berfungsi dengan baik.Perlahan namun pasti, bagian tubuh robot itu mulai terbentuk jelas.Sebuah robot berwarna merah setinggi 250 sentimeter dengan wajah seperti tengkorak yang terbuat dari kaleng. Matanya merah menyala.
“Aku mengerti itu Dokter… aku mengerti apa yang kau pikirkan…”
Akhirnya si “Nomor Sembilan” sudah selesai dirakit, kemudian mesin-mesin bergeser, seakan mundur untuk memberi hormat terhadap lahirnya pemimpin agung mereka yang sudah berdiri dengan gagahnya.
“Karena itu lah, aku akan mengemban misi ini. Aku akan melaksanakan keinginanmu, Dokter. Akan aku bawa bumi ini menuju perdamaian yang kau inginkan…”
Dokter itu hanya mengangguk di atas kursi rodanya. Walau dipisah sekat komputer yang agak besar, namun mereka bisa saling bertatapan dan berkomunikasi seperti dua insan yang menggunakan hatinya untuk bicara satu sama lain.
“Aku akan menunggu saat itu, Nomor Sembilan… aku akan tidur setelah ini…”
“Untuk berapa lama, Dokter?”
“Satu hari, minggu, tahun, abad, millennia, entahlah, Nomor Sembilan… aku hanya ingin tidur yang panjang…”
Robot itu kemudian mengangguk seraya melihat sang dokter yang sudah mulai berlalu dengan kursi roda elektrik yang terikat berbagai macam mesin canggih yang menunjang lebih dari ratusan tahun hidupnya.
“Nomor Sembilan, bangunkan aku jika sudah selesai, ya…”
“Kau adalah satu-satunya “Harapan” yang aku punya, jangan membuatku kecewa…”
“Ya, Dokter…”
setelah pintu besi memisahkan sang robot dengan penciptanya, dia pun berbalik, bersiap untuk memulai misinya, mengatur ulang dunia yang busuk dan memusnahkan semua kebusukan yang ada di sana…
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Harapan