Cerpen: Mawar Hijau

0

Cerpen: Mawar Hijau, karya Charon

greenrose_3

Di dunia itu, hujan terus – menerus turun, membasahi tanah dan membawa kematian.

Dunia itu bukanlah dunia yang bagus untuk ditinggali. Dulunya, dunia itu adalah sebuah planet pertambangan yang makmur. Kota – kota berdiri dengan megah di tanahnya, dan orang saling berlalu lalang dan bertukar cerita.

Lalu, hujan turun untuk pertama kalinya di dunia itu. Hujan yang sesungguhnya. Disaat itulah para penduduk dunia itu sadar akan satu hal.

Dunia itu bukanlah tempat yang pantas untuk ditinggali.

Orang – orang berbondong meninggalkan tempat itu. Yang pergi, berkelana entah ke planet yang mana lagi. Yang tinggal atau yang tak kebagian kuota, sekarang mereka harus beradaptasi ke dunia baru yang dapat membunuh mereka dengan hujan. Kalau harus dibilang, memang wajar jika mereka kemudian menyalahkan nasib. Kejadian ini hanya menyisakan sebuah planet beracun yang tandus nan kejam di tengah dunia yang hitam dan gelap.

Untung saja manusia adalah makhluk yang pintar.

Beberapa puluh tahun setelah hujan pertama turun, mereka membuat sebuah baju pelindung yang menetralkan efek hujan itu kepada tubuh mereka. Dibuat dari bahan – bahan sisa, baju pelindung itu disebarkan kepada para penduduk yang aktif menjelajah permukaan demi keperluan sehari – hari, sementara sisanya menetap di gorong – gorong bawah tanah. Untuk melengkapi baju pelindung itu, sebuah topeng dipakai untuk menyaring zat – zat beracun dari hujan di dunia itu.

Salah satu dari pemakai baju pelindung itu adalah seorang ‘pemulung’. Dia adalah salah satu pembuat baju pelindung itu, dan terkadang dia keluar dari gorong – gorong untuk mencari bahan baku pembuatannya.

Dia juga adalah satu dari sekian sedikit orang yang tidak kehilangan senyumnya.

Hari itu, dia pergi mencari bahan – bahan bekas, terutama besi dan karet. Namun, dia tak beruntung. Hujan turun ke permukaan pada hari itu, dan baju pelindungnya rusak. Dia tahu apa artinya ini.

Dia panik. Dia terus berlari untuk mencari tempat berteduh. Kalau dia tidak segera menemukannya, racun dari hujan itu akan memasuki tubuhnya, dan dia tidak mau berpikir seterusnya.

Setelah berlarian, dia menemukan sebuah pohon yang besar dan rindang. Karena tidak ada lagi tempat yang bagus, dengan terpaksa dia lari menuju ke bawah pohon itu. Yang tidak dia sadari adalah, pohon itu cukup aneh.

Sebelumnya, pria itu sedang dalam perjalanan menuju tempat dimana biasanya dia memulung bahan bekas. Namun, untuk mencapainya, dia harus berjalan melewati sebuah padang yang gersang dan luas.

Memang tumbuhan masih dapat hidup di dunia itu, tetapi pohon yang menjadi tempatnya berteduh cukup aneh. Disaat para petani mengalami kesulitan hanya untuk menumbuhkan jagung di berbagai belahan planet, pohon itu berdiri dengan kokoh, lengkap dengan daunnya yang hijau dan terlihat sehat. Selain itu, pohon itu berdiri dengan subur di tengah padang yang kering kerontang. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi, tidak dipikirkan oleh sang pemulung.

Bahkan, pohon itu berbuah. Buah adalah komoditi yang langka di dunia itu, tetapi ada banyak buah yang tumbuh di pohon itu. Sang pemulung tidak mau berpikir panjang; dia sudah syukur menemukan tempat untuk berteduh dari hujan ketika baju pelindungnya rusak.

Setidaknya, untuk beberapa saat. Begitu dia menoleh ke arah batang pohon yang menjadi tempatnya bersandar, dia melihat buah – buah yang menjalar di batang, sampai – sampai menyentuh tanah. Buah itu berwarna hijau, dan ukurannya seperti sebuah kentang.

Sang pemulung merasa lapar, dan mencoba memetik satu buah dari pohon aneh itu. Begitu dia membelahnya, aroma yang wangi menggoda indera penciumannya. Warna daging buah yang keemasan juga menggugah selera makannya.

Setelah mengaguminya untuk beberapa saat, sang pemulung saar bahwa dia sedang melamun. Tanpa basa – basi, dia melepas topeng pelindungnya dan mencoba menggigit buah itu.

“…hei. Kalau kamu mau makan, bayar dulu.”

Ada suara seseorang terdengar di dekat pohon itu. Suara itu terdengar seperti rintihan. Entah karena sakit, atau karena bosan. Sang pemulung menjatuhnya buah di tangannya dan mencari sumber suara itu.

“Aku di belakangmu, bodoh. Tapi aku tidak tepat di belakang punggungmu. Ya, mungkin lebih tepatnya, aku ada di sisi lain pohon ini. Coba kesini sebentar.”

Sang pemulung, masih terkejut dengan apa yang dia dengar, memutuskan untuk menuruti suara itu. Dia berjalan ke sisi lain pohon itu. Begitu dia mengetahui sumber suara itu…

“Yo.”

…dia terkejut bukan main.

Bagaimana dia tidak terkejut, karena suara itu bukan berasal dari manusia. Suara itu berasal dari pohon! Dan bukan dalam artian ‘pohon mempunyai kemampuan magis / telepati untuk berbicara kepada manusia di sekitarnya’ seperti yang sering tertulis di buku – buku jaman Old World Era.

Lebih tepatnya, di batang pohon itu, terdapat wajah manusia. Wajah itu sudah tidak tertutupi dengan kulit manusia lagi, melainkan tertutupi kulit kayu. Namun, wajah itu dapat bergerak dan menampilkan ekspresi seperti manusia pada umumnya.

“Ada apa, hah? Baru pertama kali melihat pohon berbicara? Dan apakah itu caramu berbicara kepada wanita?”

“T-tentu saja aku terkejut! Kukira pohon tidak bisa berbicara! Dan kau…kau wanita?”

“Apa kamu berpikir semua wanita harus cantik? Dulu aku memang cantik, tapi sekarangpun aku tetap cantik. Coba lihat sekitarku, dan bandingkan dengan daun – daunku. Oh, dan tidak semua pohon bisa berbicara. Sejauh yang aku tahu, hanya aku pohon yang bisa berbicara di sekitar sini, dan hanya akulah satu – satunya pohon yang berdiri di sekitar sini. Dan aku bangga karena aku berhasil berdiri selama puluhan tahun tanpa dikencingi anjing.”

Sang pemulung masih tercengang. Dia tak tahu harus berkata apa lagi, karena ini diluar pengetahuannya.

“Oh, dan aku bercanda tentang bayaran untuk mengambil buah di, err, tubuhku. Toh uangmu juga tidak akan berguna untukku. Dan duduk. Di luar sedang hujan.”

Sang pemulung duduk, masih terheran dengan apa yang terjadi. Namun, kali ini keheranannya bukan karena takut, tapi karena senang.

Untuk beberapa saat, mereka mengomong basa – basi; tentang cuaca, tentang sang pemulung, dan tentang dunia sekitar. Tanpa diduga, pohon itu ternyata cukup suka berbicara…untuk sebuah pohon.

“Oh, dan aku belum mengetahui namamu. Namamu adalah…”

Hybridicus humanicus shitericus. Aku hanya bercanda; aku bukan botanis kawakan, jadi aku tak bisa menamai diriku sendiri seperti itu. Tapi yah, aku pernah mendengar tentang protein yang diberi nama seperti seekor tikus listrik, jadi…”

Sang pemulung kembali bingung.

“Sudah cukup bingungnya? Sebuah cerita dimana kamu terus bingung tidak akan menarik. Namaku Mary, dan kali ini betulan. Beberapa puluh tahun, atau mungkin beberapa ratus tahun lalu, aku adalah manusia normal sepertimu. Setidaknya, itu yang kuingat; aku sudah lupa caranya berhitung, atau aku sengaja melupakannya. Lagipula, memangnya pohon perlu matematika?”

“Kau…suka bicara ya.”

“Aku bosan; mau bagaimana lagi? Asal kamu tahu saja, kalau aku bosan, aku juga berbicara kepada tanah. Sayangnya, aku tak mendengar apa – apa; tanah tidak punya telinga. Kalaupun punya, tanah tak punya mulut untuk membalas celotehanku.”

Sang pemulung mencoba mencerna apa yang pohon itu katakan. Jika dia mengatakan yang sesungguhnya, mungkin sang pemulung sedang berbicara dengan generasi pertama penduduk planet itu, sebelum musim hujan menyerang para penduduknya.

Sebuah rasa penasaran mengelilingi pikirannya.

“…oh, mungkin ini akan sedikit tidak sopan, tapi…bagaimana kau bisa menjadi pohon?”

“Memangnya kamu mau menjadi pohon juga?”

“Tidak.”

Sang pohon mendesah dari wajah manusianya.

“Salahkan hujan yang turun di sekitarmu ini. Waktu pertama kali aku terkena hujan itu, aku merasa tidak enak. Beberapa hari kemudian, aku merasakan sesuatu tumbuh di tanganku…seperti sesuatu yang menjalar. Esoknya, aku merasa bahwa kulitku akan sobek. Ketika aku sadar, sudah ada bunga dan jamur tumbuh di punggung tanganku.”

“…jadi, begitukah efek hujan ini?”

“Kurasa kamu tidak akan tahu; baju zirahmu, selain keren dan terlihat seperti pemain hoki gila yang baru lepas dari kebun binatang, sepertinya melindungimu dari hujan ini. Rasanya aku iri.”

Sang pemulung tidak tahu harus menjawab bagaimana.

“Y-ya, kalau keren sih memang keren. Dan apa itu ‘hoki’ dan ‘kebun binatang’?”

“…lupakan. Ngomong – ngomong, kenapa kamu berteduh? Baju zirahmu yang keren itu harusnya anti air.”

“Sistem penyaringan di bagian pundak sedang rusak, jadi aku harus memperbaikinya. Oh, dan terima kasih sudah mengijinkanku berteduh. Kau sudah menyelamatkanku.”

Sesaat, pohon itu kembali diam.

“…sama – sama.”

Pembicaraan di antara mereka terhenti dengan sebab yang berbeda. Sang pemulung masih tercengang dengan apa yang dia lihat, sementara sang pohon tidak tahu harus berkata apa lagi; sudah lama semenjak dia mendengar ucapan terima kasih, dan bukannya lemparan baru serta tendangan maut.

“…hei, kamu sudah memberiku cukup pertanyaan. Boleh gantian?”

“Tentu saja. Apa?”

Sang pohon memutar otaknya (jika dia masih punya otak secara harafiah) untuk mencari tahu pertanyaan yang bagus. Sudah lama sejak dia berbicara kepada seseorang, atau bahkan bergerak, jadi semua pengalamannya di bidang sosial hilang begitu saja. Setelah sekitar dua menit, dia akhirnya menemukan sebuah pertanyaan yang bagus.

“Kamu bilang kalau kamu membuat baju zirah itu. Kenapa kamu…membuatnya?”

“Kenapa bagaimana, maksudmu?” kata sang pemulung sambil sibuk melihat – lihat sistem penyaringan air di pundak kanan.

“Baju zirah milikmu itu hanya barang. Suatu saat pasti akan rusak, entah akibat pemakaian terus menerus atau karena kecelakaan.”

“Ya, lalu?”

“…kalau sudah rusak, percuma saja kamu membuatnya; sudah tidak berguna lagi, dan akan menjadi tidak berguna suatu saat. Lalu, kenapa kamu masih repot – repot membuatnya, sampai – sampai mempertaruhkan nyawa untuk mencari bahan bakunya?”

“Karena aku suka melakukannya.”

Sang pemulung berbicara tanpa ada perubahan nada di mulutnya; nada yang bahagia.

“Aku tahu baju pelindung ini suatu hari akan rusak. Semua barang ciptaan manusia pasti akan rusak suatu saat.”

Sesaat, sang pemulung menghentikan pekerjaannya, dan melihat ke arah wajah sang pohon dengan senyuman kecil di wajahnya.

“Apalagi di dunia seperti ini.”

“…kalau begitu, kenapa—“

“Karena dunia ini…seperti ini.”

Sang pohon bingung dengan apa yang diutarakan sang pemulung. Sewaktu dia menjadi manusia, dia tak pernah melihat orang yang dapat berbicara seperti sang pemulung, jadi sepertinya wajar saja.

“Dunia ini hancur. Aku sudah tahu itu. Tetapi, justru karena dunia ini hancur, aku ingin merasa hidup sepenuhnya.”

Sang pemulung kembali memperbaiki baju pelindungnya yang hampir selesai diperbaiki. Bagian pundak memang tidak mengalami bocor terlalu parah, jadi dia juga takk terlu terlalu repot.

“Aku tidak ingin menjadikan kehancuran dunia ini sebagai alasanku untuk menyerah dalam hidup. Aku juga tidak ingin batinku hancur akibat semua itu.”

“…kamu ini lucu. Justru pendapatku tentang kehancuran dunia itulah yang membuatku putus asa, dan…menjadi seperti ini.”

“Kau juga bisa mulai mencoba. Dunia ini sudah hancur dari awal, dan wujudmu seperti itu. Jadi, kurasa kau tak perlu khawatir dengan batas waktu; kau punya banyak.”

Tepat setelah percakapan mereka selesai, bagian yang bocor dari pundak baju pelindung milik sang pemulung telah selesai diperbaiki. Dia kembali memasang bagian pundak dan topeng pelindungnya. Dia tahu bahwa ini adalah saatnya pergi.

“Yah, sepertinya perbaikan baju pelindungku sudah selesai. Aku harus melanjutkan perjalanan.”

“Masih hujan, lho.”

“Aku memakai payung seberat entah berapa kilo di seluruh tubuhku, jadi jangan khawatir.”

Sesaat sebelum pemasangan baju pelindung sang pemulung selesai dengan sempurna, sang pohon menjatuhkan beberapa buah lagi dari atas. Dasar pikirannya yang usil, dia menjatuhkannya tepat di pelindung kepala sang pemulung, yang menghasilkan bunyi seperti tong besi yang berisi.

“Hei, apa – apaan itu?!”

“Bekal. Ambil saja; anggap sebagai biaya karena sudah menemaniku disini.”

“…untukku? Ini mahal lho,” kata sang pemulung sambil mengambil beberapa buah yang jatuh ke tanah.

“Aku bisa menumbuhkan lebih banyak. Kamu mau lagi?”

“Tidak, sudah cukup. Terima kasih,” jawab sang pemulung sambl memegang bagian atas pelindung kepalanya, untuk mewaspadai lemparan sang pohon berikutnya.

Kali ini, sang pemulung benar – benar siap. Baju pelindungnya telah diperbaiki, dan dia membawa bekal yang dapat menjadi uang banyak. Dia bisa saja kembal ke gorong – gorongnya sekarang, tetapi dia masih harus mengumpulkan besi tua.

Sebelum dia pergi, sang pohon kembali membuka mulutnya.

“…dapatkah kita bertemu lagi?”

“Kita lihat saja nanti.”

Sang pemulung kemudian pergi. Wajah sang pohon tetap tak bertekuk. Ini bukan akibat kerasnya kulit pohon, tetapi karena dia tak tahu ekspresi apa yang harus dia tunjukkan.

Sayangnya, sang pemulung tak memenuhi janjinya.

Sejak saat itu, sang pemulung tak pernah terdengar lagi. Pemulung lain di gorong – gorong tempatnya dia tinggal mencoba mencarinya di tempat dimana dia biasanya mencari besi tua, dan semua pencarian itu tak menghasilkan apa – apa selain beberapa kilo besi tua yang sekalian dibawa.

Kemana dia pergi, tak ada yang tahu. Bahkan planet itupun tak tahu kemana dia pergi. Bahkan sang pohon tidak dapat mengetahui nasib sang pemulung; dia adalah pengunjung pertama dan terakhir yang berteduh di bawah daunnya yang rindang.

Namun, setidaknya kata – kata sang pemulung membawa sedikit perubahan bagi sang pohon.

Tanah di sekitar sang pohon tiba – tiba menjadi subur. Dalam waktu beberapa bulan, rerumputan tumbuh dengan lancar, dan dahan sang pohon menjadi semakin besar. Buah yang ditumbuhkannya juga semakin melimpah.

Beberapa tahun kemudian, para penjelajah menemukan lahan dimana sang pohon berdiri, dimana lahan itu telah berubah menjadi padang rumput yang luas. Beberapa pohon berdiri dengan kokoh, lengkap dengan buah yang nikmat. Tentu saja itu hanya pohon biasa; sang pohon tidak akan pernah terbiasa berbicara dengan pohon lain.

Di tengah lahan itu, berdirilah sang pohon dengan tegak dan subur. Tingginya sungguh menakjubkan, seakan pohon itu dapat menggenggam bulan dengan dahan – dahannya sendiri. Namun, kali ini tidak hanya buah yang tumbuh di dahannya.

Kali ini, ada berpuluh – puluh tangkai bunga tumbuh di sekitarnya. Bunga yang mirip dengan bunga mawar, dengan kelopak berwarna hijau. Namun, ketika malam tiba dan bulan purnama menyinari planet itu, mawar – mawar itu memancarkan cahaya berwarna jingga. Para penjelajah yang menemukannya hanya bisa tercengang melihatnya.

Ada satu lagi yang berubah; di batang pohon itu, tak terlihat lagi sebuah torehan berbentuk wajah.

***

*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Mawar Hijau

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.