Flashfic: Sahabat, karya eriyakumo
Aku masih mengingat salamnya…
Saat pertama kali aku mendapatkan dirinya di tengah pusat perbelanjaan dengan lautan manusia.
Aku masih mengingat ucapannya…
Menenangkan diri yang tengah dibelenggu masalah akibat kebutuhan hidup yang membengkak tak terkira.
Aku masih mengingat kelembutannya…
Bagaikan gumpalan salju di tengah-tengah panas terik yang timbul dari sang surya.
Aku masih mengingat keramahannya…
Mengajak bermain di kala memanasnya hubungan antara anggota keluarga.
Aku masih mengingat kebaikannya…
Mengambilkan pakaian yang terjatuh dari jemuran setelah angin kencang datang melanda.
Aku masih mengingat kesedihannya…
Meratapi kepergian kawan sepermainan dari tetangga yang begitu dicintainya.
Aku masih mengingat kegalauannya…
Menanti sendirian di rumah kala semua orang sedang pergi entah ke mana.
Aku masih mengingat kewaspadaannya…
Mengucapkan pesan setiap kali ada manusia yang melewati bagian depan rumah tanpa diminta.
Aku masih mengingat setianya…
Mendampingi diriku dengan mengelus dada, memberi keseimbangan ketika bahtera hatiku mulai goyah dan dibanjiri sungai air mata duka.
Aku masih mengingat keberaniannya…
Menghadapi langsung para manusia yang mencoba mengambil berbagai barang yang bukan hak miliknya.
Namun waktu pun tak bisa dinyana…
Andai kau dapat hidup selamanya.
Mungkin saat ini aku masih dapat melihat wajahnya.
Andai kau dapat lantang berbicara.
Mungkin saat ini aku dapat memberi hadiah yang terbaik baginya.
Andai kau dapat menggoreskan pena.
Mungkin saat ini dia sudah menjadi individu yang sangat berguna.
Memberi harapan bagi siapapun yang diperbudak oleh kerja paksa.
Memberi peringatan kepada siapapun yang diperkuda oleh harta dan tahta.
Tetapi…
Aku dan dia bukanlah siapa-siapa.
Hanyalah sosok dua figur yang biasa saja.
Kami berdua tentu saling berbeda.
Dimensi tempat kami berada pun sudah tak lagi bersama.
Membuat tugu peringatan akan dirimu sungguh tak kuasa.
Semata-mata karena aku tak memiliki daya.
Engkau merasakan berpisahnya jiwa dari raga.
Pada suatu hari di mana aku berada di bawah tudung gembira.
Kesenangan berganti dengan pelipur lara.
Mengiringi kehilangan sahabat nan lama.
Langit dan bumi pun ikut memberi penghormatan baginya.
Rinai hujan dengan irama gelegar petir membasahi selimut merah merona sebagai teman tidurnya.
Tak ada lagi ayunan kakinya.
Tak ada lagi gigitan candanya.
Tak ada lagi erangan kegelisahannya.
Tak ada lagi keluhan akan rasa lapar dan dahaganya.
Selamat berbahagia, sahabatku yang sangat setia.
Ku harap, aku bisa dipertemukan kembali dengannya.
Dalam dekapan kasih sayang sang empunya alam semesta.
Meskipun tak lagi hadir dengan pasangan kaki yang mendua.
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Sahabat