My Hero Academia, komik asal Jepang karya Kohei Horikoshi ini baru-baru ini tengah dirundung masalah. Pasalnya adalah munculnya protes dari sejumlah fans My Hero Academia, terutama fans yang berasal dari Tiongkok dan Korea Selatan, atas nama sebuah karakter yang dianggap membuka lama atas dosa sejarah kejahatan perang Jepang di masa lalu. Karakter tersebut adalah sosok Daruma Ujiko.
Daruma Ujiko adalah seorang ilmuwan jahat yang melakukan serangkaian praktek eksperimental terhadap tubuh manusia. Masalah dimulai ketika pada chapter terbaru dari komik ini, terungkaplah bahwa nama asli Daruma Ujiko adalah Maruta Shiga. Kontan saja hal ini memicu protes keras dari pada fans di Tiongkok dan Korea Selatan. Protes atas nama ini sendiri didasari atas nama “Maruta” yang menurut klaim Kohei Horikoshi maupun penerbit Shueisha artinya adalah “bulat” dan “gemuk”. Namun bagi bangsa Tiongkok dan Korea, nama “Maruta” adalah sebuah luka lama dalam sejarah dan hubungan mereka dengan Jepang.

“Maruta” adalah kode nama yang diberikan Jepang kepada korban eksperimen manusia saat Perang Dunia Kedua yang dilakukan oleh Unit 731, sebuah unit dalam militer Jepang di wilayah pendudukan Manchuria pada tahun 1935–1945, yang bertanggung jawab atas praktek-praktek ilegal eksperimen manusia hingga senjata kimia. “Maruta” yang berarti kayu gelonggongan merupakan sebutan objek eksperimen yang mayoritas merupakan bangsa Tiongkok, Korea, Russia, hingga Mongol. Kata “Maruta” ini sengaja dipakai karena fasilitas Unit 731 juga menyamarkan diri mereka sebagai pabrik kayu.
Dalam praktek-praktek eksperimental manusia yang dilakukan oleh Unit 731, banyak terdapat bayi, anak-anak, wanita hamil, warga lanjut usia hingga yang berkebutuhan khusus yang dijadikan objek eksperimen. Objek eksperimen ini sengaja diinjeksi dengan penyakit seperti sifilis, dijadikan target ledakan dan senjata biologis, dibekukan dalam es, dan wanita yang dihamili secara paksa. Objek eksperimen yang sudah meninggal akan dikremasi.
Formal apology for the name used in My Hero Academia in Weekly Shonen Jump Issue 10, 2020 pic.twitter.com/W9H1sTZJJe
— 少年ジャンプ編集部 (@jump_henshubu) February 7, 2020
今週発売のジャンプで登場した志賀丸太という名前について、歴史的な出来事を想起させるというご意見を多くいただいています。命名にあたり、そのような意図を込めたつもりはありませんでした。ご指摘のお声を重く受け止め、今後は名前を差し替えさせていただきます。
— 堀越耕平 (@horikoshiko) February 3, 2020
Atas kasus yang begitu sensitif dalam hubungan antara Jepang, Tiongkok, dan Korea ini, baik Kohei Horikoshi maupun penerbit Sueisha sendiri akhirnya melayangkan permohonan maaf dan berjanji bahwa kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi. Pihak Shueisha juga berjanji akan mengganti nama Maruta Shiga di komik versi tankoubon maupun versi terbitan digitalnya. Saking sensitifnya kasus ini, My Hero Academia sendiri saat ini tengah ditarik dari berbagai platform digital di Tiongkok. Sejumlah pengguna Twitter, terutama yang berasal dari Korea Selatan bahkan juga mengungkap kekesalan mereka karena dalam surat permintaan maaf resmi versi bahasa Inggris dan bahasa selain Korea hanya menyebutkan protes datang dari “sejumlah pembaca dari Tiongkok dan negara lain”, berbeda dengan surat permintaan maaf berbahasa Korea yang menyebutkan protes datang dari “sejumlah pembaca dari Tiongkok, Korea, dan negara lain.”
Unit 731: Sebuah Sejarah Kelam Kejahatan Perang Jepang yang Kerapkali Ditutupi

Tindak kejahatan yang dilakukan oleh Unit 731 tidak terbatas hanya pada eksperimental manusia saja. Namun mereka juga diketahui dengan sengaja meracuni sumber air, bahkan dengan sengaja menyebarkan wabah penyakit ke kota-kota setempat. Selama tahun 1936 hingga 1945, setidaknya Unit 731 diketahui telah membunuh 14000 jiwa, baik itu tawanan perang maupun penduduk setempat. Unit 731 bahkan juga disebut-sebut sebagai Auschwitz di Asia, merujuk dari nama Auschwitz yang merupakan kamp konsentrasi Jerman yang terkenal dengan kekejamannya.
Ironisnya bahkan setelah Jepang kalah perang, keberadaan Unit 731 terkesan terus menerus ditutupi dan disangkal. Bahkan pasukan pendudukan Amerika Serikat yang menduduki Jepang paska Perang Dunia 2 di bawah kepemimpinan Douglas MacArthur memberikan impunitas kepada para penjahat-penjahat perang yang mengelola Unit 731, dengan imbalan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek senjata kimia. Selama bertahun-tahun kesaksian korban diabaikan begitu saja, bahkan malah dianggap sebagai propaganda Komunis. Nama Unit 731 bahkan hanya sekali saja disebut-sebut dalam Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo.
Sejumlah pejabat-pejabat tinggi dari Unit 731 bukan saja mendapatkan impunitas, namun banyak yang menduduki posisi-posisi terhormat di masyarakat Jepang paska perang. Ada yang menjadi direktur Asosiasi Medis Jepang, ada yang menjadi bos di sebuah perusahaan farmasi ternama hingga universitas ternama di Jepang, bahkan ada yang menjadi gubernur Tokyo. Pemerintah Jepang sendiri selama bertahun-tahun terus menyangkal keberadaan Unit 731, sampai akhirnya muncullah kesaksian dari salah seorang mantan petugas di Unit 731, Yoshio Shinozuka.
Pada tahun 1997, Shinozuka yang direkrut oleh Unit 731 di umur 16 tahun memberikan kesaksian atas keterlibatannya dalam mengembangbiakkan wabah penyakit. Ia bahkan turut membasuh tubuh korban wabah yang telah menghitam dan sekarat, untuk kemudian dibedah tanpa obat bius. Atas kesaksiannya ini, pengadilan kota Tokyo pada tahun 2002 akhirnya mengakui keberadaan Unit 731 dan aktivitasnya dalam tindakan-tindakan ilegal dan tidak manusiawi, serta merenggut banyak korban jiwa. Pada tahun 2018 lalu, Arsip Nasional Jepang akhirnya memublikasikan setidaknya 3607 nama-nama yang terlibat dalam Unit 731.
KAORI Newsline | Sumber: Anime News Network, Polygon, Yahoo! News Japan, Abacus News, & The Guardian