Sekilas, novel Pulau Sae – Shima Wa Bokura To terlihat seperti cerita ringan mengenai persahabatan empat orang remaja yang diselingi dengan kisah cinta di antara mereka. Namun setelah dibaca, novel ini ternyata berisi cerita yang lebih dari itu. Mizuki Tsujimura telah menawarkan sebuah novel remaja Jepang dengan tema yang cukup berat di tengah-tengah novel remaja bertema populer seperti persahabatan dan komedi romantis yang terjadi di dunia sekolah.
Pulau Sae – Shima Wa Bokura To bercerita mengenai empat sekawan yaitu Akari, Kinuka, Genki, dan Arata serta keseharian mereka di Pulau Sae, sebuah pulau terpencil di tengah Laut Seto. Mizuki Tsujimura membagi cerita dalam novel ini ke dalam empat buah bab besar yang masing-masing babnya mengambil sudut pandang dari masing-masing tokoh. Setiap bab memiliki konflik yang berakar dari lingkungan di sekitar tokoh-tokoh tersebut. Sebagai contoh, dalam bab yang memfokuskan sudut pandang Akari, konflik yang disuguhkan Mizuki-sensei adalah ketakutan Akari mengenai Genki yang sebenarnya bukan merupakan penduduk asli Pulau Sae. Akari merasa Genki sebenarnya membenci pulau tempat tinggal mereka karena masa lalu keluarga Genki yang hancur akibat kepindahan mereka dari Tokyo ke Pulau Sae.
Mizuki Tsujimura membawakan cerita dalam novel ini dengan lambat. Dia berusaha menggambarkan interaksi setiap tokoh yang ada dalam novel ini agar tampak realistis dan mampu mengembangkan keempat tokoh utama dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di sekitar mereka.
Pembagian Konflik yang Timpang Membuat Cerita Terasa Sedikit Membosankan
Seperti yang sudah disebut sebelumnya, Pulau Sae – Shima wa Bokura to terbagi ke dalam empat bab besar di mana setiap bab mengambil sudut pandang dan masalah yang terjadi di sekitar keempat tokoh utama. Pembagian konflik yang timpang membuat beberapa bagian cerita terasa membosankan. Apalagi dengan pembawaan cerita yang berjalan lambat semakin membuat bagian tersebut membosankan. Sebagai contoh, konflik yang tersaji dalam bab yang memfokuskan Genki terkesan biasa saja dibandingkan dengan konflik yang memfokuskan Arata. Dalam konflik Genki, Mizuki Tsujimura menyuguhkan cerita masa lalu keluarga Genki yang hancur karena kepindahan mereka ke Pulau Sae. Sementara dalam bab Arata, Mizuki Tsujimura menggambarkan sebuah konflik kepentingan di mana Kepala Desa tempat mereka tinggal berusaha menyabotase proyek peliputan Pulau Sae karena merasa otoritasnya sebagai pemimpin dan orang yang membangun Pulau Sae tidak dihormati.
Melihat perbedaan konflik yang disajikan, penulis merasa jika bab Genki terasa membosankan. Penulis lebih tertarik dengan sedikit gambaran Genki yang berusaha menemukan ‘tempat’ di Pulau Sae yang tersaji di bab milik Akari dibandingkan dengan bab yang menceritakan Genki. Sedikit disayangkan mengingat dengan pembagian bab yang memfokuskan satu tokoh dalam satu bab besar, seharusnya Mizuki Tsujimura mampu menggali lebih jauh masalah Genki mengenai ‘tempat’ yang dia cari dalam bab tersebut. Selain itu konflik lain yang tersaji dalam bab Genki membuat konflik utamanya terkesan tertutupi dan tidak memberikan sebuah efek yang seharusnya dirasakan dari konflik utama sebuah cerita.
Kritik Terhadap Hubungan Manusia dalam Masyarakat Jepang dan Seksisme yang Terjadi dalam Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang dikenal sebagai satu masyarakat xenophobic yaitu sebuah ketakutan terhadap orang yang berasal dari negara lain atau orang yang masih asing dalam lingkungan mereka. Gambaran tersebut terlihat jelas dalam novel ini ketika di awal cerita penduduk asli Pulau Sae tidak menerima kehadiran komunitas I-Turn, yaitu orang-orang yang datang dari luar Pulau Sae dengan tujuan menetap dan menjadi bagian masyarakat Pulau Sae. Ketidaksukaan mereka ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti memarahi para komunitas I-Turn setiap kali bertemu di jalan, menggunjing masalah pribadi yang dialami oleh komunitas I-Turn seperti yang dialami Genki, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk ketidaksukaan yang ditunjukkan dalam cerita. Ketidaksukaan tersebut semakin lama semakin hilang berkat usaha keras Kepala Desa dan Yoshino dalam menengahi masalah yang terjadi antara penduduk lokal dan komunitas I-Turn.
Selain itu, penulis juga merasakan kritik terhadap seksisme yang terjadi di masyarakat Jepang dalam novel ini. Terutama ketika terjadi konflik kepentingan antara Kepala Desa dan Ibu Akari selaku Direktur Perusahaan Saejima yang merupakan perusahaan lokal dalam mengembangkan hasil dari Pulau Sae. Beberapa pria datang ke rumah Akari dan berusaha untuk menunjukkan superioritas mereka dengan memberikan ancaman yang membuat keluarga Akari merasa tidak nyaman dan pada akhirnya membatalkan acara peliputan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Dari dua kasus itu, Mizuki Tsujimura berusaha memberikan gambaran mengenai apa yang seharusnya terjadi di dalam masyarakat Jepang. Dia menggambarkan bahwa orang asing tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan bisa bekerja sama untuk memajukan lingkungan tempat tinggal mereka. Hal yang sama juga tampak terlihat dalam kritiknya terhadap seksisme dengan menjadikan Kinuka sebagai Kepala Desa menggantikan Kepala Desa Ooya. Mizuki Tsujimura berusaha menunjukkan kalau seorang wanita juga bisa memimpin sebuah lingkungan. Mizuki Tsujimura berhasil menggambarkan kalau wanita bukanlah makhluk yang lemah dan bisa ditekan oleh laki-laki.
Kesimpulan
Meski terasa membosankan untuk ukuran sebuah novel remaja, Pulau Sae – Shima wa Bokura to memberikan sebuah pandangan baru bagi pembaca novel remaja Jepang dengan temanya yang menarik untuk dibahas. Gaya bahasa yang dipakai oleh Mizuki Tsujimura dalam novel ini sangat ringan meski konflik yang ditawarkan cenderung berat sehingga pembaca remaja bisa mendapatkan pesan yang ingin disampaikan dengan mudah.
Sebagai sebuah novel terjemahan, terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Faira Ammadea sudah cukup baik dalam menyampaikan alur cerita dalam novel ini. Yang menjadi perhatian penulis hanyalah kemungkinan kesalahan penulisan di awal cerita di mana sudut pandang yang harusnya merupakan sudut pandang orang ketiga berubah menjadi sudut pandang orang pertama di beberapa kalimat yang membuat cerita menjadi sedikit membingungkan.
Mizuki Tsujimura berusaha mengubah pola pikir masyarakat Jepang yang masih xenophobic dan terkesan seksis melalui kisah Akari dan kawan-kawannya. Penulis sendiri menikmati semua cerita yang disajikan di dalam buku setebal 352 halaman ini. Membayangkan tinggal di Pulau Sae bersama keempat sekawan rasanya seru dan menyenangkan.
Novel Pulau Sae – Shima Wa Bokura To sendiri telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017 lalu, dengan terjemahan berbahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Faira Ammadea.
KAORI Newsline