
Kerugian macam apa yang mau dituntut?
Sampai artikel ini ditulis, @RanggaWidigda yang mengaku berprofesi sebagai pengacara perusahaan ini menolak menyebutkan materi somasi maupun materi gugatan yang rencananya akan diacarakan di pengadilan. Ia tetap beritikad baik untuk membuka jalan musyawarah dengan JOT. Walau demikian, ada beberapa hal menarik yang bisa dilihat dari fenomena ini.
Salah satu argumentasi yang ia pergunakan adalah Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam pasal ini, penyedia jasa dilarang menyediakan klausula baku (klausula eksonerasi) yang sifatnya merugikan konsumen. Klausula eksonerasi adalah klausula dalam sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa penyedia jasa/barang melepaskan diri dari tanggung jawab akan hal tertentu.
- Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.- Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
- Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
- Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang
undang ini.
Pasal 18 pernah dipergunakan dalam kasus gugatan Anny R Gultom dan Hontas Tambunan melawan PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking.) Dalam kasus tersebut, pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi memenangkan penggugat dan mengabulkan permohonan ganti rugi kehilangan mobil yang diminta oleh penggugat.
Saat itu, Anny kehilangan mobil yang ia parkir di kawasan Cempaka Mas, padahal kunci mobil, struk parkir, dan STNK masih berada di tangannya. Pihak Secure Parking menolak mengganti kerugian karena klausula baku yang secara singkat menegaskan Secure Parking tidak bertanggung jawab atas kerugian konsumen, termasuk hilangnya mobil (klausula eksonerasi). Pada akhirnya, Anny berhasil memenangkan ganti rugi materil sebesar 60 juta rupiah.
Walau demikian, penggunaan pasal 18 untuk membatalkan demi hukum klausula baku dalam kasus ini terlihat agak berbeda dengan kasus Secure Parking. Bila pada kasus Secure Parking terlihat jelas konsumen benar-benar dirugikan dengan adanya klausula baku yang dibuat, pada kasus ini kerugian tidak bisa langsung didalilkan dan dibuktikan secara sederhana.
Kontrak antara JOT dengan pembeli tiket jabat tangan terjadi pada saat seseorang membeli tiket jabat tangan tersebut. Sesuai pasal 1337 KUH Perdata, adalah keleluasaan bagi JOT untuk mengumumkan pembatasan pembelian tiket maupun aturan-aturan lain terkait sesi jabat tangan yang diberlakukan pada saat terjadinya kontrak (yaitu saat pembelian tiket.) Masalah timbul karena klausula “satu orang maksimum 10 tiket” terjadi dan diberlakukan bukan pada saat pembelian tiket, namun pada saat tiket sudah dibeli dan dalam waktu mendadak. Akibatnya, pembeli terpaksa merelakan tiga tiket lebih ini.
Argumentasi yang bisa dibawa dalam kasus ini bisa dari dua sisi: 1. Apakah yang ingin digugat adalah sikap JOT secara mendadak untuk menghanguskan tiket dalam peraturan tambahan, dan 2. Apakah yang ingin digugat adalah tindakan pembatasan 10 tiket per orang tersebut karena ia merasa dirugikan?
Bila poin kedua yang ingin dituju oleh sang penggugat, pembuktiannya gampang-gampang susah. Sikap JOT yang memutuskan secara tiba-tiba untuk menghanguskan tiga tiket sesi jabat tangan dengan adanya pembatasan bisa saja didalilkan oleh kuasa hukum JOT sebagai tindakan untuk melindungi konsumen lain yang tidak merasa mendapatkan keadilan dengan perilaku “pemborongan” tiket jabat tangan oleh penggemar. Penggugat juga harus membuktikan dalilnya dengan jelas bahwa dirinya merasa dirugikan dan kerugian tersebut bisa diukur secara materi dan imateri, selain dari hangusnya tiga tiket lebih tersebut. JOT bisa saja menghadirkan saksi dari fans yang hanya membeli satu-dua tiket dan merasa haknya terampas karena perilaku pemborongan tiket ini untuk memperkuat dalil mereka.
Bila poin pertama yang dipakai yaitu penggugat hanya memohonkan agar JOT memberi kompensasi atas batalnya tiket secara sepihak, argumentasi larangan klausula eksonerasi (termasuk yang bentuknya seperti pengumuman mendadak oleh JOT secara sepihak), ada kemungkinan penggugat bisa menang di pengadilan. Bagaimanapun, konsumen tidak boleh dibebani oleh peraturan baru yang semula tidak ada dalam kontrak.
Walau begitu, sampai kasus ini benar-benar bergulir di pengadilan, akan menarik melihat kasus ini tidak hanya dari kerangka hukumnya namun juga dari efek sosial yang ditimbulkannya. Keluhan penggemar terhadap JOT sudah banyak dan andai tidak berlanjut ke pengadilan pun, ada harapan bahwa kasus ini akan memicu JOT untuk memperbaiki pelayanannya terhadap konsumen.
KAORI Newsline | oleh Kevin W