Maid Café: Menghidupkan Khayalan dengan Role-Play Interaktif

0

Interaksi di Mamiya Cafe

Bermain bersama kanmusu
Bermain bersama kanmusu

Sebagaimana diamati, interaksi dengan para pelayan yang berperan sebagai kanmusu sangat menonjol dalam event ini. Setelah acara dimulai, para kanmusu meladeni para teitoku dengan berbagai permainan seperti kartu atau stacko. Permainan ini disertai dengan macam-macam kegiatan “hukuman” atau tantangan (dare) bagi yang kalah. Baru di tengah acara makanan dihidangkan. Makanan yang dihidangkan juga dimanfaatkan sebagai media interaksi antara teitoku dengan kanmusu, misalnya dengan bergantian menyuapi makanan.

DSC08917

Hukuman atau dare merupakan aspek yang paling menunjukkan permainan peran dari kedua belah pihak (pelayan/kanmusu dan pelanggan/teitoku) dalam berintraksi di dalam kafe. Salah satu bentuk hukuman adalah dengan teitoku mengungkapkan perasaan suka atau cinta kepada salah satu kanmusu, yang disertai dengan pemberian cincin bohongan dari kertas. Perasaan suka ini bukan disampaikan kepada orang sungguhan yang memerankan kanmusu tersebut, tapi kepada karakter fiktif kanmusu-nya itu sendiri. Karena pengungkapan perasaan ini hanya bagian dari skenario hukuman yang tidak menjadi ikatan hubungan serius antara diri asli pelanggan dan pelayan.

Pemberian cincin juga merupakan tiruan dari mekanisme yang ada di gimnya. Dalam gim, pemain dapat “menikahi” kanmusu untuk meningkatkan batas maksimum naik level kanmusu yang dinikahi. “Pernikahan” ini disimbolisasikan dengan pemberian cincin dan akta nikah. Dengan kata lain, dare memberikan cincin itu mewujudkan interaksi khayalan dari gim dengan memainkannya dalam lingkungan dunia nyata.

Merayu kanmusu dengan disaksikan seisi kafe
Merayu kanmusu dengan disaksikan seisi kafe

Juga menarik bahwa hukuman atau dare itu dipertontonkan kepada peserta kafe yang lainnya. Mengungkapkan perasaan seperti yang disebutkan di atas, misalnya, dilakukan di tengah kafe sehingga dapat dilihat oleh peserta kafe lainnya. Para peserta kafe yang lain pun ikut bermain dalam kegiatan tersebut dengan menyoraki, memberi semangat, bertepuk tangan, dan sebagainya. Ada juga bentuk hukuman lainnya di mana teitoku dan kanmusu mengganggu kegiatan peserta kafe di meja lain. Contohnya salah satu teitoku yang kalah dalam permainan melakukan serangan kamikaze ke satu per satu meja di kafe dengan replika torpedo.

Gambaran di atas sesuai dengan yang diamati Galbraith di maid café di Tokyo, yaitu interaksi dengan pelayan dapat melibatkan semua orang lain yang ada di kafe. Melakukan hal-hal yang kesannya memalukan menjadi tidak terasa aneh karena semua orang di kafe ikut bermain bersama dalam fantasinya. Khayalan menjadi hidup karena dikhayalkan bersama dengan orang-orang yang sama-sama mengikuti scenario interaksi fiktif yang sama.

Dari kajian ini, dapat disimpulkan bahwa maid café memang suatu ruang di mana dunia khayalan anime/manga/gim dapat diwujudkan di lingkungan dunia nyata melalui fantasi permainan peran. Kesenangan menghidupkan khayalan tersebut diperoleh dari pelayan dan pelanggan bersama-sama memainkan peran yang telah diskenariokan. Kunci dari menikmati maid café adalah memainkan perilaku sesuai dengan skenario peran masing-masing.

Referensi: Patrick W. Galbraith, “Maid cafés: The affect of fictional characters in Akihabara,” Asian Anthropology (2013).

KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses