Berikut ini kami persembahkan sebuah karya yang memenangkan kontes LPK Collaboration Project yang pertama. “Red Moon” karya Shisa dan Ciero
Jemari itu meraih, ujungnya menggelitik pipi. Bibir itu bergerak, mengucap siluet.
Tapi sebelum kuraih tangannya dan kukecup bibirnya…
Angin berdesir, membawa serta nafasnya.
Tertinggal batu nisan mengucap namanya, tapi ia tidak akan pernah mendengar.
Katakanlah aku diskriminatif. Peduli apa? Aku hanya tak pernah senang dilindungi seorang gadis. Terlebih lagi ketika ia seumuran denganku, dan perawakannya pula tak lebih besar. Cuma nyalinya yang kelewat beringas, dan kepalan tangannya yang lebih keras dari batu. Padahal otaknya secuplik—atau itu cuma pendapatku—dan rasa keadilannya melawan gravitasi.
Ia bodoh. Dungu. Tapi aku jauh lebih buruk; karena dari semenjak TK, ia tamengku.
Kau akan bertanya mengapa aku membutuhkan sebua—baiklah, seorang—tameng. Sebelum segalanya, kau harus tahu bahwa aku tinggal disebuah desa dungu. Tidak perlulah kau tahu namanya, mereka barangkali akan mengutukku hingga neraka atas pencemaran nama baik. Tapi bukannya mereka juga asing dengan iblis…
Kembali lagi ke desa dungu ini. Mereka seolah melupakan bahwa abad telah menginjak angka 21, dan segala sesuatu mengenai amarah para dewa adalah omong kosong besar. Tapi toh… manusia itu pada dasarnya selalu takut pada hal-hal yang diluar kendali mereka.
Lalu? Lalu, seperti kebanyakan mahkluk-mahkluk beradab lainnya, setiap tahun kera-kera yang beranggapan diri mereka manusia ini mulai memperkosa seorang anak berumur tepat 10 tahun beramai-ramai kemudian menggorok bocah malang itu untuk dipanggang nantinya. Katanya, itu adalah simbol atas dosa-dosa yang dibakar, supaya para dewa tidak marah.
Lebih buruk lagi? Mereka merayakan ritual itu sebagai festival.
Percayalah, hal itu sangat beradab. Sangat, sangat beradab. Percayalah pula, bahwa bencana-becana itu tidak akan datang setelah upacara itu. Dan terakhir, percayalah, bahwa siapapun yang mempercayai hal-hal itu adalah manusia-manusia terkutuk yang tidak layak akan jiwa (serta otak) mereka.
Persetanlah dengan hal itu ngomong-ngomong. Fokus cerita ini adalah aku. Kau hanya perlu mendengarkan soalku saja.
Hobiku berupa membaca komik, bermain bola, dan hm, memakan orang-orang bodoh. Tidak, kau tidak membaca salah, dan tidak juga, itu bukan metafor. Oh baiklah, mungkin itu metafor. Tapi biarkan aku bersikap keren sekali ini.
Sebelum kau mau main tebak, aku seorang laki-laki. Bukan bocah, ngomong-ngomong. Pria. Oh baiklah, remaja. Dan sejujurnya, seharusnya aku tidak diperbolehkan menginjak umur ini. Seharusnya aku telah menjadi Genta panggang saus air mani—terdengar menggiurkan bukan? Tapi tidak, tentu tidak. Aku karakter utamanya. Aku harus hidup, bukan begitu?
Sayangnya bukan. Aku bukan karakter utamanya, tapi ya, aku hidup.
Dan kau perlu tahu, satu hal paling krusial, bahwa aku mencintainya. Aku mendambanya. Aku menginginkannya. Tidak ada yang lebih kucintai daripadanya. Tawanya, senyumnya, kata-katanya, belaiannya, gerutuannya tiap kali kalah tanding bola…
Aku mencintainya. Tapi ia diambil daripadaku.
Kau tahu?
IA DIAMBIL DARIKU.
Karena, kau tahu?
Akulah yang seharusnya menyentuhnya pertama kali.
Dan jikalau perlu, akulah yang seharusnya memakannya. Tapi tidak… aku bukan yang pertama.
Seekor kera dungu berumur 40 tahun, memanggil dirinya kepala desalah, yang mengambil segala pertama cintaku. Pertama menyentuhnya. Pertama memakannya. Dan seharusnya itu aku…
Akulah yang seharusnya mendengarnya menjerit pertama. Akulah yang seharusnya mencecap daging lezatnya pertama. Akulah yang seharusnya…
Akulah yang seharusnya mendapat kehormatan itu…
Akulah yang seharusnya. Seharusnya. SEHARUSNYA.
KAKEK TUA SIALAN. AKU YANG SEHARUSNYA MENDAPATKANNYA PERTAMA. KAU TAHU? SETELAH MATI-MATIAN MMEBUATNYA JATUH CINTA DENGANKU DAN MEMBUATNYA MENGORBAKAN DIRI UNTUK MENJADI TUMBAL MENGGANTIKANKU!
Ahh, padahal aku telah berbaik hati, membuatnya jatuh cinta padaku, hingga aku balik mencintainya… Merepotkanku dengan segala perasaan yang bergejolak…
Lagipula, siapa pula yang mau benar-benar sakit menyalimi bocah laki-laki berumur 10 tahun? Aku telah membantu desa ini untuk menyediakan tumbal anak perempuan!
Tapi tentu aja, aku tidak mendapat jatah pertama. Aku yang seharusnya menyodok balok kayu ke liang perawannya. Aku yang seharusnya mendapat daging pipinya yang kelewat empuk itu duluan…
Sialan, bukan?
Jadi percayalah, semua ini kulakukan karena cinta. Barangkali dibumbui rasa iri. Sungguh, namun, aku hanya menginginkannya…
Mendekap, membali, mengecup, mencecap…
Jangan kau salahkan aku. Seandainya kupanggil gelegar guntur untuk menghujani desa, itu karena cinta. Seandainya kubawa api neraka untuk membakar desa, itu karena cinta. Seandainya kubawa gejolak ombak untuk menyapu desa, itu pula karena cinta.
Semua itu karena aku cinta padanya. Semua itu karena aku begitu mendambakannya.
Hahh… Umurku 10 dulu. Tapi seharusnya mereka lebih dari tahu daripada mengambil sesuatu yang kuingini. Mereka tidak tahu betapa suilitnya mengambil sisa-sisa belulang gadis itu (secara lancang mereka tidak menaruh apapun di makam gadis itu)… dan betapa besar tenaga yang harus kukuras untuk guntur, api, dan ombak itu.
Meski begitu, seharusnya mereka kini belajar, bahwa dewa-dewa itu hanya omong kosong, kau tahu? Kuyakin mereka tidak akan lagi melakukan ritual konyol itu. Ini abad 21. Semua orang tahu bahwa hal itu sungguh bodoh dan tidak beradab.
Heck, kau tahu apa? Kera-kera itu begitu terbelakang, hingga aku, Genta, iblis desa yang mereka anggap dewa, tahu betapa udiknya hal-hal itu!
Masa bodoh dengan tumbal-tumbal jelek mereka sebelum ini. Masa bodoh jika mereka begitu dungu hingga mau berbuat sebegitu hewani selama ini. Masa bodoh jika tiap tahun aku akan tertawa sambil menatap kelakukan mereka…
Mereka mengambil milikku. Jadi kubawa saja serta semuanya ke neraka. Biar tahun ini, segalanya adalah tumbal.
Sehingga kini, diatas gelimpangan mayat berumur 5 tahun dan reruntuhan, aku dapat menyusun kembali tulang belulang cintaku itu dengan tenang. Mendendangkan cinta dan kasih, serta senyuman kala gadis itu mulai mengambil kembali segala sisa-sisa dirinya dan membuka mata.
Lalu, ketika mentari mulai memadam, memandikan langit dengan hitam… kami menari bersama. Berbahagia selamanya.
Jemari itu meraih, ujungnya menggelitik pipi. Bibir itu bergerak, mengucap siluet.
Ia mengucap, “aku me-“
Kupotong ucapannya dengan mengecupnya dalam-dalam.
Angin berdesir, membawa serta kata cintaku padanya.
Love,
Ciero & Shisa.
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Red Moon